Pages

Gunakan Mozzila Firefox untuk mengakses website ini dan jangan lupa klik iklannya
Showing posts with label Laporan Praktikum. Show all posts
Showing posts with label Laporan Praktikum. Show all posts

Tuesday, February 21, 2012

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGRONOMI ACARA I PERBANYAKAN VEGETATIF


ACARA  I

PERBANYAKAN VEGETATIF

I. TUJUAN

          Memperoleh sifat-sifat tanaman yang lebih baik dibandingkan kedua tanaman induknya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

             Cara memperbanyak tanaman sangat banyak ragamnya. Mulai dari yang sederhana sampai yang rumit. Ada yang tingkat keberhasilannya tinggi, ada pula yang rendah. Ini semua sangat bergantung pada beberapa faktor, misalnya cara perbanyakan yang kita pilih, jenis tanaman, waktu memperbanyak, ketrampilan pekerja, dan sebagainya (Wudianto, 1991).

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR EKOLOGI ACARA I SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK


ACARA I
SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

I.  TUJUAN
1. Mengetahui dampak salinitas terhadap pertumbuhan tanaman.
2. Mengetahui tanggapan beberapa macam tanaman terhadap tingkat salinitas yang berbeda.

II.  TINJAUAN PUSTAKA
Prinsip utama ekologi adalah mengenai kehidupan masing-masing organisme yang berhubungan secara terus-menerus serta berkelanjutan dengan setiap elemen lain yang membentuk lingkaran itu sendiri. Sebuah ekosistem dapat didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat interaksi antara organisme dengan lingkungan. Lingkungan suatu organisme terdiri dari faktor abiotik seperti sinar matahari, iklim dan tanah sebagai suatu hal yang dibagi bersama dengan organisme lain dalam habitat itu (Anonim, 2008).

Tuesday, December 27, 2011

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR AGRONOMI ACARA I PERBANYAKAN VEGETATIF

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR AGRONOMI
ACARA I
PERBANYAKAN VEGETATIF

DASAR-DASAR EKOLOGI ACARA I SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

ACARA I
SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

ACARA I SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

ACARA I
SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

I. TUJUAN
1. Mengetahui dampak salinitas terhadap pertumbuhan tanaman.
2. Mengetahui tanggapan beberapa macam tanaman terhadap tingkat salinitas yang berbeda.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Kata ekologi pada awalnya diciptakan oleh ahli zoologi Ernst Haekel Jerman pada 1860-an. Hal ini berasal dari bahasa Yunani untuk "oikos" yang diterjemahkan sebagai "rumah". Jadi, secara harfiah, ekologi adalah studi ilmiah dari rumah kami. Dalam prakteknya, ekologi didefinisikan sebagai studi ilmiah dari interaksi antara organisme dengan satu sama lain dan dengan lingkungan abiotik dan biotik mereka (Markus, 2007).
Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama. Rasio ini dihitung berdasarkan konidisi suhu 15°C. Pengukuran salinitas dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan hydrometer, yang telah dikalibrasikan untuk digunakan pada suhu kamar (Irianto dan Machbub, 2004).
Salinitas menjadi masalah bila garam menumpuk di akar yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kelebihan garam pada akar menghambat akar tanaman dari penyerapan air di sekitarnya. Bila dibandingkan, pertumbuhan tanaman di dua tanah identik dengan kelembaban yang sama, satu menerima air tanah asin dan yang lainnya bebas garam, tanaman yang dapat menggunakan lebih banyak air dari tanah menerima garam bebas air dapat menurunkan ketersediaan air tanaman dan menyebabkan tanaman stress (Bauder, 2003).
Di dalam hukum lingkungan Shelford, dinyatakan bahwa faktor pembatas adalah konsep pengaruh yang membatasi dari keadaan maksimum serta pula minimum. Fungsi faktor pembatas pada tingkat organisme yaitu mengontrol proses fisiologi dan pada tingkat populasi mengontrol kepadatan populasi ( Mc. Naughton & Wolf, 1998 ).
Unsur gizi tanaman mineral dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas berubah penyerapan selektif ion oleh akar dan translokasi ion ini menurun. kondisi Salinitas menyebabkan ketidakseimbangan gizi pada elemen yang tersedia dan penyerapan kompetitif dan translokasi unsur atau distribusi. Hal ini dapat menghentikan aktivitas fisiologis atau meningkatkan kebutuhan tanaman internal elemen (Khorshidi, 2009).
Tanah yang mengandung tingkat salinitas tinggi di daerah perakaran atau padi yang digenangi terus-menerus hanya menimbulkan masalah didaerah tertentu, hal ini disebabkan oleh beberapa factor (Tinning, 2007):
1. Macam tanah.
2. Hujan terus-menerus sejak tsunami terjadi.
3. Lamanya waktu suatu tanah digenangi oleh air laut.
4. Pengenangan yang disebabkan oleh pasang naik dan pasang surut.
Di dalam tanah terdapat banyak simpanan garam dalam area semidesert. Pada daerah kering yang sensitif digunakan irigasi dalam jumlah yang besar, tetapi air yang menapis salinitas tanah menjadi lebih atau berkurang maka harus ditambah garam. Ketika air ini digunakan untuk irigasi, maka produksinya akan terkonsentrasi oleh garam karena evaporasi dan transpirasi yang dilakukan oleh tanaman (Leclerc, 2003).



III. METODOLOGI
Praktikum Dasar-Dasar Ekologi Acara I yang berjudul Salinitas sebagai Faktor Pembatas Abiotik, ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2011 di Laboratorium Ekologi Tanaman Jurusan Budidaya Tanaman Universitas Gadjah Mada. Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu timbangan analitik, gelas ukur, erlenmeyer, pengaduk, peralatan tanam, dan penggaris. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu benih padi (Oryza sativa), kacang panjang (Vigna sinensis), mentimun (Cucumis sativus), polybag, NaCl teknis, pupuk kandang dan kertas label.
Cara kerja yang dilakuakan antara laian, pertama-tama polybag disiapkan dan diisi tanah yang telah dibersihkan dari kerikil, sisa akar tanaman, ataupun kotoran, sebanyak 3 kilogram. Kemudian benih dipilih yang sehat dari jenis tanaman yang akan diperlakukan, selanjutnya ditanam lima benih ke masing-masing polybag dan disiram setiap hari. Setelah berumur satu minggu, kemudian bibit dijarangkan menjadi dua tanaman tiap polybag. Bibit yang dipilih adalah bibit yang sehat dan terbaik diantara lainnya. Lalu dibuat larutan NaCl dengan konsentrasi 2000 ppm dan 4000 ppm. Air aquades digunakan sebagai pembanding. Masing-masing konsentrasi larutan garam dituangkan pada polybag sesuai perlakuan, sampai kapasitas lapang. Volume untuk tiap polybag harus sama. Tiap polybag diberi label sesuai perlakuan dan ulangannya. Label harus jelas untuk menghindari tertukar dengan perlakuan yang lain saat dilakukan pengamatan. Larutan garam diberikan tiap dua hari sekali sampai tanaman berumur 21 hari, kemudian dilakukan pemanenan. Jadi dalam percobaan ini terdapat 9 macam perlakuan dan masing-masing perlakuan terdapat dua tanaman. Pengamatan yang dilakukan meliputi tinggi tanaman (cm) yang diukur setiap 2 hari sekali., berat segar serta berat kering tanaman pada akhir pengamatan (gram), panjang akar utama pada akhir pengamatan (cm), serta abnormalitas tanaman (klorosis pada daun dan sebagainya). Setelah pengamatan selesai dilakukan dan data telah terkumpul, selanjutnya dihitung rerata tiga ulangan pada tiap perlakuan dan dibuat grafik tinggi tanaman pada masing-masng konsentrasi garam versus hari pengamatan dan grafik panjang akar pada masing-masing konsentrasi larutan garam versus hari pengamatan serta histrogram berat segar versus berat kering.


IV. HASIL PENGAMATAN

A. TINGGI TANAMAN
1. Padi (Oryza sativa)
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) hari ke
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 4,85 8,61 14,82 18,77 20,48 22,28 24,78 27,18
2000 ppm 4,48 8,16 12,18 15,36 16,88 18,43 20,19 21,82
4000 ppm 3,83 7,27 13,51 17,87 18,93 20,63 22,76 22,75

2. Kacang Panjang (Vigna sinensis)
Perlakuan Tinggi Tanaman Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 14,99 20,53 26,73 31,91 40,98 49,79 57,07 60,79
2000 ppm 14,43 17,60 24,44 33,89 39,57 45,06 53,11 60,75
4000 ppm 16,73 21,67 28,83 33,98 40,73 48,16 59,32 62,45

3. Mentimun (Cucumis sativus)
Perlakuan Tinggi Tanaman Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 6,09 7,32 8,01 8,55 9,38 10,21 12,19 14,04
2000 ppm 6,06 6,90 7,58 7,97 9,30 11,08 11,73 13,73
4000 ppm 6,58 7,29 7,73 7,88 8,42 9,48 11,79 13,40

B. JUMLAH DAUN
1. Padi (Oryza sativa)
Perlakuan Jumlah Daun Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 0,83 1,42 2,25 2,58 2,92 3,00 3,25 3,50
2000 ppm 0,83 1,42 2,17 2,50 2,67 2,83 3,00 3,08
4000 ppm 0,83 1,50 2,33 2,83 3,00 3,00 3,08 3,00
2. Kacang Panjang (Vigna sinensis)
Perlakuan Jumlah Daun Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 1,67 2,92 4,17 5,08 6,00 7,50 7,50 7,83
2000 ppm 1,67 3,00 3,83 4,92 5,58 7,00 7,33 7,42
4000 ppm 1,67 3,17 4,08 5,25 6,00 8,00 8,08 8,83

3. Mentimun (Cucumis sativus)
Perlakuan Jumlah Daun Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 1,83 2,50 3,17 3,33 3,67 3,92 4,33 4,58
2000 ppm 1,83 2,42 3,17 3,42 3,67 3,75 4,00 4,33
4000 ppm 1,83 2,83 3,17 3,50 3,83 3,92 4,00 4,33

C. BERAT BASAH, BERAT KERING DAN PANJANG AKAR
1. Padi (Oryza sativa)
Perlakuan Berat Basah Berat Kering Panjang Akar
0 ppm 0,23 0,06 6,81
2000 ppm 0,17 0,04 5,88
4000 ppm 0,29 0,04 5,15

2. Kacang Panjang (Vigna sinensis)
Perlakuan Berat Basah Berat Kering Panjang Akar
0 ppm 5,81 1,12 12,64
2000 ppm 6,41 1,16 11,69
4000 ppm 6,80 1,27 10,38

3. Mentimun (Cucumis sativus)
Perlakuan Berat Basah Berat Kering Panjang Akar
0 ppm 7,91 1,12 12,88
2000 ppm 7,35 1,09 15
4000 ppm 6,18 0,9 13,12
V. PEMBAHASAN

Faktor biotik dan faktor abiotik merupakan faktor pembentuk suatu ekosistem. Faktor biotik terdiri dari makhluk hidup yang ada di suatu tempat sedangkan faktor abiotik terdiri ats faktor yang mempengaruhi faktor biotik seperti suhu, pH, ketersediaan oksigen, kelembaban dan juga salinitas. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Garam-garam yang terlarut dalam tanah merupakan unsur yang essensial bagi pertumbuhan tanaman. Kehadiran larutan garam dalam tanah dapat membantu pertumbuhan tanaman karena tumbuhan dapat memperoleh zat-zat yang penting untuk membantu pertumbuhan tanaman melalui garam-garam dalam tanah tersebut. Namun apabila kadar garam yang tinggi dapat menurunkan laju fotosintesis pada tanaman akibat terhambatanya pengambilan CO2, hal ini mengganggu pertumbuhan tanaman. Karena sebagian besar energi hasil respirasi akan diubah untuk mengatasi cekaman garam, akibatnya kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi menjadi berkurang. Kadar garam yang terlalu tinggi di dalam tanah dapat meracuni tanaman dan juga dapat menghambat perkecambahan benih, kualitas hasil, produksi dan merusak jaringan tanaman. Antara tanaman yang satu dengan yang lain memiliki tingkatan toleran yang berbeda-beda terhadap salinitas. Berdasarkan tingkat toleran tanaman terhadap salinitas, tanaman dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tanaman halofit, glikofit dan euhalofit. Tanaman yang tahan terhadap salinitas adalah tanaman halofit. Tanaman glikofit adalah tanaman yang tidak tahan terhadap salinitas. Tanaman euhalofit adalah tanaman yang toleran terhadap salinitas.
Dalam praktikum ini dilakukan pengamatan tentang pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan tanggapan tanaman terhadap tingkat salinitas yang berbeda. Tanaman yang diamati adalah tanaman padi (Oryza sativa), kacang panjang (Vigna sinensis), dan mentimun (Cucumis sativus). Di bawah ini akan diuraikan tentang pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan tanggapan tanaman terhadap tingkat salinitas yang berbeda yang diperlihatkan dalam beberapa grafik hasil pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar utama, serta berat basah dan berat kering tanaman pada tiga jenis tanaman tersebut.


Berdasarkan grafik tinggi tanaman padi diatas dapat dilihat bahwa tinggi tanaman padi yang paling tinggi merupakan tanaman padi 0 ppm diikuti tanaman padi 4000 ppm yang laju nya fluktuatif dan tanaman padi 2000 ppm. Pada awal penanaman ketiga tanaman mengalami penambahan tinggi yang relatif sama. Hal ini dikarenakan cadangan makanan pada biji masih cukup dan kadar salinitas belum begitu mempengaruhi pertumbuhan. Mulai hari tigai terjadi perbedaan pertambahan tinggi. Tanaman padi 0 ppm mengalami pertambahan tinggi terbesar dan pada tanaman padi 2000 ppm pertambahan tinggi tanaman merupakan yang paling kecil. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tanaman padi tumbuh baik dan optimal pada kondisi netral. Akan tetapi pada kondisi salin tanaman padi juga mengalami pertumbuhan meskipun tidak sebaik pada kondisi netral. Hal ini membuktikan bahwa tanaman padi merupakan jenis tanaman yang toleran terhadap kadar garam (halofit). Hasil ini telah sesuai dengan teori yang ada meskipun pada kondisi salin 4000 ppm tanaman padi lebih tinggi dibanding 2000 ppm mungkin dikarenakan pada saat enyiraman banyaknya air tidak seimbang. Selain itu kondisi bibit yang berbeda dapat menyebabkan hal ini terjadi.

Menurut grafik tinggi tanaman kacang panjang di atas tampak bahwa secara umum tanaman mengalami pertumbuhan yang seragam dari awal pengamatan. Pertambahan tinggi tanaman antar tanaman 0 ppm, 2000 ppm dan 4000 ppm relatif sama. Tanaman kacang panjang 4000 ppm pada akhir pengamatan merupakan tanaman yang tertinggi, dikuti 0 ppm dan 2000 ppm. Dari percobaan dapat dilihat bahwa tanaman kacang panjang merupakan tanaman yang tahan terhadap kondisi salinitas tinggi.


Dari grafik tinggi tanaman mentimun di atas terlihat bahwa tanaman mentimun yang paling tinggi pada tanaman mentimun 0 ppm lalu yang tertinggi kedua adalah tanaman padi 2000 ppm dan yang paling rendah adalah tanaman mentimun 4000 ppm. Tanaman mentimun dapat dikatakan bersifat rentan terhadap salinitas (glikofit) sehingga dapat tumbuh optimal pada kondisi non-salin.


Berdasarkan grafik jumlah daun tanaman padi di atas tampak bahwa tanaman padi 0 ppm memiliki jumlah daun yang paling banyak kemudian tanaman padi 2000 ppm dan yang paling sedikit memiliki daun adalah tanaman padi 4000 ppm. Pada tanaman padi 4000 ppm pada hari keempat mempunyai jumlah daun terbanyak akan tetapi setelah itu mengalami petambahan yang relatif sedikit. Karena jenis tanaman ini merupakan jenis halofit sehingga kondisi salin tidak terlalu signifikan mempengaruhi pertumbuhan dalam hal ini pertambahan jumlah daun .



Dilihat dari grafik jumlah daun tanaman kacang panjang di atas terlihat bahwa tanaman dengan kadar salinitas 4000 ppm menpunyai jumlah daun lebih banyak diikuti 0 ppm dan 2000 ppm. Kondisi ini dikeranakan tanaman kacang panjang ini merupakan jenis euhalofit sehingga pada kondisi salinitas tinggi pertumbuhan akan maksimal.



Berdasarkan grafik jumlah daun tanaman mentimun di atas tampak bahwa tanaman 0 ppm mempunyai jumlah daun yang terbanyak dibanding tanaman dengan salinitas 2000 ppm dan 4000 ppm yang mempunyai jumlah daun relatif sama. Karena tanaman mentimun merupakan jenis glikofit yaitu renta terhadap salinitas makan akan memperoleh pertumbuhan yang maksimal pada kondisi 0 ppm.



Dari histogram panjang akar padi di atas dapat dilihat bahwa tanaman yang memiliki akar paling panjang adalah tanaman padi 0 ppm kemudian tanaman padi 2000 ppm dan yang terakhir tanaman padi 4000 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman padi adalah tanaman yang tahan terhadap salinitas karena walaupun dalam kondisi salin tanaman tetap dapat menyerap unsur hara melalui akar tanaman.



Berdasarkan histogram panjang akar kacang panjang di atas tampak bahwa tanaman yang memiliki akar terpanjang adalah tanaman kacang panjang 0 ppm diikuti dengan tanaman kacang panjang 2000 ppm dan yang memiliki akar paling pendek adalah tanaman kacang panjang 4000 ppm. Hal ini berlawanan denga teori maupun hasil yang mengamatan dengan variabel yang lain mungkin dikarenakan pada saat pencabutan tanaman akar utama mengikat tanah dengan kuat hingga terputus.



