Pages

Gunakan Mozzila Firefox untuk mengakses website ini dan jangan lupa klik iklannya

Monday, February 27, 2012

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR KLIMATOLOGI ACARA 2 PENGAMATAN CUACA MIKRO


ACARA 2
PENGAMATAN CUACA MIKRO

I.          TUJUAN
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir cuaca mikro.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro.
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.

II.        TINJAUAN PUSTAKA
Mikro klimatologi ialah ilmu yang mempelajari tentang iklim mikro atau iklim yang terdapat di dalam daerah yang cukup kecil. salah satu peredaran antara mikrometeorologi dan mikroklimatologi ialah mikrometeorologi memerlukan dasar matematika dan dasar fisika yang kompleks sehingga dapat mempelajari proses fisis atmosfer, lagipula mikrometeorologi tidak terbatas pada atmosfer dekat permukaan bumi, tetapi mungkin dapat mempelajari mikrofisika dari awan.
Sedangkan mikroklimatologi tidak ditunjukkan kepada ahli meteorologi saja, tetapi juga untuk melayani ahli lain yang berminat untuk mempelajari hubungan antara kehidupan dengan iklim mikro tanpa mempunyai dasar matematika dan fisika yang kokoh. Perbedan antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau, kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa, hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
            Berdasarkan faktor pengendali sifat, luasan atau wilayah identifikasi dan dampaknya terhadap kegiatan manusia, studi klimatologi dapat dibedakan atas tiga sifat umumnya yaitu (Bey dan Las, 1991):
  1. Iklim global/cuaca sinoptik (global climate/ sinoptic weather) yaitu keadaan fisika dan dinamika atmosfer bagian atas hingga lapisan troposfer antara belahan bumi (kawasan yang sangat luas). Iklim/cuaca ini dikendalikan oleh pusat-pusat tekanan rendah dinamakan massa udara dalam besar dan peredaran arus dari satu samudera ke samudera yang lain.
  2. Iklim meso/ makro (scren climate) yaitu keadaan atmosfer lapisan agak dekat permukaan pada suatu lokasi (tapak) dengan luasan tertentu yang bisa dipantau melalui stasiun klimatologi/ meteorologi di lapangan atau  dekat permukaan tanah (10m). keadaan fisika atmosfer pada strata ini telah banyak dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan bumi, gejala golak-galik (turbulensi) udara adalah dominan.
  3. Iklim mikro (micro climate) menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m). Dalam skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar / di bawah tajuk tanaman dalam kandang terakhir
Iklim menunjukkan keadaan semula jadi yang berakitan dengan atmosfer di setiap kawasan yang berkait rapat dengan cuaca seperti suhu, kelembaban, taburan hujan, arah dan kelajuan angin. Iklim mikro pula menunjukkan kepada kedaan iklim bagi suatu kawasan kecil atau iklim tempatan, misalnya iklim Malaysia adalah salah satu dari keadaan iklim mikro yang menjadi pecahan kepada iklim dunia (Ahmad, 2003).
Iklim mikro memang sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan  budidaya tanaman. Salah satu caranya adalah dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat dilaksanakan sampai batas tertentu. Walaupun begitu ada beberapa subtitusi unsur iklim partial yang belum dapat dilalaikan. Hal tersebut mungkin dilaksanakan dengan biaya yang cukup tinggi, tidak adanya unsur pengganti atau karena adanya unsur yang berlebihan. Misalnya radiasi matahari yang terlalu terik, suhu yang terlalu rendah, atau hujan yang terlalu banyak dan merata. Dalam keadaan yang semacam itu yang realistik dan relatif akan lebih mudah adalah modifikasi cuaca atau iklim yang semula tidak sesuai menjadi sesuai dengan tanaman tertentu. Misalnya dengan membuat naungan yang baik, naungan fisik maupun naungan biologis untuk radiasi matahari yang terlalu tinggi, membangun green house untuk suhu yang terlalu rendah atau hujan yang terlalu banyak, meratakan angin dan lain-lain (Wisnubroto, 2000).
Modifikasi iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman hortikultura merupakan suatu usaha yang telah banyak dilakukan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman (Noorhadi dan Sudadi, 2003).
Penyebaran berbagai jenis tumbuhan akan dibatasi oleh kondisi iklim dan tanah serta daya adaptasi dari masing-masing spesies tumbuhan tersebut. Sesungguhnya hubungan antara vegetasi dan iklim merupakan hubungan saling pengaruh. Selain iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, keberadaan vegetasi juga dapat mempengaruhi iklim di sekitarnya. Semakin besar total biomassa vegetasi yang terlibat dan semakin nyata pengaruhnya terhadap iklim wilayah tersebut. Peran vegetasi mirip bentang dan air. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mengandung banyak air dan tumbuhan menyumbang banyak uap air ke atmosfer melalui proses transpirasi (Lakitan, 1994).
Anasir iklim mikro yang mempengaruhi pertumbuhan, antara lain:
1. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Anemometer. Kecepatan angin dapat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a.   Besar kecilnya gradien barometrik.
Gradien Barometrik, yaitu angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara melalui dua garis isobar pada garis lurus, dihitung untuk tiap-tiap 111 km (jarak 111 km di equator 1 ( atau 1/360 x 40.000 km = 111 km). Menurut hukum Stevenson bahwa kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometriknya. Semakin besar gradien barometriknya, semakin besar pula kecepatannya.
b.      Relief Permukaan Bumi.
Angin bertiup kencang pada daerah yang reliefnya rata dan tidak ada rintangan. Sebaliknya bila bertiup pada daerah yang reliefnya besar dan rintangannya banyak, maka angin akan berkurang kecepatannya.
c.       Ada Tidaknya Tanaman.
Banyaknya pohon-pohonan akan menghambat kecepatan angin dan sebaliknya, bila pohon-pohonannya jarang maka sedikit sekali memberi hambatan pada kecepatan angin
d.      Tinggi Tempat dari Permukaan Tanah.
Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi akan mendapatkan hambatan karena bergesekan dengan muka bumi, sedangkan angin yang bertiup jauh di atas permukaan bumi bebas dari hambatan.

2. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Termometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
  1. Sudut datang sinar matahari, yaitu sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dengan arah datangnya sinar matahari. Makin kecil sudut datang sinar matahari, semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi dibandingkan sudut yang datangnya tegak lurus.
  2. Lama waktu penyinaran matahari, makin lama matahari bersinar, semakin banyak panas yang diterima bumi.
  3. Keadaan muka bumi (daratan dan lautan), daratan cepat menerima panas dan cepat pula melepaskannya, sedangkan sifat lautan kebalikan dari sifat daratan.
  4. Banyak sedikitnya awan, ketebalan awan mempengaruhi panas yang diterima bumi. Makin banyak atau makin tebal awan, semakin sedikit panas yang diterima.

3.  Kelembaban Udara.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau hygrometer.
Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi:
1.  Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu kelembaban yang menunjukkan berapa gram berat uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (1 m³) udara.
2.  Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu bilangan yang menunjukkan berapa persen perbandingan antara jumlah uap air yang terkandung dalam udara dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut.

4.  Radiasi Matahari
Matahari adalah sumber energi pada peristiwa yang terjadi dalam atmosfer yang dianggap penting bagi sumber kehidupan. Energi matahari merupakan penyebab utama dari perubahan dan pergerakan dalam atmosfer sehingga dapat dianggap sebagai pengendali iklim dan cuaca yang besar. Dari matahari dipancarkan sinar yang pada umumnya mempunyai gelombang pendek, sedangkan dari bumi dipancarkan sinar dengan gelombang panjang. Bagian radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi disebut insolasi.






















III.       METODOLOGI
           
Pada percobaan pengamatan iklim mikro yang dilaksanakan pada hari  Selasa 6 Maret 2006 dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa kanopi. Daerah yang berkanopi di dalammya meliputi vegetasi : pohon jati, sengon, bambu, pinus, lamtoro, dan rumput. Sedangkan pada daerah yang tanpa kanopi di dalamnya hanya terdapat vegetasi rumput saja. Pengamatan ini dilakukan di lembah UGM dimulai pukul 14.00.
            Alat-alat yang digunakan adalah termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, foot candles untuk mengukur intensitas cahaya, biram enemometer untuk mengukur kecepatan angin, stick termometer untuk mengukur suhu tanah, serta statif untuk menggantung termometer dan termohigrograf yang dipasang pada ketinggian 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukan tanah.
            Dua tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca makro kali ini. Kemudian statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan termometer serta termohigrograf pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 6 kali pengamatan.
            Stick termometer ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm dari permukan tanah. Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10 menit sekali 10 menit pertama dilakukan pada jeluk 0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 20 cm, setelah sepuluh menit dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Kemudian stick termometer dimasukkan lagi pada jeluk 40 cm, setelah sepuluh menit dicatat hasil pengamatannya pada tebel pengamatan. Pengamatan dengan stick anemometer dilakukan bersamaan dengan alat lainnya sebanyak 3 kali pengamatan.
            Pada waktu yang bersamaan biram anemometer disiapakan lima menit sebelum waktu ditentukan. Setelah memasuki waktu yang ditentukan yaitu bersama-sama dengan waktu yang lainnya dimulai, biram anemometer diangkat ke atas agar tidak terhalang dengan penghalang. Setiap lima menit hasil pengamatan dicatat dan lima menit kemudian alat tersebut diistirahatkan. Pengamatan dilakukan hingga menghasilkan enam data.
            Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan foot candles. Alat ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca. Begitu seterusnya. Sensor cahaya berada di atas foot candles jika sudah tidak digunakan maka ditutup kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran intensitas cahaya.





