Dari histogram panjang akar mentimun di atas terlihat jika tanaman yang memiliki akar paling panjang adalah tanaman mentimun 0 ppm. Tanaman yang memiliki akar terpanjang kedua adalah tanaman mentimun 2000 ppm dan yang memiliki akar paling pendek adalah tanaman mentimun4000 ppm. Tanaman timun yang tergolong glikofit jika ditempatkan pada kondisi salinitas tinggi akan mengalami perlambatan pertumbuhan karena akar sulit menyerap unsur hara dalam tanah dan akan maksimal pada kondisi netral.

Histogram berat basah dan berat kering tanaman padi di atas menunjukkan bahwa tanaman padi yang memiliki berat basah terbesar yaitu tanaman padi 4000 ppm kemudian tanaman padi 0 ppm dan yang terakhir adalah tanaman padi 2000 ppm. Dan untuk berat kering yang paling besar pada tanaman padi 0 ppm kemudian tanaman padi 4000 ppm dan yang terkecil adalah tanaman padi 2000 ppm. Dari hasil tersebut terlihat bahwa tanaman yang paling banyak menyerap air adalah tanaman padi 4000 ppm yang berarti tanaman padi adalah tanaman yang tahan terhadap salinitas karena walaupun dalam kondisi salin tanaman tetap dapat menyerap air yang berguna bagi pertumbuhan tanaman dengan maksimal.sedangkan pada kondisi berat kering karena kandungan hara yang baik pada kondisi 0 ppm maka berat daun pun menjadi semakin besar karena kondisi sel yang berkembang maksimal.



Dari histogram berat basah dan berat kering tanaman kacang panjang di atas terlihat bahwa berat basah tanaman kacang panjang terbesar terdapat pada tanaman kacang panjang 4000 ppm kemudian 2000 ppm dan yang paling kecil adalah tanaman kacang panjang 0 ppm. Dan berat kering tanaman kacang panjang terbesar terdapat pada tanaman kacang panjang 4000 ppm kemudian 2000 ppm dan yang paling kecil adalah 0 ppm. Dapat dilihat bahwa hasil berat kering maupun basah kacang panjang dari tiap salinitas menunjukan selisih yang relatif sedikit. Hal ini karena kacang panjang merupakan tanaman yang tahan terhadap salinitas dan tanaman dapat menyerap air dengan maksimal pada lingkungan salin.



Dari histogram berat basah dan berat kering tanaman mentimun di atas dapat disimpulkan bahwa berat basah tanaman yang paling besar terdapat pada tanaman mentimun 0 ppm kemudian 2000 ppm dan yang paling kecil adalah tanaman mentimun 4000 ppm. Berat kering terbesar juga terlihat pada tanaman mentimun 0 ppm, 2000 ppm dan yang paling kecil adalah tanaman mentimun 4000 ppm. Dari hasil tersebut tanaman mentimun merupakan tanaman yang bersifat rentan terhadap salinitas karena tanaman dapat tumbuh maksimal pada kondisi salin yang rendah.

VI. KESIMPULAN

1. Salinitas merupakan kandungan garam yang ada di dalam tanah.
2. Salinitas memiliki pengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, berat basah dan berat kering tanaman. Salinitas juga dapat menghambat perkecambahan benih, kualitas hasil, produksi dan dapat merusak jaringan tanaman.
3. Berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap salinitas tanaman dibedakan menjadi :
 Tanaman Euhalofit adalah tanaman yang tahan terhadap salinitas.
 Tanaman Glikofit adalah tanaman yang tidak tahan terhadap salinitas.
 Tanaman Halofit adalah tanaman yang toleran terhadap salinitas.
4. Berdasarkan hasil pengamatan tanaman yang tahan terhadap salinitas adalah tanaman kacang panjang, tanaman yang rentan terhadap salinitas adalah tanaman mentimun dan tanaman yang toleran terhadap salinitas adalah tanaman padi.















DAFTAR PUSTAKA
Bauder, James W. 2003. The Basic Of Salinity And Sodicity Effects Of Soil Physical Properties. Montana State University, Montana.

Irianto, Eko W. dan B. Machbub. 2004. Pengaruh multiparameter kualitas air terhadap parameter indikator oksigen terlarut dan daya hantar listrik. Jurnal Lingkungan Perairan 54 : 18-24.

Khorshidi, M.B. 2009.Salinity effect on nutrients accumulation in alfalfa shoots in hydroponic condition. Journal of Food, Agriculture & Environment 7 : 787-790.

Leclerc, Jean Clude. 2003. Plant Ecophysiology. Science Publishers Inc., New York.

Markus, Christie. 2007. What is ecology ?. Diakses pada tanggal 20 maret 2011.

Mc.Naughton, J.E., Larry L Wolf. 1998. General Ecology 2nd Edition ( Dasar-Dasar Ekologi Edisi Kedua , alih bahasa : Pringgoseputro dan Srigandono, 1998 ). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tinning, G . 2007. Agriculture Tsunami. NSW Department Of Primary Industri, Australia.
























LAMPIRAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH Acara IV TEKSTUR TANAH KUALITATIF

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH
KELOMPOK V / GOLONGAN A-1
TANAH GRUMOSOL / VERTISOL
Acara IV
TEKSTUR TANAH KUALITATIF

Disusun oleh :
1. Mega Ronawati (PN / 09891)
2. Sabar Dwi K. (PN / 09896)
3. Wirawan Setiadi (PN / 09899)
4. Binarti Nugraheni (PN / 09931)
5. Nur Hayati (PN / 09932)
Asisten : Dimaz Pramudito

LABORATORIUM TANAH UMUM
JURUSAN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2004
ACARA IV
TEKSTUR TANAH KUALITATIF

ABSTRAKSI

Dalam praktikum digunakan sample tanah yaitu tanah rendzina, entisol, vertisol, ultisol, dan alfisol. Pengidentifikasian dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu dengan permberian air pada masing-masing jenis tanah dan dilakukan analisis tanah secara manual. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui unsure dominan penyusun tanah (debu, lempung, pasir). Berdasarka analisis diketahui bahwa tanah entisol bertekstur pasir geluhan, latosol lempung, rendzina lempung pasiran, medeteran lempung debuan, dan vertisol lempung debuan. Tanah bertekstur lempung kurang cocok / produktif dipakai untuk pertanian karena susah untuk diolah dan sukar merembeskan air.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tekstur tanah merupakan perbandingan kandungan fraksi liat, debu dan pasir dalam suatu massa tanah. Partikel-pertikel ini memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Ada yang dapat dilihat langsung dengan mata dan ada pula yang harus diamati lebih lanjut karena berupa butiran yang sangat halus dan berupa koloid. Oleh karena itu digunaka metode analisis kualitatif yakni merasakan tanah langsung dengan tangan sehingga dapat diketahui tingkat kehalusan dan kekasaran enis tanah tertentu. Kehalusan dan kekasaran tanah dipengaruhi oleh fraksi-fraksi penyusun tanah. Bila penyusun tanah didominasi oleh pasir, tanah akan cenderung kasar. Sedangakan bila penyusun tanah didominasi oleh debu, akan terasa halus, dan lempung terasa licin. Hal ini disebabkan karena urutan partikel pasir lebih besar dari debu maupun lempung.

B. Tujuan
Menetapkan tekstur tanah secara kualitatif keadaan basah.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanah terdiri dari butir-butir tanah yang berbagai ukuran. Bagian tanah yang berukuran lebih dari 2 mm disebut bahan kasar (kerikil seperti batu) (Hardjowigeno, 1989).
Bahan penyusun padatan tanah meliputi partikel mineral tertentu dengan berbagai ukuran, juga senyawa amorf, di mana umumnya senyawa ini terikat dan kadang melapisi partikel tanah. Bila kandungan senyawa amorf, seperti oksidasi besi yang mengandung air dan humus, terdapat dalam kadar rendah, maka kita dalam beberapa hal dapat menyajikan fase padatan terdiri dari sebagian besar partikel, sebagian besar dapat dilihat dengan mata biasa, dan partikel terkecil berbentuk koloid dan hanya bisa dian\mati dengan mikroskop electron (Hendro dan Hari, 1998).
Berdasarkan ukurannya bahan padatan tanah digolongkan menjadi tiga partikel atau separate penyusun tanah, yaitu pasir, debu dan liat. Peranan ketiga separate tersebut di dalam menentukan sifat dan kemampuan tanah tidak sama. Separate pasir dan debu yang sebagian besar tersusun atas SiO2 tidak banyak perannya dalam usaha penyediaan unsure hara tanaman. Sebaliknya bahan liat (lempung), yaitu bahan yang berukuran < 2 μm, terdiri dari mineral liat silikat, bahan amorf, dan merupakan bahan aktif penyusun tanah. Artinya adanya bahan ini dalam tanah sangat menentukan sifat dan kemampuan tanah (Islami dan Utomo, 1995).
Perbandingan nisbi berat zarah tanah ( pasir, debu dan lempung) disewbut dengan tekstur, yang menunjukkan kehalusan atau kekasaran suatu tanah. Tekstur tanah menentukan tata air dalam tanah berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi, dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. Tekstur tanah mempunyai hubungan erat dengan konsentrasi struktur tanah. Penggolongan tekstur tanah didasarkan atas perbandinag kandungan lemoung, debu dan pasir yang menyusun tanah. Namun kelas tekstur tanah secara kualitatif yaitu dengan merasakan kekasaran atau kehalusan fraksi tanah akibat tekanan di antara ibu jari dan telunjuk. Lempung biasanya sangat keras bila kering, mudah dibentuk atau digabung bila lembab, dan lekat bila basah. Pasir terasa kasar/berderat di tangan, debu pada kndisi basah seperti sabun atau liat dan seperti tepung bila dalam kondisi kering (Maas, 1996).
Tanah pasir cenderung agak longgar, dengan drainase yang baik dan mudah ditanami, maka tanah pasir disebut tanah ringan. Sebaliknya, tanah liat cenderung menyerap dan menahan sebagian besar air, saat basah bersifat plastis dan lengket serta keras dan kohesif saat kering, serta sulit diolah sehingga disebut tanah berat. Akan tetapi hal ini dapat merupakan pernyataan menyesatkan karena fakta sesungguhnya adalah tanah dengan tekstur kasar umumnya lebih padat (yaitu mempunyai porositas yang lebih rendah) dibandingkan tanah bertekstur halus, dan oleh sebab itu akan lebih berat, bukan lebih ringan (paling tidak pada kondisi kering). Dari kelas tekstur tanah ini dapat diketahui porositas, daya tahan air, laju kecepatan infiltrasi, ketersediaan air, mudah tidaknya diolah, kandungan air hara tersedia dan penentuan jumlah kebutuhan air (Hardjowigeno, 1993).
Nama atau klasifikasi tanah diambilkan dari kisaran perbandingan antara tiga fraksi penyusun tanah yang terdapat dalam suatu bentuk diagram segitiga, jumlah ketiga fraksi tersebut harus 100%. Tiap sisi diagram menunjukkan prosentase fraksi. Pasir berada di sisi horizontal dan nilai 100% di bagian kanan, debu di sisi vertical kiri dengan 100% di bagian bawah kanan dan lempung di bagian kiri dengan 100% di puncak (atas). Dalam diagram tersebut ada 12 unit yang merupakan unit kisaran kombinasi dari prosentase pasir, debu dan lempung. Sebagai contoh (Maas, 1996):
60% pasir, 25% debu, 15% lempung = geluh pasiran.
25% pasir, 45% debu, 30% lempung = geluh lempungan.
28% pasir, 54% debu, 18% lempung = geluh debuan.
Distribusi ukuran partikel dan kelas tekstur mempunyai korelasi dengan: air, udara, unsure hara, mintakat perakaran, kemudian diolah dan terpenting masalah kesubura. Sifat umum tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur (Sutanto, 1994):
Tanah pasiran : laju peresapan air baik, kapasitas menahan air rendah, kandungan hara rendah, kapasitas absorbsi rendah, baik untuk system perakaran, mudah diolah
Tanah lempungan : drainase buruk, kapasitas pengikatan air tinggi, aerasi kurang baik, kandungan hara tinggi, kapasitas penyerapa tinggi, kurang baik system perakaran, sukar diolah pada kindisi kering.
Tanah debuan : mempunayi sifat antara lempung dan pasir
Hubungan tekstur dan kandungan mineral tanah :
Pasir → kaya mineral primer Tanah kaya hara
Lempung → kaya mineral sekunder
Debu → di antara Tanah subur

III. METODOLOGI

Praktikan melaksanakan Praktikum Tekstur Tanah Kualitatif ini pada hari Sabtu tanggal 25 September 2004 di Laboratorium Tanah Umum, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Adapun praktikan menggunakan bahan dan alat serta prosedur sebagai berikut :
A. Bahan dan Alat
Percobaan ini menggunakan bahan berupa tanah kering udara ukuran Φ 2 mm, dan menggunakan alat berupa piring, sendok dan aquadest.

B. Cara Kerja
Mula-mula praktikan mengambil segenggam tanah, meremas-remasnya untuk melepaskan semua agregatnya sehingga akhirnya tanah menjadi pasta liat (kadar air antara BG dan BJ). Membasahi sedikit demi sedikit sambil meremas-remas jika kurang basah. Mencoba tanah tersebut bola secara mengepal-ngepalnya, bila tidak dapat membentuk bola berarti tanah bertekstur pasir. Bila dapat, mencoba tanah tersebut pita dengan cara menekan dan mendorong hati-hati dengan ibu jari dan alas jari telunjuk sampai ujung pita tanah melampaui ujung jari telunjuk. Bila tidak dapat, tanah bertekstur pasir geluhan. Bila dapat, lalu patah karena ujung-ujungnya melampaui ujung beratnya sendiri setelah jari telunjuk sejauh < 2,5 cm, termasuk kelompok geluhan; 2,5 – 5 cm kelompok geluh lempungan; dan > 5 cm termasuk kelompok lempungan.
Membuat bubur tanah yang dicoba pita tersebut, lalu menggosok-gosokkan dengan jari pada telapak tangan. Tanah terasa kasar merajai dapat merupakan lempung pasiran, geluh lempung pasiran, maupun geluh pasiran. Tanah terasa halus licin merajai dapat merupakan lempung debuan, geluh lempung debuan atau geluh debuan. Sedangkan bila terasa samarasa, praktikan menggolongkan tanah pada lempung, geluh lempungan maupun geluh. Pemilihan masing-masing dari tiga jenis tersebut berdasarkan sejauh mana patahnya ujung dari ujung beratnya.

IV. DATA HASIL PENGAMATAN

No. Jenis Tanah Tekstur Tanah
1.
2.
3.
4.
5.
6. Entisol I
Latosol
Rendzina
Mediteran
Vertisol
Lentisol II Pasir geluhan
Lempung
Lempung pasiran
Lempung debuan
Lempung debuan
Pasir debuan


V. PEMBAHASAN

Percobaan tekstur tanah ini bertujuan untuk menetapkan tekstur tanah secara kualitatif dalam keadaan basah.
Percobaan tanah Entisol dilakukan dua ulangan dengan dua macam hasil yaitu pasir geluhan dan pasir debuan. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena ketidaksamaan dalam merasakan rabaan tanah. Namun perbedaan tidak begitu mendasar karena keduanya msih tetap didominasi oleh fraksi pasir.
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa tanah Entisol mempunyai tekstur pasir. Hal ini dapat disimpulkan karena pasta tidak dapat dibuat bola dengan cara dikepal-kepal maupun dicoba pita secara ditekan dan didorong hati-hati. Karena mempunyai pori yang besar, tanah Entisol peka terhadap erosi dan kapasitas infiltrasinya tinggi. Umumnya tanah Entisol tidak begitu subur, karena tidak bisa menahan air untuk menjadi air higroskopis yang nantinya akan digunakan oleh tumbuhan. Dalam kondisi kapasitas lapang pori-pori cenderung lebih banyak diisi udara dan bukan air.
Berbeda halnya dengan Entisol, Latosol dari hasil percobaan termasuk tanah bertekstur lempung. Tanah ini dikatakan bertekstur lempung karena saat tanah dibuat bubur lalu digosok-gosokkan dengan jari pada telapak tangan terasa sama rasa dan pita tanah dapar ditekan sehingga ujungnya melampaui beratnya sendiri sejauh > 5 cm. Tekstur lempung biasanya mempunyai gerakan air dan aerasi yang buruk. Sedikitnya kemampuan tanah ini untuk mengalirkan air ke bawah membuat Latosol sebagai tanah lempung terlihat kedap air. Dalam pengolahannya, tanah ini memerlukan pengolahan air yang baik. Pada kondisi basah, pori-pori tanah ini hampir semuanya terisi air sehingga aerasi kurang dan pada kondisi kering tanah memiliki konsistensi sangat keras.
Rendzina menurut hasil percobaan masih merupakan tanah kelompok lempungan yaitu lempung pasiran. Selain mengandung lempung dengan pori-pori kecil yang mampu menyimpan air, tanah ini juga mengandung pasir dengan pori-pori besar yang pada kondisi kapasitas lapang cenderung terisi udara. Tanah ini memungkinkan penyediaan air yang memadai bagi tanaman, juga mempunyai aerasi yang cukup baik. Dari kondisi tersebut, tanah ini seharusnya cukup baik atau setidaknya lebih baik digunakan sebagai media tanam dibanding dengan tanah Latosol yang mengandung terlalu banyak fraksi lempung.
Tanah Mediteran dan Vertisol mempunyai tekstur yang sama yaitu lempung debuan, dengan sifat antara Latosol dan Rendzina. Karena teksturnya berupa lempung debuan, maka strukturnya berupa gumpal (pada kondisi kering) dan konsistensinya teguh. Tanah-tanah ini cukup mudah untuk diolah, sekalipun sukar untuk merembeskan air. Namun tanah ini bisa digunakan sebagai pembatas erosi. Tanah ini cocok digunakan sebagai tanah sawah atau lahan tergenang air.
Sifat-sifat lain yang mempengaruhi tekstur tanah adalah kandungan mineral dari masing-masing tanah. Misal fraksi pasir terutama mengandung mineral primer (kuarsa, silikat) sedang mineral sekunder adalah bermacam-macam mineral lempung. Debu dan geluh mempunyai komposisi antara pasir dan lempung.

VI. KESIMPULAN

1. Tanah latosol adalah tanah yang memiliki tekstur lempung sehingga sulit untuk diolah sebagai media tanam yang baik.
2. Tanah rendzina mempunyai tekstur lempung pasiran sedangkan mediteran dan vertisol mempunyai tekstur lempung debuan, sehingga lebih mudah diolah sebagai media tanam dan dapat sebagai penahan erosi.
3. Tanah entisol bertekstur pasir geluhan, mempunayi aerasi tinggi, namun daya simpan air kurang sehingga tidak begitu subur untuk media tanam.














DAFTAR PUSTAKA

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi dan Pedogenesis. Akademika Resindo : Jakarta. 430 p

Hendro, R dan R. Hari. 1998. Pengantar Fisika Tanah. Mitra Gama Widya : Yogyakarta. 445 p

Islami, T. Dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan Air, Tanah dan Tanaman. IKIP Semarang Press : Semarang. 297 p

Maas, Azwar. 1996. Ilmu Tanah dan Pupuk. Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) : Yogyakarta. 174 p

Sutanto, R. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. 149 p

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH Acara III STRUKTUR TANAH

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH
KELOMPOK V / GOLONGAN A-1
TANAH GRUMOSOL / VERTISOL
Acara III
STRUKTUR TANAH


ABSTRAKSI

Percobaan ini dilakukan untuk menetapkan kerapatan massa tanah (BV) danbutir tanah (BJ) serta untuk menetapkan porositas total tanah (n). Struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang sangat menentukan kemampuan tanah untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Struktur tanah akan mempengaruhi regim udara dan air dalam tanah, antara hidrolik dan konsekuensinya pada pertumbuhan akar tanaman dan kegiatan biologi dalam tanah. Metode yang digunakan dalam penentuan struktur tanah adalah metode penentuan kuantitatif cara lilin dan piknometer. Bahan dan alat yang digunakan adlaah tanah gumpalan kerung udara, tanah kering udara Φ 2 mm dengan menggunakan jenis tanah yang berbeda-beda yaitu tanah Vertisol, tanah Rendzina, tanah Ultisol dan tanah Alfisol. Harga berat jenis tanah seharusnya lebih besar dari harga berat volume karena pembagi pada BV lebih sedikit dari BJ. Tanah Entisol memiliki berat jenis yang tinggi karena memiliki jenis mineral yang banyak. Dari hasil percobaan didapatkan bahwa BV tertinggi terdapat pada tanah Rendzina, BJ tertinggi pada tanah Entisol, sedangkan porositas total tanah tertinggi pada tanah Ultisol / Latosol. Hal ini berarti bahwa tanah Rendzina mempunyai tekstur yang paling remah, tanah Entisol mempunyai agregat yang pejal, sedangkan Latosol mempunya jumlah pori yang banyak.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya tanah merupakan tubuh alam. Namun demukian banyak tanah yang memperlihatkan tanda-tanda pengaruh antropogen. Sebagai contoh struktur tanah berubah-ubah karena lalu lintas, susunan kimia tanah berubah karena irigasi dan pemupukan. Struktur tanah adalah bagian dari sifat fisik tanah. Struktur tanah ini merupakan proses fisio kimia dan biologi yang dimulai dari penjojotan dan agregasi dengan diikuti sementasi (bahan pelekat).
Hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan iklim, aktifitas biologi, pengelolaan tanah dan kepekaan tanah terhadap gaya-gaya perusak mekanis dan fisio kimia. Oleh karena itu belum ada metode yang secara obyektif dan kuantitatif dapat digunakan untuk menentukan struktur tanah, yang ada yaitu metode yang subyektif dan kuantitatif. Antara lain metode lilin, ring sample dan air raksa.
Dengan penentuan berat volume (BV), berat jenis (BJ) dan porositas tanah dapat membedakan antara struktur yang ada. Kaitannya dengan daya serap air, struktur tanah mempenaruhi karena berdasarkan dari pori-pori tanah, pori-pori tanah yang besar bermanfaat untuk aerasi dan infiltrasi, sedangkan pori-pori yang kecil untuk menyimpan lengas.

B. Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menetapkan kerapatan massa tanah (berat volume = BV), menetapkan kerapatan butir tanah (berat jenis = BJ) dan menetapkan porositas total tanah (n).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Yang diartikan dengan struktur tanah ialah susunan zarah-zarah tanah membentuk pola keruangan. Proses yang terlibat dalam pembentukan struktur tanah ialah penjojotan dan agregasi, dengan atau tanpa diikuti sementasi. Penjojotan adalah peristiwa elektrokinetik pengendapan zarah tanah dari suspensi. Pengendapan terjadi karena zarah-zarah tanah mengelompok sehingga memperoleh massa yang lebih besar. Pengelompokan dapat terjadi karena potensial zeta zarah-zarah tanah menurun yang menyebabkan kakas tolak antar zarah mengecil sehingga kakas tarik gravitasi antar massa zarah dapat bekerja. Potensial zeta ialah muatan listrik negatif zarah. Potensial ini dapat turun karena sebagian atau seluruh muatan listrik negatif dinetralkan oleh kation-kation yang terserap. Kakas tarik gravitasi antas massa zarah dinamakan kakas Van der Waals (Notohadiprawiro, 1998).
Agregasi ialah peristiwa penggabungan jonjot-jonjot tanah menjadi gumpalan. Jonjot tanah tergabung oleh kohesi (tarikan molekuler) dan adesi (tegangan permukaan). Tegangan permukaan dibangkitkan oleh tarikan antara molekul tanah dan molekul air (Notohadiprawiro, 1998).
Agregat yang terbentuk secara alam (natural aggregate) disebut pet, sedangkan istilah cold digunakan untuk bongkah tanah hasil pengolahan tanah misalnya. Dua istilah lain yang sering meragukan dengan ped adalah fragment dan conrection (konkresi). Fragment berarti ped yang pecah, konkresi terbentuk di dalam tanah akibat presipitasi garam-garam terlarut dan sering terbentuk akibat fluktuasi yang besar dari permukaan air tanah (Hakim, et.al., 1986).
Struktur tanah yang baik adalah yang kandungan udara dan airnya dalam jumlah cukup dan seimbang serta mantap. Hal semacam ini hanya terdapat pada struktur yang ruang pori-porinya besar, dengan perbandingan yang sama antara pori-pori makro dan mikro serta tahan terhadap pukulan tetes-tetes air hujan. Dikatakan pula bahwa struktur yang baik bila perbandingannya sama antara padatan, air dan udara (Suhaidi, 1983).
Berdasarkan tipenya, struktur tanah dibagi menjadi (Maas, 1996) :
1. Tadak Berstruktur :
a. Berbutir tunggal : tiap butiran bebas satu dengan lainnya, hal ini terdapat pada tanah pasiran.
b. Pejal / masif : massa tanah bertaut satu dengan lainnya dengan tanpa ada bidang yang lebih rapuh, terutama tanah berbahan induk lempung.
2. Berstruktur :
a. Granuler : partikel-partikel primer tergabung membentuk ped yang bundar. Ada rongga diantara ped sehingga tidak terjadi kontak permukaan yang menyatu.
b. Remah : ikatan butiran tanah yang berbentuk amuba dan titik singgung satu ped dengan lainnya cukup banyak sehingga tidak berderai seperti struktur granuler.
c. Lempeng : ukuran horizontal lebih besar dari ukuran vertikalnya, dibedakan ketipisannya seperti pembagian diameter struktur remah.
d. Gumpal : ukuran horizontal dan vertikal sama besar.
e. Tiang : bidang vertikal lebih besar dari bidang horizontalnya.
3. Struktur yang dihancurkan : pada umumnya adalah struktur lumpur yang biasa dijumpai pada sawah.
Umumnya kita dapat membagi struktur tanah ke dalam tiga bentuk yang sangat luas, yaitu berbutir tunggal (single grained), masif (massive), dan beragregasi (aggregated). Apabila keseluruhan partikel tanah saling lepas satu sama lain, seperti dapat kita jumpai pada tanah berkelas tekstur pasir, struktur tanahnya dikatakan berbutir tunggal. Dalam pustaka lama, ia masih disebut sebagai tanah yang tidak berstruktur atau berstruktur lepas. Sebaliknya, andaikata partikel-partikel tanah saling terikat sedemikian kuatnya, sehingga terbentuk bongkah-bongkah tanah tang kohesif, maka struktur tanahnya disebut masif. Di antara kedua bentuk struktur yang ekstrim itu, kita mengenal tanah dengan keterikatan sedang dimana kesatuan-kesatuan yang terbentuk kecil saja. Struktur tanah demikian dinyatakan beragregasi dan kesatuannya disebut sebagai mikroagregat atau agregat saja. Kesatuan partikel di lapangan yang dapat dilihat dengan mata telanjang sebetulnya adalah gabungan dari agregat-agregat yang bileh disebut sebagai makroagregat. Ukurannya bisa berkisar dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Tanah dengan bentuk struktur terakhir ini merupakan tanah yang paling dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman, terutama pada tahap pertumbuhan yang cukup kritis, yaitu soal perkecambahan dan pembibitan (Indranada, 1986).

III. METODOLOGI

Praktikan melaksanakan Praktikum Struktur Tanah ini pada hari Senin tanggal 27 September 2004 di Laboratorium Tanah Umum, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Adapun praktikan menggunakan bahan dan alat serta prosedur sebagai berikut :
A. Kerapatan Massa Tanah (BV)
Pada praktikum ini praktikan menggunakan bahan berupa contoh tanah gumpalan kering udara, juga menggunakan alat-alat berupa cawan pemanas lilin, lampu spiritus, penumpu kaki tiga, tabung ukur, pipet ukur 10 ml dan thermometer.
Cara kerjanya pertama-tama mengambil sebongkah tanah dam membuat bola dengan kuku jari tangan, sedemikian sehingga dapat masuk ke dalam tabung ukur dengan longgar ( 1 - 1,5 cm) membersihkan permukaannya dari butir-bitur tanah yang menempel secara hati-hati dengan kuas. Mengikat tanah dengan benang sehingga dapat digantung, kemudian menimbangnya (misal a gram).
Mencairkan lilin dalam cawan pemanas, kemudian mengukur suhunya dengan thermometer. Menyelupkan bongkah tanah ke dalam lilin pada suhu 60º - 70º C selama  5 detik (apabila suhu terlalu panas lilin dapar masuk ke dalam pori-pori tanah, terlalu lama pelapisan akan terlalu tebal). Memastikan lilin betul-betul menutupi permukaan bongkah. Menimbang bongkah tanah berlilin tersebut setelah dingin (misal b gram).
Mengisi tabung ukur dengan air aquadest sampai volume tertentu (msal p ml) dan memasukkan bongkah tanah berlilin perlahan-lahan (volume air aquadest akan naik), kemudian mencatat volumenya. Menambahkan air melalui pipet ukur sampai tepat di garis volume (misal q ml) jika volume air tidak jelas. Mencatat berapa ml aquadest yang telah ditambahkan dari pipet ukur (misal r ml). Mengangkat bongkah tanah dan membersihkan tabung ukur.

B. Kerapatan Butir Tanah (BJ)
Praktikum ini menggunakan bahan berupa tanah kering udara Φ 2 mm serta alat berupa piknometer, kawat pengaduk halu dan thermometer.
Cara kerjanya pertama-tama dengan menimbang piknometer kosong bersumbat (misal a gram). Mengisi dengan tanah  ½ volume, kemudian menyumbat dan menimbangnya.
Menambahkan aquadest sampai 2/3 volume, mengaduknya dengan pengaduk kawat untuk menghilangkan udara yang tersekap. Mendiamkannya selama 1 jam. Mengukur suhu suspensi (misal t1 ºC) dan membaca BJ suspensi pada tabel BJ (misal BJ1). Mengaduk-aduk lagi, mencuci kawat pengaduk dengan botol pancar, kemudian menambahkan air secara perlahan-lahan sampai 2/3 leher pikno (jangan sampai mengaduk tanah). Menyumbatnya hingga aquadest dapat mengisi pipa kapiler sampai penuh. Mengeringkan dinding pikno dengan kertas tissu dari air yang menempel, kemudian menimbangnya (misal c gram).
Membuang isi pikno dan membersihkannya. Mengisi piknometer denan aquadest sampai penuh dan menyumbatnya. Mengamati, air harus mengisi pipa kapiler sumbat. Mengeringkan permukaan luar pikno dengan tissu dan menimbang pikno berisi air (misal d gram). Mengukur suhunya (msal t ºC) dan melihat BJ aquadest (misal BJ2) pada suhu tersebut di dalam tabel BJ. Membersihkan dan mengeringkan piknometer.

IV. DATA HASIL PERHITUNGAN

No. Jenis Tanah BV (g/cm3) BJ (g/cm3) n (%)
1. Regosol / Entisol (i)
2. Ultisol / Latosol 1,24 2,2 43,64
3. Rendzina 2,09 1,84 13,6
4. Alfisol / Mediteran 1,315 2,113 37,77
5. Vertisol 1,46 1,77 18
6. Entisol (ii) 1,728 2,352 26,5



V. PEMBAHASAN

Dengan metode piknometer dapat diketahui harga BV, BJ dan porositas tanah (n). Berat volume merupakan berat bongkah tian satuan volume total bongkah tanah. Berat jenis dapat diartikan perbandingan relatif antara berat padatan tanah dengan volume padatan. Sedangkan porositas merupakan persentase volume pori-pori terhadap volume bongkah tanah.
Dari hasil perhitungan pada tanah Rendzina BV lebih besar dari BJ, seharusnya harga BJ selalu lebih besar dari BV. Kesalahan ini mungkin disebabkan karena gumpalan tanah yang akan dimasukkan ke cairan lilin permukaannya terdapat pori-pori sehingga lilin masuk ke pori-pori tanah atau dimungkinkan pula karena lilin yang terlalu panas dan pencelupan dalam lilin yang terlalu lama.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanah latosol memiliki nilai BV yang terendah, sehingga dalam pengolahannya tanah ini memerlukan proses aerasi agar infiltrasinya berjalan dengan baik sehingga mendukung pertumbuhan akar tanaman. Selain itu Latosol juga mempunay BJ yang cukup tinggi. Perbandingan nilai BJ dan BV Latosol lebih tinggi dibandingkan tanah lainnya. Sehingga bila dilihat dari hubungan antara BJ dan BV pada rumus porositas, Latosol mempunya porositas yang lebih tinggi.
Tanah Mediteran memiliki BV yang lebih rendah daripada Vertisol, tetapi memiliki BJ yang lebih tinggi. Selisih BV kedua tanah ini relatif lebih sedikit dibandingkan selisih BJ. Hal ini membuat Mediteran memiliki nilai porositas yang lebih tinggi dibandingkan Vertisol. Nilai BJ yang tinggi menunjukkan kadar bahan organik yang rendah.
Tanah Entisol memiliki nilai BV yang tertinggi yaitu 2,09. Menurut tabel struktur tanah dibawah, tanah ini bersifat mampat sehingga kemampatan ini harus diturunkan dengan cara menambahkan bahan organik. Bahan organik dapat memperbaiki agregasi tanah (struktur) sehingga dapat meningkatkan pori tanah. Nilai Bjnya juga tertinggi, artinya bahan organiknya sangat rendah. Namun karena selisih BJ dan BV tanah ini cukup tinggi, dari rumus didapatkan bahwa tanh ini memiliki porositas yang tidak begitu buruk. Dari segi porositas, tanah ini tidak begitu mampat.
Tabel struktur tanah :
Nilai BV Struktur
1 - 1,4 g / cm3 normal
1,4 - 1,7 g / cm3 agak mampat
> 1,7 g / cm3 mampat

Porositas tanah dipengaruhi oleh adanya kandungan bahan organik tanah, struktur tanah dan tekstur tanah. Porositas tinggi jika bahan organik tinggi. Tanah dengan struktur granuler / remahmempunyai porositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur pejal tanah yang mengandung lempung karena mempunyai pori-pori makro, yaitu pori-pori yang ukurannya besar sehingga sulit menyimpan air. Kesulitan dalam menyimpan air ini diakibatkan karena air yang terdapat dalam pori makro cenderung berat sehingga tertarik gaya gravitasi kebawah, mengalir menjadi air gravitasi.

VI. KESIMPULAN

1. Dari percobaan didapat nilai BV tertinggi ialah tanah Rendzina, Entisol, Vertisol, Mediteran dan Latosol.
2. BJ tertinggi pada tanah Entisol, Latosol, Mediteran, Rendzina dan Vertisol.
3. Latosol mempunyai porositas total yang lebih tinggi dibandingkan dengan Alfisol, Entisol, Vertisol an Rendzina.
4. Tanah yang mempunyai struktur mampat akan mempunyai nilai porositas yang rendah, sebaliknya struktur yang remah alan mempunyai nilai porositas yang tinggi.
5. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka nilai BJ semakin rendah.