VI. HASIL PENGAMATAN


PARAMETER YANG DIAMATI
NO
TITIK WAKTU PENGAMATAN
ARAS/ JELUK PENGAMATAN
STRATA
KANOPI
TAK BERKANOPI







SUHU UDARA

1.

10 menit
25 cm
28
32
75 cm
29.2
33
150 cm
29.6
30.5

2.

20 menit
25 cm
27
31
75 cm
29
32.5
150 cm
29.3
29.5

3.

30 menit
25 cm
29.27
30
75 cm
28.3
31.5
150 cm
29
29

4.

40 menit
25 cm
27
30.5
75 cm
28.5
30.5
150 cm
29
29
5.

50 menit
25 cm
27
29.5
75 cm
29.2
30.5
150 cm
29
29.5
6.

60 menit
25 cm
26.5
29
75 cm
29
30
150 cm
28.8
29.5







KELEMBABAN NISBI UDARA

1.

10 menit
25 cm
50
65
75 cm
40
48
150 cm
54
32

2.

20 menit
25 cm
41
60
75 cm
51
50
150 cm
56
38

3.

30 menit
25 cm
58
68
75 cm
41
54
150 cm
53
46

4.

40 menit
25 cm
58
70
75 cm
41.5
57
150 cm
53
50

5.

50 menit
25 cm
58
70.5
75 cm
42
58
150 cm
53
52

6.

60 menit
25 cm
58
72
75 cm
42
58
150 cm
54
53














SUHU TANAH

1.

10 menit
0 cm
26
30
20 cm
26
28
40 cm
26
26

2.


20 menit
0 cm
26
28
20 cm
26
26.5
40 cm
25.9
26

3.


30 menit
0 cm
25.5
28
20 cm
26
28
40 cm
25.5
27

4.

40 menit
0 cm
25.5
27
20 cm
25.5
27
40 cm
25.5
26

5.


50 menit
0 cm
25.5
26.5
20 cm
25.5
27
40 cm
25.5
26

6.

60 menit
0 cm
25
26
20 cm
25.5
27
40 cm
25
26


KECEPATAN ANGIN
1.
5 menit

200
327
2.
10 menit
177
175
3.
15 menit
366
225
4.
20 menit
369
120
5.
25 menit
232
160
6.
30 menit
315
230

INTENSITAS PENYINARAN
1.
10 menit

20
52
2.
20 menit
15
38
3.
30 menit
15
40

















V. PEMBAHASAN


1. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm




2. Grafik suhu udara vs waktu aras 75 cm

Pada aras 75 cm, pengaruh panas dari tanah relatif lebih sedikit daripada aras 25 cm, terlihat sedikit penurunan suhu pada daerah tidak berkanopi. Pada daerah berkanopi yang terjadi adalah turunnya suhu meskipun penurunannya tidak begitu drastis. Penurunan suhu pada derah berkanopi lebih disebabkan oleh banyaknya intensitas radiasi matahari yang menuju daerah tersebut. Sedangkan yang terjadi pada daerah tidak berkanopi adalah sebaliknya yaitu, terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasimatahari maksimum. Pada daerah berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari angin yang bergerak dari daerah berkanopi.







3. grafik suhu udara vs waktu aras 150 cm

Pada grafik aras 150 cm, terlihat saat menit ke-30 dan menit ke-40 pada kedua grafik (berkanopi dan tidak berkanopi) menunjukkan suhu yang sama, hal ini dapat terlihat dari grafik yang saling berhimpitan. Ini menunjukkan bahwa pada aras 150 cm, pengaruh suhu tanah dapat dikatakan hampir tidak ada dan permukaan udara pada aras ini lebih merata jika dibandingkan dengan aras 25 cm dan aras 75 cm. Ini dikarenakan pada aras 150 cm yang lebih tinggi daripada aras 25 cm dan aras 75 cm, kecepatan angin lebih tinggi. Seperti pada aras 75 cm, grafik di daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi karena pengaruh intensitas radiasi matahari relatif lebih kecil, praktis pengaruh suhu akan lebih ke arah radiasi langsung (daerah tidak berkanopi).









4. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah berkanopi

Dari pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa suhu tertinggi diperoleh pada aras 150 cm. Hal ini dikarenakan oleh adanya faktor altitude dan pengaruh radiasi sinar matahari. Karena di daerah yang berkanopi intensitas penyinaran matahari tidak terlalu banyak sehingga suhu udara relatif rendah dan sedikit lebih stabil. Sedangkan adanya ketidakstabilan suhu pada data yang diperoleh disebabkan karena adanya pengaruh angin. Selain itu pada aras 150 cm grafik terlihat lebih stabil, hal ini dipengaruhi oleh pengaruh permukaan udara yang lebih merata jika dibandingkan pada aras 25 cm dan aras 75 cm.











5. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi

Dari percobaan pengamatan suhu udara pada strata tidak berkanopi dengan perbedaan tiga aras diperoleh data bahwa dari ketiga ketinggian tersebut suhu udara ketiganya mengalami penurunan pada menit ke-10 hingga menit ke-20. Dari data yang diperoleh pada grafik setelah pengamatan, terlihat bahwa suhu tertinggi terdapat pada aras 75 cm. Hal ini disebabkan oleh radiasi penyinaran, karena pengamatan ini dilakukan pada daerah yang tidak berkanopi sehingga intensitas penyinaran lebih banyak diterima tetapi pada 10 menit pertama suhu cenderung turun karena disaat pengamatan cuaca sedikit berawan sehingga radiasi matahari tidak mencapai titik maksimum. Pada aras 75 cm lebih banyak terkena matahari sehingga suhu lebih tinggi daripada aras 150 cm (pada aras ini terdapat penurunan suhu karena permukaan udara yang merata). Selain itu pada aras 150 cm lebih tinggi yang memungkinkan terlindungi oleh kanopi pepohonan sebaliknya pada aras 25 cm juga terlalu rendah sehingga tidak mendapatkan intensitas radiasi matahari secara maksimum.





6. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 25 cm

Dari grafik dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi pada 10 menit pertama kelembaban nisbinya turun lalu naik kemudian konstan sampai pada akhir pengamatan. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi pada 10 menit pertama mengalami penurunan sedangkan pada menit-menit berikutnya cenderung mengalami kenaikan sampai pada akhir pengamatan. Pada daerah berkanopi memiliki memiliki suhu yang lebih rendah dan stabil dibandingkan pada daerah tidak berkanopi. Menurut teori seharusnya suhu yang lebih rendah memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Namun yang terjadi pada hasil pengamatan adalah daerah yang tidak berkanopi memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Pada daerah yang berkanopi keadaan udara lebih kering (adanya angin) sehingga kelembaban nisbi udara cenderung kecil. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi cuaca sedikit mendung sehingga sinar matahari terhalang oleh awan sehingga menyebabkan udara lebih rendah. 

7. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 75 cm

Grafik di atas menunjukkan perbedaan kelembaban nisbi yang mencolok antara daerah berkanopi dengan daerah yang tidak berkanopi. Pada menit ke-20 terlihat lonjakkan kelembaban nisbi udara dari 40% menjadi 50%pada 10 menit pertama. Sama seperti yang tejadi pada pengukuran kelembaban nisbi pada aras 25cm, grafik yang diperoleh tidak sesuai dengan teori. Seharusnya bila pada pengukuran suhu pada aras 75cm diketahui bahwa suhu pada daerah yang berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tanpa kanopi maka seharusnya kelembaban nisbi di daerah berkanopi lebih tinggi daripada daerah tanpa kanopi. Hal ini bisa disebabkan oleh  nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Kesalahan yang terjadi kemungkinan juga karena pengukuran kelembaban nisbi pada daerah tanpa kanopi, para praktikan bergerombol menelilingi alat dan mereka menggunakan payung sehingga radiasi sinar matahari tidak langsung mengenai alat maka menyebabkan kesalahan pengukuran.