DAFTAR PUSTAKA

Hakim, N, Dr, Ir. M. Yusuf Nyakpa, M.Sc., A.M. Lubis, M.Sc., Ir. Sutopo Ghani Nugroho, Ir. M. Amin Dita, Prof. Dr. Go Ban Hong, Prof. Dr. H. H. Bailey. 1986. Dasat-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung : Lampung. 448 p

Indranada, H.K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. PT Bina Aksari : Jakarta. 90 p

Maas, A. 1996. Ilmu Tanah dan Pupuk. Akademi Penyuluhan dan Pertanian (APP) : Yogyakarta. 174 p

Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. 187 p

Suhardi, 1983. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Kanisiun : Yogyakarta. 218 p



















LAMPIRAN

Contoh perhitungan untuk tanah Vertisol :
1. Menentukan kerapatan massa tanah (berat volume = BV)
a = 4,5 g p = 20ml r = 0 ml
b = 4,74 g q = 23 ml KL = 13,18 %
87 x a
BV = g / cm3
(100 + KL) [0,87 (q – p – r) – (b – a)]
87 x 4,5
BV =
(100 + 13,18) [0,87 (23 – 20 – 0) – (4,74 – 4,5)]
391,5
BV =
(113,18) (2,37)
391,5
BV = = 1,46 g / cm3
268,24

2. Menentukan kerapatan butir tanah (berat jenis = BJ)
a = 19,98 gr t1 = 30 ºC
b = 36,30 gr BJ1 = 0,996 g / cm3
c = 53,25 gr t2 = 31 ºC
d = 45,03 gr BJ2 = 0,995 g / cm3
100 (b – a) BJ1 BJ2
BJ =
(100 + KL) [BJ1 (d – a) – BJ2 (c – b)]
100 (36,30 – 19,98) 0,996 x 0,995
BJ =
(100 + 13,2) [0,996 (45,03 – 19,98) – 0,995 (53,25 – 36,30)]

1617,34
BJ = = 1,77 g / cm3
113,2 (24,95 – 16,87)

3. Menentukan porositas total tanah (n)
BV = 1,46 g / cm3
BJ = 1,77 g / cm3
BV
n = 1 - x 100 %
BJ
1,46
n = 1 - x 100 %
1,77
n = (1 – 0.82) x 100 %
= 0,18 x 100 %
= 18 %

Tuesday, November 15, 2011

LAPORAN PRAKTIKUM KLIMATOLOGI ACARA 2

ACARA 2
PENGAMATAN CUACA MIKRO

I. TUJUAN
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir cuaca mikro.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro.
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Mikro klimatologi ialah ilmu yang mempelajari tentang iklim mikro atau iklim yang terdapat di dalam daerah yang cukup kecil. salah satu peredaran antara mikrometeorologi dan mikroklimatologi ialah mikrometeorologi memerlukan dasar matematika dan dasar fisika yang kompleks sehingga dapat mempelajari proses fisis atmosfer, lagipula mikrometeorologi tidak terbatas pada atmosfer dekat permukaan bumi, tetapi mungkin dapat mempelajari mikrofisika dari awan. Sedangkan mikroklimatologi tidak ditunjukkan kepada ahli meteorologi saja, tetapi juga untuk melayani ahli lain yang berminat untuk mempelajari hubungan antara kehidupan dengan iklim mikro tanpa mempunyai dasar matematika dan fisika yang kokoh. Perbedan antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau, kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa, hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
Berdasarkan faktor pengendali sifat, luasan atau wilayah identifikasi dan dampaknya terhadap kegiatan manusia, studi klimatologi dapat dibedakan atas tiga sifat umumnya yaitu (Bey dan Las, 1991):
1. Iklim global/cuaca sinoptik (global climate/ sinoptic weather) yaitu keadaan fisika dan dinamika atmosfer bagian atas hingga lapisan troposfer antara belahan bumi (kawasan yang sangat luas). Iklim/cuaca ini dikendalikan oleh pusat-pusat tekanan rendah dinamakan massa udara dalam besar dan peredaran arus dari satu samudera ke samudera yang lain.
2. Iklim meso/ makro (scren climate) yaitu keadaan atmosfer lapisan agak dekat permukaan pada suatu lokasi (tapak) dengan luasan tertentu yang bisa dipantau melalui stasiun klimatologi/ meteorologi di lapangan atau dekat permukaan tanah (10m). keadaan fisika atmosfer pada strata ini telah banyak dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan bumi, gejala golak-galik (turbulensi) udara adalah dominan.
3. Iklim mikro (micro climate) menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m). Dalam skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar / di bawah tajuk tanaman dalam kandang terakhir
Iklim menunjukkan keadaan semula jadi yang berakitan dengan atmosfer di setiap kawasan yang berkait rapat dengan cuaca seperti suhu, kelembaban, taburan hujan, arah dan kelajuan angin. Iklim mikro pula menunjukkan kepada kedaan iklim bagi suatu kawasan kecil atau iklim tempatan, misalnya iklim Malaysia adalah salah satu dari keadaan iklim mikro yang menjadi pecahan kepada iklim dunia (Ahmad, 2003).
Iklim mikro memang sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan budidaya tanaman. Salah satu caranya adalah dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat dilaksanakan sampai batas tertentu. Walaupun begitu ada beberapa subtitusi unsur iklim partial yang belum dapat dilalaikan. Hal tersebut mungkin dilaksanakan dengan biaya yang cukup tinggi, tidak adanya unsur pengganti atau karena adanya unsur yang berlebihan. Misalnya radiasi matahari yang terlalu terik, suhu yang terlalu rendah, atau hujan yang terlalu banyak dan merata. Dalam keadaan yang semacam itu yang realistik dan relatif akan lebih mudah adalah modifikasi cuaca atau iklim yang semula tidak sesuai menjadi sesuai dengan tanaman tertentu. Misalnya dengan membuat naungan yang baik, naungan fisik maupun naungan biologis untuk radiasi matahari yang terlalu tinggi, membangun green house untuk suhu yang terlalu rendah atau hujan yang terlalu banyak, meratakan angin dan lain-lain (Wisnubroto, 2000).
Modifikasi iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman hortikultura merupakan suatu usaha yang telah banyak dilakukan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman (Noorhadi dan Sudadi, 2003).
Penyebaran berbagai jenis tumbuhan akan dibatasi oleh kondisi iklim dan tanah serta daya adaptasi dari masing-masing spesies tumbuhan tersebut. Sesungguhnya hubungan antara vegetasi dan iklim merupakan hubungan saling pengaruh. Selain iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, keberadaan vegetasi juga dapat mempengaruhi iklim di sekitarnya. Semakin besar total biomassa vegetasi yang terlibat dan semakin nyata pengaruhnya terhadap iklim wilayah tersebut. Peran vegetasi mirip bentang dan air. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mengandung banyak air dan tumbuhan menyumbang banyak uap air ke atmosfer melalui proses transpirasi (Lakitan, 1994).
Anasir iklim mikro yang mempengaruhi pertumbuhan, antara lain:
1. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Anemometer. Kecepatan angin dapat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Besar kecilnya gradien barometrik.
Gradien Barometrik, yaitu angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara melalui dua garis isobar pada garis lurus, dihitung untuk tiap-tiap 111 km (jarak 111 km di equator 1 ( atau 1/360 x 40.000 km = 111 km). Menurut hukum Stevenson bahwa kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometriknya. Semakin besar gradien barometriknya, semakin besar pula kecepatannya.
b. Relief Permukaan Bumi.
Angin bertiup kencang pada daerah yang reliefnya rata dan tidak ada rintangan. Sebaliknya bila bertiup pada daerah yang reliefnya besar dan rintangannya banyak, maka angin akan berkurang kecepatannya.
c. Ada Tidaknya Tanaman.
Banyaknya pohon-pohonan akan menghambat kecepatan angin dan sebaliknya, bila pohon-pohonannya jarang maka sedikit sekali memberi hambatan pada kecepatan angin
d. Tinggi Tempat dari Permukaan Tanah.
Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi akan mendapatkan hambatan karena bergesekan dengan muka bumi, sedangkan angin yang bertiup jauh di atas permukaan bumi bebas dari hambatan.

2. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Termometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sudut datang sinar matahari, yaitu sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dengan arah datangnya sinar matahari. Makin kecil sudut datang sinar matahari, semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi dibandingkan sudut yang datangnya tegak lurus.
b. Lama waktu penyinaran matahari, makin lama matahari bersinar, semakin banyak panas yang diterima bumi.
c. Keadaan muka bumi (daratan dan lautan), daratan cepat menerima panas dan cepat pula melepaskannya, sedangkan sifat lautan kebalikan dari sifat daratan.
d. Banyak sedikitnya awan, ketebalan awan mempengaruhi panas yang diterima bumi. Makin banyak atau makin tebal awan, semakin sedikit panas yang diterima.

3. Kelembaban Udara.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau hygrometer.
Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi:
1. Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu kelembaban yang menunjukkan berapa gram berat uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (1 m³) udara.
2. Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu bilangan yang menunjukkan berapa persen perbandingan antara jumlah uap air yang terkandung dalam udara dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut.

4. Radiasi Matahari
Matahari adalah sumber energi pada peristiwa yang terjadi dalam atmosfer yang dianggap penting bagi sumber kehidupan. Energi matahari merupakan penyebab utama dari perubahan dan pergerakan dalam atmosfer sehingga dapat dianggap sebagai pengendali iklim dan cuaca yang besar. Dari matahari dipancarkan sinar yang pada umumnya mempunyai gelombang pendek, sedangkan dari bumi dipancarkan sinar dengan gelombang panjang. Bagian radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi disebut insolasi.






















III. METODOLOGI

Pada percobaan pengamatan iklim mikro yang dilaksanakan pada hari Selasa 6 Maret 2006 dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa kanopi. Daerah yang berkanopi di dalammya meliputi vegetasi : pohon jati, sengon, bambu, pinus, lamtoro, dan rumput. Sedangkan pada daerah yang tanpa kanopi di dalamnya hanya terdapat vegetasi rumput saja. Pengamatan ini dilakukan di lembah UGM dimulai pukul 14.00.
Alat-alat yang digunakan adalah termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, foot candles untuk mengukur intensitas cahaya, biram enemometer untuk mengukur kecepatan angin, stick termometer untuk mengukur suhu tanah, serta statif untuk menggantung termometer dan termohigrograf yang dipasang pada ketinggian 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukan tanah.
Dua tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca makro kali ini. Kemudian statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan termometer serta termohigrograf pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 6 kali pengamatan.
Stick termometer ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm dari permukan tanah. Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10 menit sekali 10 menit pertama dilakukan pada jeluk 0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 20 cm, setelah sepuluh menit dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Kemudian stick termometer dimasukkan lagi pada jeluk 40 cm, setelah sepuluh menit dicatat hasil pengamatannya pada tebel pengamatan. Pengamatan dengan stick anemometer dilakukan bersamaan dengan alat lainnya sebanyak 3 kali pengamatan.
Pada waktu yang bersamaan biram anemometer disiapakan lima menit sebelum waktu ditentukan. Setelah memasuki waktu yang ditentukan yaitu bersama-sama dengan waktu yang lainnya dimulai, biram anemometer diangkat ke atas agar tidak terhalang dengan penghalang. Setiap lima menit hasil pengamatan dicatat dan lima menit kemudian alat tersebut diistirahatkan. Pengamatan dilakukan hingga menghasilkan enam data.
Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan foot candles. Alat ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca. Begitu seterusnya. Sensor cahaya berada di atas foot candles jika sudah tidak digunakan maka ditutup kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran intensitas cahaya.





























VI. HASIL PENGAMATAN


PARAMETER YANG DIAMATI NO TITIK WAKTU PENGAMATAN ARAS/ JELUK PENGAMATAN STRATA
KANOPI TAK BERKANOPI







SUHU UDARA
1.
10 menit 25 cm 28 32
75 cm 29.2 33
150 cm 29.6 30.5

2.
20 menit 25 cm 27 31
75 cm 29 32.5
150 cm 29.3 29.5

3.
30 menit 25 cm 29.27 30
75 cm 28.3 31.5
150 cm 29 29

4.
40 menit 25 cm 27 30.5
75 cm 28.5 30.5
150 cm 29 29
5.
50 menit 25 cm 27 29.5
75 cm 29.2 30.5
150 cm 29 29.5
6.
60 menit 25 cm 26.5 29
75 cm 29 30
150 cm 28.8 29.5







KELEMBABAN NISBI UDARA
1.
10 menit 25 cm 50 65
75 cm 40 48
150 cm 54 32

2.
20 menit 25 cm 41 60
75 cm 51 50
150 cm 56 38

3.
30 menit 25 cm 58 68
75 cm 41 54
150 cm 53 46

4.
40 menit 25 cm 58 70
75 cm 41.5 57
150 cm 53 50

5.
50 menit 25 cm 58 70.5
75 cm 42 58
150 cm 53 52

6.
60 menit 25 cm 58 72
75 cm 42 58
150 cm 54 53














SUHU TANAH
1.
10 menit 0 cm 26 30
20 cm 26 28
40 cm 26 26

2.

20 menit 0 cm 26 28
20 cm 26 26.5
40 cm 25.9 26

3.

30 menit 0 cm 25.5 28
20 cm 26 28
40 cm 25.5 27

4.
40 menit 0 cm 25.5 27
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26

5.

50 menit 0 cm 25.5 26.5
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26

6.
60 menit 0 cm 25 26
20 cm 25.5 27
40 cm 25 26


KECEPATAN ANGIN 1. 5 menit 200 327
2. 10 menit 177 175
3. 15 menit 366 225
4. 20 menit 369 120
5. 25 menit 232 160
6. 30 menit 315 230

INTENSITAS PENYINARAN 1. 10 menit 20 52
2. 20 menit 15 38
3. 30 menit 15 40

















V. PEMBAHASAN


1. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm


Dari hasil pengamatan didapat grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm. Jika dilihat grafik berkanopi terlihat di bagian bawah dan grafik daerah berkanopi berada di atas dan terdapat perbedaan rata-rata suhu yang terpaut jauh. Hal ini dipengaruhi oleh suhu tanah sebab jarak antara termometer dengan tanah hanya sedikit. Pada daerah tidak berkanopi intensitas cahaya matahari yang menuju tanah semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu pada tanah, sedangkan daerah yang berkanopi intensitas cahaya terhalang oleh pohon-pohon berkanopi yang menyebabkan suhu tanah di daerah ini lebih rendah. Pada saat pengukuran di daerah berkanopi, keadaan tanah relatif lembek dan tidak terlalu kering (sedikit lembab). Hal ini juga mengakibatkan suhu tanah relatif lebih dingin. Dan pada daerah tidak berkanopi, di dalam tanah terjadi penguapan yang menyebabkan tanah menjadi relatif kering. Hal ini pula yang menyebabkan suhu udara pada aras 25 cm di daerah tidak berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang berkanopi. Jadi yang berperan dalam grafik ini adalah intensitas radiasi matahari dan suhu tanah.



2. Grafik suhu udara vs waktu aras 75 cm


Pada aras 75 cm, pengaruh panas dari tanah relatif lebih sedikit daripada aras 25 cm, terlihat sedikit penurunan suhu pada daerah tidak berkanopi. Pada daerah berkanopi yang terjadi adalah turunnya suhu meskipun penurunannya tidak begitu drastis. Penurunan suhu pada derah berkanopi lebih disebabkan oleh banyaknya intensitas radiasi matahari yang menuju daerah tersebut. Sedangkan yang terjadi pada daerah tidak berkanopi adalah sebaliknya yaitu, terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasimatahari maksimum. Pada daerah berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari angin yang bergerak dari daerah berkanopi.







3. grafik suhu udara vs waktu aras 150 cm


Pada grafik aras 150 cm, terlihat saat menit ke-30 dan menit ke-40 pada kedua grafik (berkanopi dan tidak berkanopi) menunjukkan suhu yang sama, hal ini dapat terlihat dari grafik yang saling berhimpitan. Ini menunjukkan bahwa pada aras 150 cm, pengaruh suhu tanah dapat dikatakan hampir tidak ada dan permukaan udara pada aras ini lebih merata jika dibandingkan dengan aras 25 cm dan aras 75 cm. Ini dikarenakan pada aras 150 cm yang lebih tinggi daripada aras 25 cm dan aras 75 cm, kecepatan angin lebih tinggi. Seperti pada aras 75 cm, grafik di daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi karena pengaruh intensitas radiasi matahari relatif lebih kecil, praktis pengaruh suhu akan lebih ke arah radiasi langsung (daerah tidak berkanopi).









4. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah berkanopi


Dari pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa suhu tertinggi diperoleh pada aras 150 cm. Hal ini dikarenakan oleh adanya faktor altitude dan pengaruh radiasi sinar matahari. Karena di daerah yang berkanopi intensitas penyinaran matahari tidak terlalu banyak sehingga suhu udara relatif rendah dan sedikit lebih stabil. Sedangkan adanya ketidakstabilan suhu pada data yang diperoleh disebabkan karena adanya pengaruh angin. Selain itu pada aras 150 cm grafik terlihat lebih stabil, hal ini dipengaruhi oleh pengaruh permukaan udara yang lebih merata jika dibandingkan pada aras 25 cm dan aras 75 cm.











5. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi


Dari percobaan pengamatan suhu udara pada strata tidak berkanopi dengan perbedaan tiga aras diperoleh data bahwa dari ketiga ketinggian tersebut suhu udara ketiganya mengalami penurunan pada menit ke-10 hingga menit ke-20. Dari data yang diperoleh pada grafik setelah pengamatan, terlihat bahwa suhu tertinggi terdapat pada aras 75 cm. Hal ini disebabkan oleh radiasi penyinaran, karena pengamatan ini dilakukan pada daerah yang tidak berkanopi sehingga intensitas penyinaran lebih banyak diterima tetapi pada 10 menit pertama suhu cenderung turun karena disaat pengamatan cuaca sedikit berawan sehingga radiasi matahari tidak mencapai titik maksimum. Pada aras 75 cm lebih banyak terkena matahari sehingga suhu lebih tinggi daripada aras 150 cm (pada aras ini terdapat penurunan suhu karena permukaan udara yang merata). Selain itu pada aras 150 cm lebih tinggi yang memungkinkan terlindungi oleh kanopi pepohonan sebaliknya pada aras 25 cm juga terlalu rendah sehingga tidak mendapatkan intensitas radiasi matahari secara maksimum.





6. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 25 cm


Dari grafik dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi pada 10 menit pertama kelembaban nisbinya turun lalu naik kemudian konstan sampai pada akhir pengamatan. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi pada 10 menit pertama mengalami penurunan sedangkan pada menit-menit berikutnya cenderung mengalami kenaikan sampai pada akhir pengamatan. Pada daerah berkanopi memiliki memiliki suhu yang lebih rendah dan stabil dibandingkan pada daerah tidak berkanopi. Menurut teori seharusnya suhu yang lebih rendah memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Namun yang terjadi pada hasil pengamatan adalah daerah yang tidak berkanopi memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Pada daerah yang berkanopi keadaan udara lebih kering (adanya angin) sehingga kelembaban nisbi udara cenderung kecil. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi cuaca sedikit mendung sehingga sinar matahari terhalang oleh awan sehingga menyebabkan udara lebih rendah.

7. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 75 cm


Grafik di atas menunjukkan perbedaan kelembaban nisbi yang mencolok antara daerah berkanopi dengan daerah yang tidak berkanopi. Pada menit ke-20 terlihat lonjakkan kelembaban nisbi udara dari 40% menjadi 50%pada 10 menit pertama. Sama seperti yang tejadi pada pengukuran kelembaban nisbi pada aras 25cm, grafik yang diperoleh tidak sesuai dengan teori. Seharusnya bila pada pengukuran suhu pada aras 75cm diketahui bahwa suhu pada daerah yang berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tanpa kanopi maka seharusnya kelembaban nisbi di daerah berkanopi lebih tinggi daripada daerah tanpa kanopi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Kesalahan yang terjadi kemungkinan juga karena pengukuran kelembaban nisbi pada daerah tanpa kanopi, para praktikan bergerombol menelilingi alat dan mereka menggunakan payung sehingga radiasi sinar matahari tidak langsung mengenai alat maka menyebabkan kesalahan pengukuran.


8. grafik kelembaban nisbi udara aras 150 cm


Kelembaban nisbi pada aras 150 cm antara daerah berkanopi dan tak berkanopi pada awalnya terdapat perbedaan yang besar tetapi setelah itu pada akhir pengamatan terjadi persamaan kelembaban, terlihat pada grafik yang berhimpit. Pada daerah yang tak berkanopi cenderung naik cenderung makin naik, hal ini dikarenakan radiasi matahari pada daerah ini secara langsung dan mengakibatkan suhu cenderung naik. Selain itu dapat dilihat bahwa kelembaban nisbi pada daerah yang berkanopi lebih tinggi dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu. Kelembaban nisbi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan suhu udara. Pada daerah yang berkanopi memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini menyebabkan kelembaban nisbi udara pada daerah yang berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi. Kelembaban nisbi akan naik dengan menurunnya suhu udara.







9. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah berkanopi


Pada grafik di atas terlihat peristiwa yang sangat mencolok terutama pada aras 25 dan aras 75. Garis kuning yang menggambarkan grafik pada aras 150cm, arah grafik cenderung stabil dari menit ke sepuluh sampai ke menit 60 yaitu sekitar 50%. Ini disebabkan karena pada aras ini suhu yang mempengaruhi uap air cederung stabil. Pada grafik terlihat jelas bahwa aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi. Alasannya, jika dihubungkan dengan grafik suhu vs waktu pada daerah berkanopi, pada grafik terlihat bahwa pada aras 25 memiliki rata-rata suhu yang paling rendah sehingga evaporasinya pun paling rendah, dengan begitu akan diperoleh kelembaban nisbi yang paling tinggi.









10. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi


Pada daerah tak berkanopi, terlihat pada grafik kelembaban nisbi udara terjadi kenaikan dari menit ke menit dari pengamatan pertama hingga terakhir. Hal ini terjadi pada aras 75 cm dan 150 cm. pengaruh radiasi matahari yang cenderung naik menyebabkan suhu dan tekanan udara juga naik, maka akan mempengaruhui kelembaban nisbi udara. Namun pada aras 25 cm terjadi penurunanan kelembaban nisbi udara pada menit ke 20. Hal ini dapat terjadi karena sinar matahari bersinar maksimal. Sedangkan pada menit-menit berikutnya kelembaban nisbi keseluruhan cenderung naik yang disebabkan sinar matahari bersinar tidak maksimal (cuaca sedikit mendung). Kelembaban nisbi yang paling rendah adalah pada aras 150 cm karena pengaruh sinar matahari yang semakin ke atas semakin panas yang menyebabkan kelembaban nisbi cenderung turun (rendah).







11. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 0 cm


Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm perbedaan suhu tertinggi antara daerah berkanopi dan tidak berkanopi sebesar 4°C. Dimana suhu tertinggi pada daerah tidak berkanopi yaitu 30°C. Daerah berkanopi mula-mula memiliki suhu konstan kemudian mengalami penurunan secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak langsung, sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif tinggi dan tidak konstan. Hal ini dikarenakan radiasi matahari diterima secara langsung. Pada daerah berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi. Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah.



12. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 20 cm



Pada grafik suhu tanah jeluk 20 cm, perbedaan suhu tertinggi antara daerah yang berkanopi dengan tidak berkanopi adalah 25° C dan yang terendah adalah sebesar 0.5°C. dimana suhu yang tertinggi terdapat pada daerah yang tidak berkanopi. Di daerah ini mula-mula suhu turun kemudian naik turun kembali dan akhirnya mejadi stabil (selalu berfluktuasi) hingga akhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena cuaca selalu berubah-ubah dari mendung kembali menjadi cerah kemudian menjadi mendung kembali (cuaca tidak menentu). Sementara di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.









13. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 40 cm


Grafik suhu tanah vs waktu pada jeluk 40 cm menunjukkan suhu tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih rendah dan lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah berkanopi adalah 25,5°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah 26°C, keduanya tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Keadaan suhu tanah pada jeluk 40 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah daerah yang berkanopi.








14. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi


Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm menunjukkan pada jeluk 20 cm memiliki suhu tanah rata-rata 25.75°C lebih tinggi daripada jeluk 0 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.5°C dan jeluk 40 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.4°C. grafik tersebut memiliki fluktuasi yang sedikit tidak stabil. Hal ini karena penggunaan stick termometer yang ditancapkan pada tanah yang berbeda untuk mendapatkan kedalamam 20 cm atau 40 cm. Karena adanya perbedaan struktur pembangun tanah (ada yang gembur/ mudah untuk ditancapkan dan ada tanah yang padat) menyebabkan data suhu tanah dengan tempat yang lain berbeda sehingga menyebabkan fluktuasi yang tidak stabil.









15. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah tidak berkanopi


Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah yang tidak berkanopi dapat kita perhatikan bahwa rasio suhu tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm tidak begitu jauh perbedaannya. Rata-rata suhu tanah tertinggi pada jeluk 0 cm yaitu sebesar 27.5°C, diikuti rata-rata suhu tanah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 27°C dan suhu tanah yang terendah pada jeluk 40 cm yaitu sebesar 26°C. Dari data ini dapat kita lihat pula bahwa pada daerah tidak berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0 cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat time lag (selang waktu).









16. Grafik kecepatan angin vs waktu


Pada grafik kecepatan angin pada strata berkanopi dengan strata tidak berkanopi dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi karena pada daerah ini memiliki suhu yang rendah dan memiliki tekanan yang lebih tinggi. dan angin memiliki pergerakan dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Saat di daerah yang berkanopi pergerakan angin terhalang oleh pepohonan dan kecepatannya akan berkurang saat memasuki daerah tidak berkanopi.












17. Grafik intensitas penyinaran vs waktu


Dari grafik intensitas penyinaran pada daerah berkanopi dan daerah tidak berkanopi dapat diamati bahwa intensitas penyinaran pada daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini disebabkan karena daerah tidak berkanopi menerima energi atau cahaya matahari secara langsung (energi lebih besar). Sedangkan pada daerah berkanopi akan menerima cahaya matahari dengan intensitas yang lebih kecil karena adanya penghalang yang berupa kanopi-kanopi pepohonan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas matahari terbesar terdapat pada daerah yang tidak berkanopi.












VI. KESIMPULAN

Dari pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Suhu udara didaerah berkanopi rata-rata lebih rendah dibanding daerah tidak berkanopi selama pengamatan.
2. Suhu udara pada daerah berkanopi, aras 150 cm> 75 cm> 25 cm.
3. Suhu udara pada daerah tidak berkanopi, 25 cm > 75 cm> 150 cm.
4. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi pada waktu pengamatan rata-rata lebih tinggi daripada strata tidak berkanopi.
5. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi, 25 cm>150 cm> 75 cm.
6. Kelembaban nisbi udara pada strata tidak berkanopi, 25 cm> 75 cm> 150cm.
7. Pada daerah berkanopi suhu tanah relatif stabil kecuali pada jeluk 20 cm.
8. Pada daerah tidak berkanopi suhu tanah, jeluk 0 cm> 20 cm> 40 cm.
9. Kecepatan angin pada strata berkanopi > tidak berkanopi.
10. Intensitas penyinaran pada strata berkanopi < strata tidak berkanopi.





















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A.G. 2003. Alam Sekitar dan Pembangunan. (http://portal.kukum.edu.my). Diakses pada 9 Maret 2006.

Bey, A dan Las, I. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. JurnalKapita Selekta dalam Agrometeorologi. I (1). halaman : 21-27.

Landsberg, H.E. 1981. General Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.

Larcher, W. 1975. Phsyological Plant Ecology. Carl Ritter &Co. Heldelberg.

Sanderson, M. 1990. UNESCO Source Book in Climatology for Hydrologists and Water Resource Enginers. UNESCO.

Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung

Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.
Yogyakarta.

Wednesday, October 12, 2011

PROTEIN DAN ASAM AMINO UNTUK IKAN DAN UDANG

PROTEIN DAN ASAM AMINO UNTUK IKAN DAN UDANG
2,1 Protein
Protein adalah salah satu unsur paling penting dari semua sel hidup dan mewakili kelompok kimia terbesar dalam tubuh hewan, kecuali air; seluruh bangkai ikan rata-rata mengandung 75% air, 16% protein, 6% lemak, dan 3 % abu. Protein adalah komponen penting dari kedua inti sel dan protoplasma sel, dan account yang sesuai untuk sebagian besar jaringan otot, organ, otak, saraf dan kulit.
2.1.1 Komposisi
Protein adalah senyawa organik sangat kompleks berat molekul tinggi. Pada umum dengan karbohidrat dan lipid, mereka mengandung karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), tetapi selain juga mengandung sekitar 16% nitrogen (N: kisaran 12 -19%), dan kadang-kadang fosfor (P) dan belerang (S).
2.1.2 Struktur
Protein berbeda dari penting secara biologis lainnya makromolekul seperti karbohidrat dan lipid dalam struktur dasar. Sebagai contoh, berbeda dengan struktur dasar karbohidrat dan lipid, yang sering kali terdiri dari identik atau sangat mirip dengan unit berulang (mis. mengulang unit glukosa dalam pati, glikogen dan selulosa), protein dapat memiliki hingga 100 jenis unit dasar
(asam amino). Oleh karena itu maka senyawa yang lebih besar dan rentang variabilities yang mungkin, tidak hanya untuk komposisi, tetapi juga untuk bentuk protein.
2.1.3 Sifat kimia
Koloid di alam, protein bervariasi dalam kelarutan dalam air, dari keratin larut ke Albumin sangat larut. Semua protein dapat 'didenaturasi' oleh panas, asam kuat, alkali, alkohol, aseton, urea dan garam logam berat. Ketika protein didenaturasi mereka longgar struktur mereka yang unik, dan karenanya memiliki kimia yang berbeda, sifat fisik dan biologis (mis. inaktivasi enzim oleh panas).
2.1.4 Klasifikasi
Protein dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama menurut bentuk, kelarutan dan komposisi kimia:
a. Berserat protein: protein hewani yang tidak larut umumnya sangat resisten terhadap gangguan enzim pencernaan. Protein berserat ada sebagai berserat panjang rantai. Contoh protein berserat termasuk collagens (protein utama jaringan ikat), elastin (hadir dalam jaringan elastis seperti arteri dan tendon), dan keratin (terdapat dalam rambut, kuku, wol dan kuku mamalia).
b. Globular protein: meliputi semua enzim, antigen dan hormon protein. Globular protein dapat dibagi lagi menjadi Albumin (larut dalam air, panas-coagulable protein yang terjadi pada telur, susu, darah dan banyak tanaman); globulin (tidak larut atau hemat larut dalam air, dan hadir dalam telur, susu, dan darah, dan berfungsi sebagai cadangan protein utama dalam menanam benih), dan histon (protein dasar berat molekul rendah, larut dalam air, terjadi dalam inti sel yang terkait dengan asam deoksiribonukleat - DNA).
c. Conjugated protein: ini adalah protein yang menghasilkan kelompok-kelompok non-protein serta asam amino pada hidrolisis. Contoh-contoh termasuk phosphoproteins (kasein susu, kuning telur phosvitin), glikoprotein (lendir), lipoprotein (sel membran), chromoproteins (hemoglobin, haemocyanin, sitokrom, flavoproteins), dan nucleoproteins (kombinasi dari protein dengan asam nukleat hadir dalam inti sel).
Fungsi Protein 2,2
Fungsi protein dapat diringkas sebagai berikut:
• Untuk memperbaiki jaringan dikenakan atau terbuang (jaringan perbaikan dan pemeliharaan) dan membangun jaringan baru (seperti protein dan pertumbuhan baru).
• Protein dapat catabolized sebagai sumber energi, atau dapat berfungsi sebagai substrat untuk pembentukan karbohidrat atau lipid jaringan.
• Protein diperlukan dalam tubuh hewan untuk pembentukan hormon, enzim dan berbagai zat lain yang penting secara biologis seperti antibodi dan hemoglobin.
Protein 2,3 persyaratan
Studi tentang persyaratan gizi makanan ikan dan udang telah hampir seluruhnya didasarkan pada studi yang sebanding dengan yang dilakukan dengan hewan ternak darat. Oleh karena itu maka bahwa hampir semua informasi yang tersedia tentang kebutuhan gizi makanan spesies akuakultur berasal dari makanan berdasarkan uji laboratorium; binatang yang disimpan dalam sebuah lingkungan yang terkendali kepadatan tinggi dan tidak memiliki akses ke makanan alami organisme.
2.3.1 Optimum tingkat protein
Berdasarkan teknik pemberian makanan yang dipelopori dan dikembangkan untuk hewan darat kebutuhan protein ikan pertama kali diselidiki dalam Chinnok salmon (Oncorhynchus tshawytscha) oleh Delong, et al, (1958). Ikan diberi makan diet seimbang dinilai mengandung kadar protein yang berkualitas tinggi (kasein: campuran agar-agar dilengkapi dengan kristal asam amino untuk mensimulasikan profil asam amino seluruh protein telur ayam) selama jangka waktu 10 minggu dan tingkat protein yang diamati memberikan pertumbuhan yang optimal diambil sebagai persyaratan (Gambar 2). Karena studi-studi awal ini pendekatan yang digunakan oleh para pekerja saat ini telah berubah sangat sedikit kalaupun ada, dengan kemungkinan pengecualian pada digunakan oleh beberapa peneliti dari protein jaringan maksimum retensi atau keseimbangan nitrogen dalam preferensi untuk berat badan sebagai kriteria persyaratan (Ogino, 1980). Kebutuhan protein diet biasanya dinyatakan dalam persentase makanan tetap atau sebagai rasio energi protein diet.

Gambar. 2. Khas kurva respons dosis
Hingga saat ini lebih dari 30 spesies ikan dan udang telah diteliti dengan cara ini dan hasilnya menunjukkan seragam kebutuhan protein tinggi dalam kisaran 24-57%, atau setara dengan 30-70% dari kandungan energi bruto dari makanan dalam bentuk protein (Tabel 1). Sementara kebutuhan protein tinggi mungkin diharapkan untuk jenis ikan karnivora, seperti plaice (Pleuronectes platessa -50%; Cowey et al, 1972) atau Snakehead (Channa micropeltes -52%; Wee dan Tacon, 1982), fakta bahwa kebutuhan protein yang relatif tinggi juga terlihat di rumput herbivora gurami (Ctenopharyngodon idella 41-43%; Dabrowski, 1977) menunjukkan bahwa sebagian persyaratan mungkin merupakan fungsi dari metodologi yang digunakan untuk penentuan. Yang digunakan oleh pekerja yang berbeda dari berbagai sumber protein diet, non-energi protein pengganti, memberi makan rezim, ikan kelas umur dan metode untuk menentukan kandungan energi makanan dan makanan kecil daun Common persyaratan dasar untuk perbandingan langsung harus dibuat dalam atau antara ikan speceis . Sebagai contoh, kebutuhan protein tinggi diamati untuk rumput goreng ikan mas (41-43%; Dabrowski, 1977) hampir pasti muncul dari semua percobaan ikan diberi makan ransum yang terbatas (hanya makan ikan dua kali sehari, dan terpaku pada iklan tercatat terendah libitum feed mengambil) dan akibatnya memberi makan ikan protein diet rendah tidak mampu mengkonsumsi pakan yang cukup untuk memenuhi diet protein dan kebutuhan energi. Sebuah tinjauan kritis dari metode yang digunakan untuk estimasi diet protein dan asam amino persyaratan dalam ikan dan Crustacea telah dibuat oleh Tacon dan Cowey (1985) dan Cowey dan Tacon (1983) masing-masing.
Diet tinggi kebutuhan protein ikan dan udang umumnya dikaitkan dengan mereka karnivora / omnivora kebiasaan makan, dan preferensi mereka menggunakan protein lebih dari diet karbohidrat sebagai sumber energi (Cowey, 1975). Berbeda dengan peternakan hewan darat ikan dan udang dapat untuk memperoleh lebih banyak energi dari metabolizable katabolisme protein daripada dari karbohidrat.
2.3.3 Faktor-faktor abiotik - suhu dan salinitas
Pengaruh suhu air pada kebutuhan protein dan pertumbuhan ikan telah menjadi subyek sejumlah penyelidikan. Studi awal DeLong dan rekan kerja dengan fingerling Chinook salmon (O. tshawytscha) adalah kata untuk menunjukkan peningkatan kebutuhan protein dari 40% sampai 55% dengan peningkatan suhu air dari 8,3 ° C sampai 14,4 ° C ( DeLong, et al., 1958). Baru-baru ini, kenaikan serupa kebutuhan protein diet dilaporkan dalam fingerling Striped bass (Morone saxatilis) dari 47% menjadi 55% dengan peningkatan suhu air dari 20,5 ° C sampai 24,5 ° C (Millikin, 1983; Tabel 1). Sebaliknya, fingerling rainbow trout (Salmo gairdneri) tidak menunjukkan perbedaan dalam pertumbuhan pada tingkat protein 35%, 40% dan 45% pada suhu 9 ° C, 12 ° C, 15 ° C dan 18 ° C dalam satu studi ( Slinger et al., 1977) atau dalam studi lain dengan suhu 9 ° C, 15 ° C dan 18 ° C (Cho dan Slinger, 1978). Meskipun suhu berbeda efek yang diamati dalam hal pertumbuhan, semakin besar kebutuhan mutlak bagi protein pada suhu air lebih tinggi rupanya puas melalui peningkatan konsumsi protein diet yang lebih rendah. Studi terakhir ini sejalan dengan hipotesis bahwa peningkatan suhu air (sampai ke tingkat optimal) disertai dengan peningkatan konsumsi pakan (Brett, et al., 1969; Choubert, et al., 1982), peningkatan laju pertumbuhan dan metabolic rate (Jobling, 1983) dan yang lebih cepat gastro-intestinal waktu transit (Fauconneau, et al., 1983; Ross dan Jauncey, 1981) di bawah kondisi di mana pasokan makanan tidak membatasi. Berat bukti adalah bahwa peningkatan suhu air tidak mengarah pada peningkatan kebutuhan protein. Dalam kedua kasus di mana persyaratan seperti diklaim, efek suhu air pada kebutuhan protein diet diteliti dengan membandingkan hasil yang diperoleh dalam percobaan berturut-turut pada temperatur air yang berbeda. Selain itu, pertumbuhan sub-optimal dan peningkatan konsumsi pakan ikan diamati dengan makan diet protein yang lebih tinggi menunjukkan bahwa rezim makan libitum iklan dipekerjakan pada kenyataannya menyebabkan asupan pakan yang terbatas.
TABEL 1. Kebutuhan protein ikan dan udang (dinyatakan sebagai% dari makanan kering)

Spesies
Kebutuhan protein Size range 1
Feeding rezim 2
Sistem budaya Referensi

IKAN

Mujair
40
Fingerling
6% bw / d
Indoor / tangki Jauncey (1982)

Oreochromis niloticus 35
Fry
15% bw / d
Indoor / tangki Santiago et al., (1982)

O. niloticus
28-30
Fry / fing.
6% bw / d
Indoor / tangki De Silva & Perera (1985)

O. niloticus
25
Fingerling
3,5% bw / d
Indoor / tangki Wang, Takeuchi & Watanabe (1985)
O. niloticus
35
Fingerling
4% bw / d
Indoor / tangki Teshima, Kanazawa & Uchiyama (1985)
O. niloticus
19-29
Juvenile
3% bw / d
Outdoor / kandang Wannigama, Weerakoon & Muthukumarama (1985) yang

O. niloticus / aureus hibrida 30
Penanam
2-2,5% bw / d Outdoor / kolam Viola & Zohar (1984) b

Oreochromis aureus
30
Fingerling
6% bw / d
Indoor / tangki Toledo, Cisneros & Ortiz (1983)
O. aureus
36
Fingerling
8,8% bw / d
Indoor / tangki Davis & Stickney (1978)

O. aureus
56
Fry
20% bw / d
Indoor / tangki Winfree & Stickney (1981)

O. aureus
34
Fingerling
10% bw / d
Indoor / tangki Winfree & Stickney (1981)

Tilapia zilli
35
Fingerling
5% bw / d
Indoor / tangki Mazid et al., (1979)

T. zilli
35-40
Fingerling
4% bw / d
Indoor / tangki Teshima, Gonzalez & Kanazawa (1978)
Cyprinus carpio
35
Penanam
5% bw / d
Indoor / tangki Jauncey (1981)

C. carpio
34
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Murai et al., (1985)

C. carpio
38
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Ogino & Saito (1970)

Ctenopharyngodon idella 41-43
Fry
Tetap (?)
Indoor / tangki Dabrowski (1977)

Mugil capito
24
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Papaparaskeva-Papoutsoglou & Alexis (1985)
Ictalurus punctatus
35
Penanam
Fixed (1-4% bw / d) Outdoor / kandang Lovell (1972) c

I. punctatus
29-42
Penanam
Fixed (1-4% bw / d) Outdoor / kolam Prather & Lovell (1973) d

I. punctatus
45
Penanam
Tetap (34-45kg/ha/d) Outdoor / kolam Lovell (1975) e

I. punctatus
25
Penanam
Ad.lib.
Indoor / tangki Halaman & Andrews (1973)
I. punctatus
36
Fingerling
3% bw / d
Indoor / tangki Garling & Wilson (1976)

I. punctatus
25
Juvenile
Fixed (3-4% bw / d) Outdoor / kolam Deyoe et al., (1968) f

I. punctatus
35
Juvenile / tumbuh. 3% bw / d
Indoor / tangki Halaman & Andrews (1973)
Alosa sapidissima
42,5
Fingerling
Ad.lib.
Outdoor / tangki Murai, Fleetwood & Andrews (1979)
Pangasius sutchi
25
Fry / fing.
10% bw / d
Indoor / tangki Chuapoehuk & Pthisoong (1985)
Chanos chanos
40
Fry
10% bw / d
Indoor / tangki Lim et al., (1979)

Channa micropeltes
52
Penanam
2% bw / d
Indoor / tangki Wee & Tacon (1982)

Fugu rubripes
50
Fingerling
10% bw / d
Indoor / tangki Kanazawa et al, (1980)

Chrysophrys aurata
38,4
Fingerling / juv. Ad.lib.
Indoor / tangki Sabaut & Luquet (1973)

Morone saxatilis
47
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Millikin (1983)

M. saxatilis
55
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Millikin (1982) g

Anguilla japonica
44,5
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Hidung & Arai (1973)

Micropterus dolomieui 45,2
Fry / fing.
Ad.lib.
Indoor / tangki Anderson et al., (1981)

Micropterus salmoides 40-41
Fingerling
Ad.lib.
Indoor / tangki Anderson et al., (1981)

Pleuronectes platessa 50
Juvenile
Ad.lib.
Indoor / tangki Cowey et al., (1972)

Salvelinus alpinus
36-43.6
Juvenile / tumbuh. Ad.lib.
Indoor / tangki Jobling & Wandsvik (1983)
Salmo gairdneri
42
Penanam
Tetap (?)
Indoor / tangki Austreng & Refstie (1979)

S. gairdneri
40
Fingerling / juv. Tetap
Indoor / tangki Satia (1974) h

S. gairdneri
40-45
Fingerling / juv. Ad.lib.
Indoor / tangki Zeitoun et al., (1973) i

PRAWN

Macrobrachium rosenbergii 40
PL 0.15g
12-5% bw / d Indoor / tangki Millikin et al., (1980)

M. rosenbergii
15
PL 0.12g
Tetap
Outdoor / tangki Boonyaratpalin & New (1982) j

M. rosenbergii
35
PL 0.10g
5% bw / d
Outdoor / tangki Balazs & Ross (1976) k

M. rosenbergii
27
PL 1.90g
5% bw / d
Outdoor / kolam Stanley & Moore (1983) l

UDANG

Penaeus indicus
30-40
PL 1-42 hari Tetap
Indoor / tangki Bhaskar & Ali (1984) m

P. indicus
43
PL 0.4-1.1g
10-15% bw / d Indoor / tangki Colvin (1976)

Penaeus aztecus
≤ 40
PL 24-135mg 100-50% bw / d Indoor / tangki Venkataramiah, Laksmi & Gunter (1975)
P. aztecus
43-51
PL 0.4-1.3g
Tetap (?)
Indoor / tangki Zein-Eldin & Corliss (1976) n

Penaeus setiferus
28-32
Remaja 4g
5% bw / d
Indoor / tangki Andrews, Sick & Baptis (1972)
Penaeus merguiensis 50-55
Juv. 3-8g
Tetap (?)
Indoor / tangki Dizzy (1978) n

P. merguiensis
34-42
PL 0.3g
Tetap (?)
Indoor / tangki Sedgwick (1979) n

Udang windu
55
PL 2mg
Tetap (?)
Outdoor / tangki Bages & Sloane (1981) o

P. monodon
34
PL 5mg
100% bw / d
Indoor / tangki Khannapa (1977)

P. monodon
40
PL 25mg-0.7g 100-10% bw / d Indoor / tangki Khannapa (1977)

P. monodon
40
Juv. 1-3g
Tetap (?)
Indoor / tangki Dizzy (1977) n

P. monodon
45,8
PL 0.5-1g
Tetap (?)
Indoor / tangki Lee (1971) n

Penaeus vannamei
≥ 36
Juv. 4-20g
Tetap (?)
Indoor / tangki Smith et al., (1985) n

P. vannamei
30-35
PL 32mg-0.5g (?)
Indoor / tangki Colvin & Brand (1977)

Penaeus stylirostris
30-35
PL 45mg
(?)
Indoor / tangki Colvin & Brand (1977)

P. stylirostris
44
PL 5mg
(?)
Indoor / tangki Colvin & Brand (1977)

Penaeus californiensis 44
PL 5mg
(?)
Indoor / tangki Colvin & Brand (1977)

P. californiensis
≤ 30
Juv. 1g +
(?)
Indoor / tangki Colvin & Brand (1977)

Penaeus japonicus
52-57
PL 0.8g
Ad.lib.
Indoor / tangki Deshimaru & Yone (1978)

P. japonicus
> 40
Juv. 1-2g
Tetap (?)
Indoor / tangki Balazs, Ross & Brooks (1973) n

P. japonicus
54
PL 0.6-1g
Ad.lib.
Indoor / tangki Deshimaru & Kuroki (1974)

Palaemon serratus
30-40
PL 0.1-0.2g
Tetap (?)
Indoor / tangki Forster & Beard (1973) n


1 Ikan size range: menggoreng 0-0.5g, fingerling 0.5-10g, remaja 10-50g, 50g petani dan di atas.
2 Feeding rezim:% bw / d - asupan pakan tetap dinyatakan sebagai persentase berat badan per hari, atau Ad libitum makan dua sampai empat kali setiap hari.
sebuah Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan protein pada tiga penebaran kepadatan 400, 600 dan 800 ikan / m 3, dengan menggunakan 5m 3 kandang.
b 200m 2 tanah kolam, kepadatan ikan 2 / m 2, kolam juga dibuahi dengan unggas sampah pada tingkat 5kg/pond/week.
c Ikan kepadatan penebaran 300 / m 3.
d / e Ikan 9880/hectare kepadatan penebaran.
f Plastik berjajar kolam, dengan kepadatan penebaran ikan 3000-3700/hectare.
g Peningkatan kebutuhan protein diet fingerling dilaporkan untuk bass bergaris 47-55% dengan peningkatan suhu air 20,5-24,5 ° C.
h Feed asupan tetap dalam semua kelompok untuk tercatat terendah asupan pakan libitum Iklan diamati.
i Protein kata persyaratan untuk meningkatkan 40-45% dengan meningkatnya salinitas.
j Outdoor kolam beton, 5 binatang / m 2, air jarang terjadi pertukaran, semua hewan sama makan di tingkat bunga tetap berdasarkan asupan tertinggi tercatat.
k outddor fiberglass tank, 17 hewan / m 2, pertukaran air yang tinggi.
l Hewan terletak di dalam pena di kolam tanah, 10 hewan / m 2.
m Semua binatang makan di laju tetap 5mg feed / larva / hari (PL 1-10), 15mg feed / larva / hari (PL 11-50), dan 20mg feed / larva / hari (PL 24-42).
n Semua hewan diberi makan berlebihan sekali atau dua kali sehari.
o Diet diformulasikan untuk 55% protein kasar, tetapi tingkat aktual setelah pemrosesan makanan adalah 45%.

Sangat sedikit studi telah dilakukan mengenai pengaruh salinitas pada kebutuhan protein. Percobaan dilakukan dengan fingerling rainbow trout (ikan yang euryhaline) dilaporkan menunjukkan peningkatan persyaratan yang mutlak untuk diet protein dari 40% sampai 45% dengan peningkatan salinitas 10-20 bagian per seribu (Zeitoun, et al., 1973; Tabel 1). Namun, tidak ada peningkatan kebutuhan protein diamati pada percobaan yang sama dilakukan dengan coho salmon fingerlings (O. kisutch); Zeitoun et al., 1974). Mengingat metode spekulatif untuk sampai pada kebutuhan diet dari kurva respons dosis (Zeitoun et al., 1973), dan kurangnya informasi tentang kebutuhan protein ini spesies ikan di laut kekuatan penuh air (35 bagian per seribu), tidak ada data perusahaan menunjukkan bahwa kebutuhan protein ikan akan meningkat dengan meningkatnya salinitas. Tidak ada informasi mengenai pengaruh salinitas pada kebutuhan protein udang.
Asam amino 2,4
Meskipun lebih dari 100 asam amino yang berbeda telah diisolasi dari bahan biologis, hanya 25 dari ini biasanya ditemukan dalam protein. Masing-masing asam amino dicirikan dengan memiliki sebuah kelompok karboksi asam (-COOH) dan kelompok nitrogen dasar (biasanya kelompok amino:-NH 2). Mengingat keberadaan kedua asam dan kelompok dasar, asam amino amfoter (mis. memiliki kedua asam dan sifat dasar) dan akibatnya bertindak sebagai buffer dengan menolak perubahan pH. Struktur kimia yang lebih sering terjadi asam amino ditunjukkan di bawah ini :

Fungsi asam amino 2,5
Asam amino menempati posisi sentral dalam metabolisme sel karena hampir semua reaksi biokimia dikatalisis oleh enzim yang tersusun dari asam amino residu. Asam-asam amino yang penting untuk metabolisme karbohidrat dan lemak, untuk sintesis protein jaringan dan banyak senyawa penting (misalnya adrenalin, tiroksin , melanin, histamin, porphyrins - hemoglobin, pirimidin dan purin - asam nukleat, kolin, asam folat dan asam nikotinat - vitamin, taurin - garam empedu dll), dan sebagai metabolik sumber energi atau bahan bakar.
Persyaratan asam amino 2,6
Tujuan gizi, asam amino dapat dibagi menjadi dua kelompok asam amino esensial (EAA), dan non-asam amino esensial (NEAA). EAA adalah mereka asam amino yang tidak dapat disintesis dalam tubuh hewan atau dengan laju cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis pertumbuhan hewan, dan oleh karena itu harus disediakan dalam bentuk siap pakai dalam makanan. NEAA adalah mereka asam amino yang dapat disintesis dalam tubuh dari sumber karbon yang sesuai dan kelompok amino dari asam amino lain atau senyawa sederhana seperti diamonium sitrat, dan akibatnya tidak harus disediakan dalam bentuk siap pakai dalam makanan.
EAA diet untuk ikan dan udang adalah sebagai berikut:
Treonin
Valin

Leusin
Isoleusin

Metionin
Triptofan

Lisin
Histidin

Arginin
Fenilalanin

Meskipun tidak NEAA diet nutrisi penting, mereka melakukan banyak fungsi penting pada selular atau tingkat metabolisme. Mereka disebut diet nutrisi yang tidak penting hanya karena jaringan tubuh dapat mensintesis mereka pada permintaan. Bahkan sering dikutip bahwa secara fisiologis NEAA begitu penting bahwa tubuh menjamin pasokan yang memadai oleh sintesis. Dari sudut pandang perumusan feed, penting untuk mengetahui bahwa NEAA's sistin dan tirosin dapat disintesis dalam tubuh dari EAA's metionin dan fenilalanin masing-masing, dan akibatnya kebutuhan diet EAA ini tergantung pada konsentrasi yang sesuai dalam NEAA diet.
2.6.1 Optimum diet kadar asam amino esensial
(a) Dosis respon dan metode deposisi bangkai: EAA kuantitatif persyaratan ikan secara tradisional telah ditentukan oleh tingkat dinilai memberi makan setiap asam amino dalam tes asam amino diet sehingga untuk mendapatkan satu dosis kurva respons (untuk review lihat Ketola, 1982; Cowey dan Luquet, 1983; Wilson, 1985). Kebutuhan makanan dan biasanya diambil di 'titik istirahat' atas dasar respons pertumbuhan yang diamati. Di samping pertumbuhan, beberapa pekerja juga telah menggunakan kadar asam amino bebas dalam jaringan tertentu renang (seluruh darah, plasma darah atau otot; Kaushik, 1979 ), atau berlabel radioaktif oksidasi asam amino (dikelola secara lisan atau melalui suntikan; Walton, Cowey dan Adron, 1982) sebagai kriteria untuk memperkirakan kebutuhan diet. Dalam uji asam amino diet menggunakan komponen protein hampir seluruhnya diberikan dalam bentuk kristal asam amino atau dalam kombinasi dengan yang dipilih 'seluruh' sumber protein (kasein baik umum, agar-agar, Zein, gluten atau tepung ikan); asam amino profil dari total komponen protein diet dikendalikan sehingga untuk mensimulasikan profil asam amino dari protein referensi tertentu.
Berbeda dengan metode standar di atas ikan diberi makan di mana tingkat dinilai kristalin asam amino, Ogino (1980a) menentukan kebutuhan EAA kuantitatif ikan secara bersamaan atas dasar sehari-hari pengendapan asam amino individu dalam bangkai ikan. Dalam metode Ogino ikan diberi makan diet yang mengandung 'seluruh' sumber protein biologis tinggi nilai, dan persyaratan EAA makanan dihitung berdasarkan harian yang diamati nilai deposisi jaringan EAA.
Tabel 2 merangkum dikenal persyaratan kuantitatif EAA ikan belajar untuk tanggal dengan menggunakan teknik-teknik yang disebutkan di atas. Diet kuantitatif persyaratan untuk semua 10 EAAs telah dibentuk untuk hanya lima jenis ikan (ikan mas Common C. carpio, ikan trout pelangi S. gairdneri, punĎtatus I. ikan lele, belut jepang A. Anguilla, dan Chinook salmon O. tshawytscha). Saat ini tidak ada informasi kuantitatif mengenai persyaratan EAA diet udang; dalam hal ini utama karena pertumbuhan masyarakat miskin yang diamati dengan makan udang uji asam amino sintetis diet dan masalah-masalah yang melekat pencucian hara akibat perluasan kebiasaan makan udang .
Meskipun banyak penelitian independen baru saja dilakukan pada persyaratan asam amino trout pelangi, perbedaan yang signifikan dalam persyaratan (acid/100g amino g protein) ada di dalam dan antar individu spesies ikan (Tabel 2). Misalnya, perbedaan urutan 65%, 72% dan 114% yang diamati antara laboratorium independen untuk lisin, arginin, dan metionin persyaratan fingerling / juvenile rainbow trout. Demikian pula, variasi antar spesies berkisar dari 22% untuk valin sampai setinggi 122% untuk triptofan. Sementara salah satu berharap persyaratan EAA kuantitatif ikan berkurang dengan bertambahnya usia dan menurunnya sintesis protein (pertumbuhan), orang dapat dengan baik atau tidak pertanyaan apakah variasi yang diamati dalam persyaratan adalah nyata atau hanya sebuah artefak metode yang digunakan. Berbeda dengan persyaratan variasi diamati untuk spesies ikan yang sama konvensional makan diet uji asam amino, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kebutuhan EAA ikan mas dan ikan trout berdasarkan bangkai metode deposisi Ogino (1980a). Namun, persyaratan diet diamati berada dalam kisaran yang dilaporkan untuk ikan makan diet uji asam amino (Tabel 2).
Dibandingkan dengan metode konvensional dinilai makan tingkat individu asam amino, bangkai metode deposisi Ogino (1980a) menawarkan berbagai keuntungan:
• Jatah makan ikan di mana komponen protein diberikan dalam bentuk 'seluruh' protein nilai biologi tinggi. Persyaratan asam amino oleh karena itu dapat dipastikan dalam ikan menampilkan pertumbuhan yang optimal.
• Diet persyaratan untuk semua sepuluh EAAs dapat ditentukan secara bersamaan dalam satu percobaan. Menggunakan tes konvensional diet asam amino hingga 10 percobaan yang terpisah harus dilakukan, setiap percobaan yang melibatkan penggunaan sampai enam pola diet diet menggunakan konsentrasi yang berbeda-beda dari satu EAA yang diuji.
• EAA kuantitatif persyaratan dapat juga ditetapkan untuk pertama makan goreng dan merenung-stok ikan tanpa kehilangan presisi.
Tabel 2. Kuantitatif asam amino esensial (EAA) persyaratan spesies ikan yang dipilih. Nilai dinyatakan dalam urutan sebagai persentase dari protein dan sebagai persentase dari makanan kering (penyebut menjadi persentase protein dalam makanan)
Spesies
Simulasi asam amino (AA) profil sumber protein Feeding rezim 1
Berat badan awal (g) Arginin

Cyprinus carpio
Kasein: gelatin (38:12)
Ad. Lib. 4f / d 0.5-4.0
3,3 (1.3/38.5)

Ictalurus punctatus
Seluruh telur ayam
3% bw / d, 3f / d 2-10
4,3 (1.03/24)

Oncorhynchus tshawytscha Seluruh telur ayam
Ad. Lib. 3f / d 2-4
6,0 (2.4/40)

Oncorhynchus keta
Tubuh ikan protein
Ad. Lib. 2f / d 1,1
--

O. keta
Tubuh ikan protein
Ad. Lib. 2f / d 1,1
--

Oncorhynchus kisutch
Seluruh telur ayam
Ad. Lib. 3f / d 2-4
6,0 (2.4/40)

Anguilla japonica
?
?
?
3,9 (1.7/42)

Salmo gairdneri
Seluruh telur ayam
?
12-14
> 4,0 (1.4/35)

S. gairdneri
Seluruh telur ayam
Tetap (?)
1-2
5.4-5.9 (2.5-2.8/47)

S. gairdneri
Makanan ikan
4,5% bw / d, 3f / d 1.5-9
--

S. gairdneri
Zein: tepung ikan (1:1)
Ad. Lib. 4f / d 20-30
3,43 (1.2/35)

S. gairdneri
Kasein: gelatin (3:2)
2% bw / d, 3f / d 27
--

S. gairdneri
Putih cod otot
2-5% bw / d, 4f / d 5-14
3.5-4.0 (1.6-1.8/45)

Dicentrachus labrax
Makanan ikan komposit
1,5% bw / d, 2f / d 35
--

Mujair
Makanan ikan komposit
4% bw / d, 3f / d 1,7
<4,0 (1.59/40)

C. carpio
Dihitung berdasarkan pengendapan jaringan EAA, dengan makan ikan satu sumber protein yang bernilai biologis tinggi memiliki dicerna protein 80%, dan tingkat menyusui 3% bw / d untuk kedua spesies (ikan mas 62-74g, 20 -- 25 ° C; trout 68-127g, 15-18 ° C) 3,8 (1.52/40)

S. gairdneri
3,5 (1.4/40)


Spesies
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin 2
Metionin 3

C. carpio
2,1 (0.8/38.5) 2,5 (0.9/38.5) 3,3 (1.3/38.5) 5,7 (2.2/38.5) 2,1 (0.8/38.5) yang
3,1 (1.2/38.5)
I. punctatus
1,54 (0.37/24) 2,58 (0.62/24) 3,5 (0.84/24) 5,1 (1.5/30)
1,34 (0.32/24) b
2,34 (0.56/24)
O. tshawytscha 1,8 (0.7/40)
2,2 (0.9/41)
3,9 (1.6/41)
5,0 (2.0/40)
1,5 (0.6/40) c
--

O. keta
1,6 (0.7/40)
--
--
4,8 (1.9/40)
--
--

O. keta
--
--
--
--
--
--

O. kisutch
1,7 (0.7/40)
--
--
--
--
--

A. japonica
1,9 (0.8/42)
3,6 (1.5/42)
4,8 (2.0/42)
4,8 (2.0/42)
2,1 (0.9/42) d
2,9 (1.2/42)

S. gairdneri
--
--
--
3,7 (1.3/35)
--
--

S. gairdneri
--
--
--
6,1 (2.9/47)
--
--

S. gairdneri
--
--
--
--
1.57-2.14 (0.55-0.75/35) e
--

S. gairdneri
--
--
--
--
--
--

S. gairdneri
--
--
--
--
1,0 (0.5/50) f
1-2 (0.5-1/50)
S. gairdneri
--
--
--
4,3 (1.95/45) --
--

D. labrax
--
--
--
--
2,0 (1.0/50) h
--

O. mossambicus --
--
--
4,1 (1.62/40) <1,33 (0.53/40) g
--

C. carpio
1,4 (0.56/40)
2,3 (0.92/40)
4,1 (1.64/40) 5,3 (2.12/40) 1,6 (0.64/40)
--

S. gairdneri
1,6 (0.64/40)
2,4 (0.96/40)
4,4 (1.76/40) 5,3 (2.12/40) 1,8 (0.72/40)
--


Spesies
Fenilalanin 4
Fenilalanin 5
Treonin
Triptofan
Valin
Referensi

C. carpio
3,4 (1.3/38.5) h
6,5 (2.5/38.5) 3,9 (1.5/38.5) 0,8 (0.3/38.5) 3,6 (1.4/38.5) Hidung (1979)

I. punctatus
2,0 (0.5/24) i
5,0 (1.2/24)
2,2 (0.53/24) 0,5 (0.12/24)
2,96 (0.71/24) NRC (1983)

O. tshawytscha 4,1 (1.7/41) j
--
2,2 (0.9/40)
0,5 (0.2/40)
3,2 (1.3/40)
NRC (1983)

O. keta
--
--
3,0 (1.2/40)
--
--
Akiyama et al, (1985)
O. keta
--
--
--
0,73 (0.29/40) --
Akiyama et al, (1985)
O. kisutch
--
--
--
0,5 (0.2/40)
--
Klein & Halver (1970)
A. japonica
2,9 (1.2/42) k
5,2 (2.2/42)
3,6 (1.5/42)
1,0 (0.4/42)
3,6 (1.5/42)
Hidung (1979)

S. gairdneri
--
--
--
--
--
Kim et al., (1983)

S. gairdneri
--
--
--
--
--
Ketola (1983)

S. gairdneri
--
--
--
--
--
Rumsey et. al. (1983)
S. gairdneri
--
--
--
--
--
Kaushik (1979)

S. gairdneri
--
--
--
--
--
Walton et al, (1982)

S. gairdneri
--
--
--
0,45 (0.25/55) --
Walton et al, (1984)

D. labrax
--
--
--
--
--
Thebault et al., (1985)
O. mossambicus --
--
--
--
--
Jackson & Capper (1982)
C. carpio
2,9 (1.16/40)
--
3,3 (1.32/40) 0,6 (0.24/40)
2,9 (1.16/40)
Ogino (1980a)

S. gairdneri
3,1 (1.24/40)
--
3,4 (1.36/40) 0,5 (0.2/40)
3,1 (1.24/40)
Ogino (1980a)


1 Feeding rezim: menunjukkan tingkat makan dan jumlah makan per hari.
2 Dalam kehadiran diet sistin
2%;
b 0,24%;
c 1%;
d 1%;
e 0,3%;
f 2%;
g 0,74%;
h 1%
3 Dalam ketiadaan makanan sistin.
4 Dalam kehadiran diet tirosin
h 1%;
i 1%;
j 0,4%;
k 2%
5 Dalam diet tidak adanya tirosin.
(b) metode analisis Carcass: Menariknya, recalculation dari data yang diperoleh oleh Ogino (1980a) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara proporsi relatif EAAs individu yang diperlukan dalam diet dan proporsi relatif sama 10 EAAs ada dalam bangkai ikan (Tacon dan Cowey, 1985). Hubungan serupa juga telah terlihat dalam tumbuh babi dan ayam (Boorman, 1980), dan untuk tingkat yang lebih rendah dalam empat spesies ikan EAA persyaratan yang telah ditentukan menggunakan diet uji asam amino (Gambar 3). Demikian pula, Wilson dan Poe (1985) diperoleh koefisien regresi 0,96 bila kebutuhan EAA pola untuk ikan lele adalah kemunduran terhadap seluruh tubuh EAA pola ditemukan di sebuah saluran 30g lele. Karena komposisi asam amino dari jaringan tubuh ikan tidak jauh berbeda (jika sama sekali) antara individu spesies ikan (Njaa dan Utne, 1982; Wilson dan Cowey, 1985), maka, oleh karena itu, bahwa pola persyaratan untuk spesies yang berbeda akan juga akan serupa. Meskipun tidak terbukti, itu tidak masuk akal untuk menduga bahwa hubungan yang serupa juga ada untuk udang dan udang air tawar. Untuk tujuan perbandingan Tabel 3 menyajikan persyaratan EAA pola diet untuk ikan, seperti yang ditetapkan oleh Ogino (1980a), bersama-sama dengan pola EAA bangkai seluruh jaringan tubuh ikan, Penaeus japonicus

Gambar 3 Hubungan antara pola persyaratan yang ditemukan oleh EAA makan percobaan menggunakan uji asam amino makanan dengan ikan mas (•), japanese eel (■), ikan lele (□) dan angin chinook salmon (o) dan pola asam amino yang sama dalam ikan bangkai. Tingkat masing-masing asam amino direpresentasikan sebagai persentase dari jumlah semua 10 EAA's di setiap pola. Garis kebetulan mewakili kebutuhan dan pola jaringan. Larva dan remaja, Penaeus paulensis remaja, kerang berleher pendek jaringan (Venerupis philippinarum; dianggap sebagai ideal yang sangat baik dan makanan alami bagi udang laut), dan otot ekor Macrobrachium rosenbergii. Berdasarkan profil asam amino yang disajikan akan tampak bahwa udang mempunyai kebutuhan diet yang lebih tinggi untuk arginin, triptofan dan tirosin, dan makanan yang lebih rendah persyaratan untuk valin, treonin dan lisin daripada ikan.
Tabel 3. Makanan ikan berarti pola kebutuhan EAA (%) dan pola EAA di seluruh jaringan tubuh ikan, berleher pendek kerang, udang laut, dan udang air tawar.
EAA
Ikan persyaratan (Ogino, 1980a) Seluruh tubuh ikan jaringan (Wilson & Cowey, 1985) Short-necked clam jaringan (Deshimaru et al, 1985) P. Japonicus larva (Teshima, Kanazawa & Yamashita, 1986) P. Japonicus remaja (Deshimaru & Shigeno, 1972) P. Paulensis remaja (unpublished data) M. Rosenbergii ekor otot (Farmanfarmian & Lauterio, 1980)
Treonin
10,6
9,2
9,6
5,9
8,2
6,7
7,5

Valin
9,5
9,5
8,5
8,8
8,3
13,6
7,3

Metionin
5,4
5,5
5,4
5,7
5,4
7,0
6,5

Isoleusin
7,5
8,0
6,8
9,1
8,6
6,9
7,4

Leusin
13,5
14,6
14,0
12,1
15,0
12,6
14,8

Fenilalanin
9,5
8,3
7,7
8,6
9,0
9,2
7,3

Lisin
16,8
16,9
14,7
13,1
15,8
15,4
17,1

Histidin
4,8
5,2
4,4
4,5
4,5
4,4
4,5

Arginin
11,6
12,3
15,5
14,1
15,2
14,3
20,6

Triptofan
1,7
1,7
2,7
6,3
NA
NA
NA

Sistin *
2,7
2,0
2,7
2,4
2,1
3,0
NA

Tirosin *
6,5
6,6
7,8
9,2
7,8
6,7
6,6


NA - data tidak tersedia (tidak dianalisis).
* - Non-acids.All amino esensial nilai-nilai yang dinyatakan sebagai persentase dari total EAA ditambah sistin dan tirosin.

Dengan tidak adanya perusahaan informasi kuantitatif mengenai persyaratan EAA diet udang dan mayoritas spesies ikan bertani, kebutuhan diet awalnya dapat dihitung berdasarkan pola EAA bangkai hadir dalam 35% dari kebutuhan protein diet yang dikenal dari kata spesies ; pada EAAs dasar umum (termasuk NEAAs sistin dan tirosin) merupakan sekitar 35% dari total protein yang dibutuhkan oleh ikan (Tabel 2). Jadi, jika seorang udang atau ikan yang dikenal memiliki kebutuhan protein 45%, kemudian persyaratan EAA diet akan dihitung pada EAA bangkai pola 35% dari tingkat protein. Sebagai contoh, jika pola EAA bangkai lisin adalah 16,9% dari total EAA ditambah sistin dan tirosin hadir, maka tingkat kebutuhan diet lisin akan atau 2,66% dari makanan kering (mis. 45% protein ikan jatah).
Sebagai garis panduan Tabel 4 menyajikan hasil perhitungan kebutuhan EAA diet ikan dan udang di tingkat protein yang berbeda-beda berdasarkan mean pola EAA bangkai ikan utuh jaringan dan berleher pendek masing-masing jaringan kerang (kerang berleher pendek jaringan digunakan di sini dalam berarti tidak adanya pola untuk EAA bangkai udang).
Tabel 4. Calculated dietary EAA requirements of fish and shrimp at varying dietary protein levels (values are expressed as a percent of the dry diet)
EAA Dietary protein level (%) Carcass EAA pattern (%)
25
30
35
40
45
50
55

IKAN
1

Arginin
1,07
1,29
1,51
1,72
1,94
2,15
2,37
12,3

Histidin
0,45
0,55
0,64
0.73 0,82
0,91
1,00
5,2

Isoleusin
0,70
0,84
0,98
1,12
1,26
1,40
1,54
8,0

Leusin
1.28 1,53
1,79
2,04
2,30
2,55
2,81
14,6

Lisin
1,49
1,77
2,07
2,37
2,66
2,96
3,25
16,9

Metionin
0,48
0,58
0,67
0,77
0,87
0,96
1,06
5,5

Cystine *
0,17
0,21
0,24
0,28
0,31
0,35
0,38
2,0

Fenilalanin
0.73 0,87
1,02
1,16
1,31
1,45
1,60
8,3

Tyrosine *
0,58
0,69
0,81
0,92
1,04
1,15
1,27
6,6

Treonin
0,80
0,97
1,13
1,29
1,45
1,61
1,77
9,2

Triptofan
0,15
0,18
0,21
0,24
0,27
0,30
0,33
1,7

Valin
0,83
1,00
1,16
1,33
1,50
1,66
1,83
9,5

UDANG
2

Arginin
1,36
1,63
1,90
2,17
2,44
2,71
2,98
15,5

Histidin
0,38
0,46
0,54
0,62
0,69
0,77
0,85
4,4

Isoleusin
0,59
0,71
0,83
0,95
1,07
1,19
1,31
6,8

Leusin
1,22
1,47
1,71
1,96
2,20
2,45
2,69
14,0

Lisin
1,29
1,54
1,80
2,06
2,31
2,57
2,83
14,7

Metionin
0,47
0,57
0,66
0,76
0,85
0,95
1,04
5,4

Sistin *
0,24
0,28
0,33
0,38
0,42
0,47
0,52
2,7

Fenilalanin
0,67
0,81
0,94
1,08
1,21
1,35
1,48
7,7

Tirosin *
0,68
0,82
0,96
1,09
1,23
1,37
1,50
7,8

Treonin
0,84
1,01
1,18
1,34
1,51
1,68
1,85
9,6

Triptofan
0,24
0,28
0,33
0,38
0,42
0,47
0,52
2,7

Valin
0,74
0,89
1,04
1,19
1,34
1,49
1,64
8,5

1 Carcass EAA pattern of whole fish tissue (Wilson & Cowey, 1985)
2 Carcass EAA pattern of short-necked clam (Deshimaru et al ., 1985)
* Non-essential amino acids
2.6.2 Utilization of free amino acids
Fish or juvenile shrimp fed rations in which a significant proportion of the dietary protein is supplied in the form of 'free' or crystalline amino acids generally display sub-optimal growth and feed conversion efficiency compared with animals fed protein-bound amino acids or 'whole' proteins (Wilson et al ., 1978; Robinson et al ., 1981; Yamada et al ., 1981; Walton et al ., 1982; Deshimaru, 1981; Deshimaru & Kuroki, 1974a, 1975).
Secara umum, diet asam amino bebas lebih cepat berasimilasi dalam ikan daripada terikat protein asam amino. Percobaan dengan rainbow trout (Yamada et al., 1981), Common carp (Plakas et al., 1980) dan nila (Oreochromis niloticus; Yamada et al., 1982) asam amino bebas makan diet tes menunjukkan bahwa asam amino plasma puncak konsentrasi terjadi cepat (12-24h, 2-4h, 2h, masing-masing) dibandingkan dengan yang setara berbasis diet kasein (24-36h, 4h, 4h, masing-masing). Lebih jauh lagi, di ikan gurami. asam amino bebas individu muncul untuk diserap pada tingkat yang berbeda-beda dari saluran gastrointestinal, dan konsekuensinya konsentrasi plasma puncak individu asam amino tidak terjadi secara simultan (Plakas et al., 1980). Juvenile udang dalam situasi tampaknya sebaliknya. Sebagai contoh, Deshimaru (1981) menunjukkan bahwa tingkat asimilasi diet arginin bebas ke otot protein oleh Penaeus japonicus remaja sangat rendah (asimilasi kurang dari 0,6%) dibandingkan dengan protein - terikat arginin (asimilasi di atas 90%). However, although Deshimaru (1981) reported no beneficial effect on growth of free amino acid supplemented diets with P . japonicus juveniles, recent studies have demonstrated that the larvae of the same species is capable of utilizing amino acid supplemented diets for growth (Teshima, Kanazawa & Yamashita, 1986).
For optimal protein synthesis to occur, it is essential that all amino acids (whether they be derived from whole proteins or amino acid supplements) are presented simultaneously to the tissue. If such an equilibrium is not achieved, then amino acid catabolism (breakdown) ensues with consequent loss of growth and and feed efficiency. For those warm water fish species which display a rapid uptake and assimilation of free amino acids, it is therefore essential that either; (1) the release or absorption of free amino acids from the diet is reduced so as to minimise the variations in absorption rate observed between free and protein-bound amino acids (achieved by coating individual amino acids with casein, zein or nylon-protein membranes; Murai et al ., 1982; Teshima, Kanazawa & Yamashita, 1986); or (2) that the frequency of feed presentation is increased from two or three feeds per day to up to 18 feeds per day so as to minimise the variations observed in plasma amino acid concentration (Yamada, Tanaka & Katayama, 1981).
2.6.3 Amino acid composition and protein quality
On the basis of the above discussions it is evident that the protein quality of a feed ingredient is dependent upon the amino acid composition of the protein and the biological availability of the amino acids present. In general, the closer the EAA pattern of the protein approximates to the dietary EAA requirement of the species, the higher its nutritional value and utilization. For example, Table 5 presents the 'chemical score' or potential protein value of some commonly used feed proteins. Chemical scores of 100 indicate that the level of a particular EAA within the feed protein is identical to the dietary EAA requirement level for fish (when expressed as a percentage of the total EAAs plus cystine and tyrosine) as determined by Ogino (1980a). The chemical score of the protein is taken to be the percentage of the EAA in greatest deficit relative to the dietary requirement pattern. This method of assessing protein quality is based on the concept that the nutritive value of a protein depends primarily on the amount of the EAA in greatest deficit in that protein, compared to a reference protein (in this case the reference protein is the dietary EAA requirements of fish as determined by Ogino. 1980a). It can be seen from Table 5 that compared to fish meal or fish muscle, which has a well balanced EAA profile and high chemical score (c. 80), the majority of protein sources presented have amino acid imbalances which render them unsuitable as a sole source of dietary protein for fish within complete diets intended for intensive farming systems. The aim of feed formulation is to mix proteins of various qualities to obtain the desired EAA pattern of the fish or shrimp species in question (complete diet feeding).
However, the above relationship between protein quality and EAA pattern will only hold true if the individual amino acids are equally biologically available to the animal. For example, under certain conditions some of the amino acids may be unavailable because the proteins in the diet are incompletely digested. Thus, for carnivorous fish and shrimp species, the cellulose cell wall within plant protein sources may render the proteins present within the cell inaccesible to the digestive enzymes. In other cases, digestion may be hindered by the presence of enzyme inhibitors within the food protein; trypsin inhibitor within raw soybeans. Although it is possible to inactivate these inhibitors by moderate heat processing, under conditions of excessive heat treatment proteins become more resistant to digestion due to peptide bond formation occurring between the side chains of lysine and dicarboxylic acid. The free epsilon amino groups of lysine are particularly susceptible to heat damage, forming addition compounds with non-protein compounds (ie. reducing sugars such as glucose) present in the food stuff (Cockerell, Francis & Halliday, 1972). This reaction is known as the Maillard reaction, and renders the lysine biologically unavailable. Substances other than reducing sugars which are known to react with the free epsilon amino group of lysine include gossypol; phenol based compound present in cottonseed meal. An estimate of the biological availability of amino acids within feed proteins, and hence an indicator of protein quality, can be made by chemically measuring the free or available lysine content of the feed protein (Cowey, 1979).
Table 5. Chemical score and limiting essential amino acids of some commonly used feed proteins 1

Feedstuffs
Source 2
Thr
Val
Bertemu Cys ILS
Leu Phe Tyr
Lys
Miliknya Arg Trp
1st limiting
asam amino
Chick pea
1
64 *
89
63 *
104 119 110 113
86
72
100
166 129 Bertemu

Kacang hijau
1
59 *
110 54 *
48 *
127 121 124
94
79
114
123 123 Cys

Cow pea 1
65 *
103 61 *
59 *
116 116 116
100 75
127
134 129 Cys

Yellow lupin 2
66 *
81
20 *
126 117 125 85
94
64 *
117
192 135 Bertemu

Lima bean 2
84
110 57 *
74
135 118 125
106 72
112
98
106 Bertemu

Broad bean 3
77
103 30 *
41 *
115 118 98
118 77
98
160 118 Bertemu

Kacang buncis
1
80
103 43 *
67 *
120 121 118
83
92
127
104 129 Bertemu

Safflower
2
68 *
125 63 *
141 111 99
101
100 43 *
121
181 118 Lys

Crambe
2
98
121 67 *
218 117 104 83
86
66 *
104
111 200 Lys

Palm kernel
2
62 *
113 94
133 95
89
72
78
41 *
98
225 311 Lys

Kapas
2
65 *
102 52 *
118 92
94
122
89
52 *
117
205 141 Met/Lys
Sunflower
2
65 *
124 83
137 115 104 109
91
42 *
119
159 165 Lys

Rami
2
71
122 93
156 111 90
105
92
43 *
100
174 182 Lys

Wijen
2
58 *
98
109
148 91
105 86
114 33 *
114
211 153 Lys

Kelapa
4
65 *
114 61 *
96
115 112 95
92
37 *
81
217 123 Lys

Kacang
4
55 *
99
39 *
133 117 100 107
117 53 *
100
196 141 Bertemu

Rapeseed
4
93
118 83
70
113 116 94
77
74
131
112 159 Cys

Kedelai
4
74
101 46 *
130 128 115 105
97
76
106
123 176 Bertemu

Potato protein concentrate 5
89
125 63 *
96
128 120 112
149 74
73
73
118 Bertemu

Leaf protein concentrate 6
84
127 57 *
56 *
112 120 122
129 71
90
96
141 Cys

Spirulina maxima
2
87
136 52 *
30 *
159 118 105
123 55 *
75
111 165 Cys

Saccharomyces cerevisiae 4
93
116 63 *
85
139 112 91
108 86
106
89
141 Bertemu

Torulopsis utilis
4
94
118 54 *
81
144 98
137
117 84
104
86
118 Bertemu

M . methylotrophus 7
97
134 89
59 *
115 107 115
138 71
83
84
118 Cys

Whole hen's egg 8
77
125 100
130 132 109 97
98
78
92
96
135 Thr

Fish muscle 9
83
98
98
85
108 110 80
117 101
121
97
135 Phe

Fish meal (herring) 4
76
127 109
78
117 107 80
95
89
96
111 123 Thr

Fish meal (white) 4
81
106 104
93
121 109 81
94
90
94
116 129 Thr/Phe
Fish protein concentrate 2
83
110 118
63 *
127 109 85
103 92
90
95
153 Cys

Fish silage 10
98
122 ---72--- 101 129 120
94
98
121
108 59 *
Trp

Whole shrimp meal 2
83
97
109
85
112 106 95
105 86
73
134 106 Miliknya

Makanan daging dan tulang 4
77
128 59 *
89
109 113 88
60 *
86
100
150 88
Bertemu

Makan darah
4
69 *
158 33 *
52 *
24 *
162 124
69 *
89
214
62 *
123 ILS

Liver meal 2
76
135 72
89
105 121 109
106 71
98
105 153 Lys

Poultry by-product meal 4
76
125 81
141 132 123 80
60 *
71
87
134 112 Tyr

Hydrolysed feather meal 4
91
164 24 *
289 131 124 78
86
33 *
50 *
147 76
Bertemu

Worm meal 11
107
99
106
52 *
112 124 84
108 79
125
98
82
Cys

House fly larvae 12
75
103 72
52 *
96
90
128
218 77
127
82
147 Cys

1 Scores based on comparison with the mean essential amino acid requirements of rainbow trout andcarp (Ogino, 1980). Mean EAA requirement (expressed as % of total EAA) being: threonine 10.6;valine 9.5; methionine 5.4; cystine 2.7; isoleucine 7.5; leucine 13.5; phenylalanine 9.5;tyrosine 6.5; lysine 16.8; histidine 4.8; arginine 11.6; and tryptophan 1.7
2 Source: 1-Kay (1979); 2-Gohl (1980); 3-Bolton and Blair (1977); 4-National Research Council(1983); 5-Tunnel AVEBE Starches Ltd., UK; 6-Cowey et al . (1971); 7-Unpublished data; 8-Coweyand Sargent (1972); 9-Connell and Howgate (1959); 10-Jackson, Kerr and Cowey (1984); 11-Tacon,Stafford and Edwards (1983); 12-Spinelli (1980)
* Limiting essential amino acids (present below 30% mean fish requirement)
2.7 Evaluation of protein quality
Apart from chemically measuring amino acids and their availability within feed proteins, there are many biological methods of evaluating protein quality:
Specific growth rate (SGR) The rate of growth of an animal is a fairly sensitive index of protein quality; under controlled conditions weight gain being proportional to the supply of essential amino acids. Daily SGR can be calculated by using the formula:

Food conversion ratio (FCR) Defined as the grams of feed consumed per gram of body weight gain.
* As fed basis ie. dry weight
** Wet or fresh weight gain
Food efficiency (FE) Defined as the grams of weight gained per gram of feed consumed. Units of expression as above.

Protein efficiency ratio (PER) Defined as the grams of weight gained per gram of protein consumed.
* With this method no allowance is made for maintenance: ie. method assumes that all protein is used for growth.
Apparent net protein utilization (Apparent NPU) Defined as the percentage of ingested protein which is deposited as tissue protein.

where Pb is the total body protein at the end of the feeding trial, Pa is the total body protein at the beginning of the feeding trial, and Pi is the amount of protein consumed over the feeding trial. In this calculation no allowance is made for endogenous protein losses. In contrast to the previous methods of evaluating protein quality, this method requires that a representative sample of animals be sacrificed at the beginning and end of the feeding trial for carcass protein analysis.
The main drawback of these methods of predicting diet or protein quality is that they have to be performed under controlled experimental conditions in the absence of natural food organisms. Consequently, these methods can only be used within intensive or clear water culture systems.
2.8 Nonprotein nitrogenous constituents
Amino acids are important not only as building blocks of protein but as the primary constituents or nitrogen precursors for many nonprotein nitrogencontaining compounds. Table 6 lists some of the more biologically important nonprotein nitrogenous compounds that originate from amino acids.






Tabel 6. Nonprotein nitrogenous constituents derived from amino acids in animals 1

Nitrogenous compound Amino acid precursor Physiological function of compound
Purines & pyrimidines 2
Glycine & aspartic acid Constituents of nucleotides and nucleic acids
Creatine
Glycine & arginine Energy storage as creatine phosphate in muscle
Bile acids (glycoholic & taurocholic acids) Glycine & cysteine Bile acids, aid in fat digestion and absorption
Thyroxine, epinephrine & norepinephrine Tirosin
Hormon

Ethanolamine & choline Serin
Constituents of phospholipids
Histamin
Histidin
A vasodepressor
Serotonin
Triptofan
Transmission of nerve impulses
Porphyrins
Glycine
Constituents of haemoglobin and cytochromes
Niacin
Triptofan
Vitamin

Melanin
Tirosin
Pigment of skin and eyes
1 Lloyd, McDonald & Crampton (1978)
2 Pyrimidine and purine have been suggested to be essential dietary nutrients fornewly hatched fish larvae (Dabrowski & Kaushik, 1982) and Artemia salina (Hernandorena, 1983) respectively.
2.9 Protein and amino acid pathology
2.9.1 Dietary Essential Amino Acid Deficiency
Although all fish examined to date display reduced growth when fed EAA deficient diets, the following additional gross anatomical deficiency signs have been observed under experimental conditions with juvenile fish fed synthetic rations deficient in one or more EAAs:
Limiting EAA Ikan
Deficiency signs 1

Lisin
Salmo gairdneri
Dorsal/caudal fin erosions (1,2); increased mortality (2)
Cyprinus carpio
Increased mortality (3)
Metionin
S. gairdneri Cataract(4,5)
Salmo salar Cataract (6)
Triptofan
S. gairdneri Scoliosis 2 (7–10); lordosis 2 (7,10); renal calcinosis (8); cataract (7,9); caudal fin erosion; decreased carcass lipid content (9); elevated Ca, Mg, Na and K carcass concentration (7)
Oncorhynchus nerka Scoliosis (11)
Miscellaneous
O. keta Scoliosis/ lordosis (12)
C. carpio Increased mortality and incidence of lordosis observed with dietary defi- ciencies of leucine, isoleucine, lysine, arginine and histidine (3)
1 1-Walton, Cowey and Adron (1984); 2-Ketola (1983); 3-Mazid et al . (1978);4-Walton, Cowey and Adron (1982); 5-Poston et al . (1977); 6-Barash, Poston andRumsey (1982); 7-Walton et al . (1984); 8-Kloppel and Post (1975); 9-Poston andRumsey (1983); 10-Shanks, Gahimer and Halver (1962); 11-Halver and Shanks (1960);Akiyama et al . (1985a).
2 Curvature of the vertebral column
Under intensive farming conditions dietary EAA deficiencies may arise from one of four possible routes:
• Poor feed formulation arising from the use of disproportionate amounts of feed proteins with natural specific EAA deficiencies (Table 5).
Dietary imbalances may also arise from the presence of disproportionate levels of specific amino acids; including leucine/isoleucine antagonisms, and to a lesser extent arginine/lysine and cystine/methionine antagonisms. For example, blood meal is a rich source of valine, leucine and histidine, but is a very poor source of methionine and isoleucine. However, in view of the antagonistic effect of excess leucine on isoleucine, animals fed high dietary levels of blood meal suffer from an isoleucine deficiency caused by an excess of dietary leucine (Taylor, Cole and Lewis, 1977). Although similar antagonisms have also been reported for cystine/ methionine (use of hydrolysed feather meal; Ichhponani and Lodhi, 1976) and arginine/ lysine (Harper, Benevenga and Wohlhueter, 1970) in terrestrial farm animals, they have not been found to occur in fish fed synthetic amino acid diet combinations (Robinson, Wilson and Poe, 1981).
• Dietary EAA deficiencies may arise from excessive heat treatment of feed proteins during feed manufacture.
• Dietary EAA deficiencies may arise from the chemical treatment of feed proteins with acids (silage production) or alkalies, due to the loss of free tryptophan and lysine/cystine respectively (Kies, 1981).
• Dietary EAA deficiencies may arise from the leaching of free and protein bound amino acids into the water. For example, Grabner, Wieser and Lackner (1981) reported the loss, through leaching, of almost all the free and about one-third of the free plus protein bound amino acids from frozen or freezedried zooplankton ( Artemia salina and Moina spp.) after a 10 minute water immersion period at 9°C. Considerable losses of water-soluble amino acids have also been observed in carp during mastication (Yamada and Yone, 1986). However, the problem of nutrient leaching of water soluble materials is probably greatest for crustaceans due to their very slow demersal feeding habit and necessity to masticate their food externally prior to ingestion (Farmanfarmaian, Lauterio and Ibe, 1982). For example, Bages and Sloane (1981) reported a 28% loss of dietary protein during the preparation and rehydration of a dry alginate-bound shrimp diet prior to feeding, and a total protein loss of 39–47% after a six hour immersion period in seawater. In general nutrient losses are greater in freshwater than in seawater (Balazs, Ross and Brooks, 1973). However, problems of nutrient leaching can be minimised by using an appropriate feeding regime (ie. regular rather than infrequent feeding; Sedgwick, 1979) and a suitable diet binding or micro-encapsulation technique (Goldblatt, Conklin and Duane Brown, 1980; Jones et al ., 1976).
2.9.1 Toxic non-essential amino acids
Nutritional pathologies may also arise from the ingestion of feed proteins containing toxic amino acids. Commonly used feed proteins which are known to contain toxic amino acids include alkali-treated soybean (toxic amino acid - lysinoalanine), the legume Leucaena leucocephala or 'ipil ipil' (toxic amino acid - mimosine), and the faba bean Vicia faba (toxic amino acid - dihydroxyphenylalanine).

 


Loading...


Please Wait...