8. grafik kelembaban nisbi udara aras 150 cm

Kelembaban nisbi pada aras 150 cm antara daerah berkanopi dan tak berkanopi pada awalnya terdapat perbedaan yang besar tetapi setelah itu pada akhir pengamatan terjadi persamaan kelembaban, terlihat pada grafik yang berhimpit. Pada daerah yang tak berkanopi cenderung naik cenderung makin naik, hal ini dikarenakan radiasi matahari pada daerah ini secara langsung dan mengakibatkan suhu cenderung naik. Selain itu dapat dilihat bahwa kelembaban nisbi pada daerah yang berkanopi lebih tinggi dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu. Kelembaban nisbi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan suhu udara. Pada daerah yang berkanopi memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini menyebabkan kelembaban nisbi udara pada daerah yang berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi. Kelembaban nisbi akan naik dengan menurunnya suhu udara.







9. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah berkanopi

            Pada grafik di atas terlihat peristiwa yang sangat mencolok terutama pada aras 25 dan aras 75. Garis kuning yang menggambarkan grafik pada aras 150cm, arah grafik cenderung stabil dari menit ke sepuluh sampai ke menit 60 yaitu sekitar 50%. Ini disebabkan karena pada aras ini suhu yang mempengaruhi uap air cederung stabil. Pada grafik terlihat jelas bahwa aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi. Alasannya, jika dihubungkan dengan grafik suhu vs waktu pada daerah berkanopi, pada grafik terlihat bahwa pada aras 25 memiliki rata-rata suhu yang paling rendah sehingga evaporasinya pun paling rendah, dengan begitu akan diperoleh kelembaban nisbi yang paling tinggi.









10. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi

            Pada daerah tak berkanopi, terlihat pada grafik kelembaban nisbi udara terjadi kenaikan dari menit ke menit dari pengamatan pertama hingga terakhir. Hal ini terjadi pada aras 75 cm dan 150 cm. pengaruh radiasi matahari yang cenderung naik menyebabkan suhu dan tekanan udara juga naik, maka akan mempengaruhui kelembaban nisbi udara. Namun pada aras 25 cm terjadi penurunanan kelembaban nisbi udara pada menit ke 20. Hal ini dapat terjadi karena sinar matahari bersinar maksimal. Sedangkan pada menit-menit berikutnya kelembaban nisbi keseluruhan cenderung naik yang disebabkan sinar matahari bersinar tidak maksimal (cuaca sedikit mendung). Kelembaban nisbi yang paling rendah adalah pada aras 150 cm karena pengaruh sinar matahari yang semakin ke atas semakin panas yang menyebabkan kelembaban nisbi cenderung turun (rendah).







11. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 0 cm

Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm perbedaan suhu tertinggi antara daerah berkanopi dan tidak berkanopi sebesar 4°C. Dimana suhu tertinggi pada daerah tidak berkanopi yaitu 30°C. Daerah berkanopi mula-mula memiliki suhu konstan kemudian mengalami penurunan secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak langsung, sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif tinggi dan tidak konstan. Hal ini dikarenakan radiasi matahari diterima secara langsung. Pada daerah berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi. Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah.



12. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 20 cm


Pada grafik suhu tanah jeluk 20 cm, perbedaan suhu tertinggi antara daerah yang berkanopi dengan tidak berkanopi adalah 25° C dan yang terendah adalah sebesar 0.5°C. dimana suhu yang tertinggi terdapat pada daerah yang tidak berkanopi. Di daerah ini mula-mula suhu turun kemudian naik turun kembali dan akhirnya mejadi stabil (selalu berfluktuasi) hingga akhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena cuaca selalu berubah-ubah dari mendung kembali menjadi cerah kemudian menjadi mendung kembali (cuaca tidak menentu). Sementara di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.









13. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 40 cm

Grafik suhu tanah vs waktu pada jeluk 40 cm menunjukkan suhu tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih rendah dan lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah berkanopi adalah 25,5°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah 26°C, keduanya tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Keadaan suhu tanah pada jeluk 40 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah daerah yang berkanopi.








14. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi

Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm menunjukkan pada jeluk 20 cm memiliki suhu tanah rata-rata 25.75°C lebih tinggi daripada jeluk 0 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.5°C dan jeluk 40 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.4°C. grafik tersebut memiliki fluktuasi yang sedikit tidak stabil. Hal ini karena penggunaan stick termometer yang ditancapkan pada tanah yang berbeda untuk mendapatkan kedalamam 20 cm atau 40 cm. Karena adanya perbedaan struktur pembangun tanah (ada yang gembur/ mudah untuk ditancapkan dan ada tanah yang padat) menyebabkan data suhu tanah dengan tempat yang lain berbeda sehingga menyebabkan fluktuasi yang tidak stabil.









15. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah tidak berkanopi

Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah yang tidak berkanopi dapat kita perhatikan bahwa rasio suhu tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm tidak begitu jauh perbedaannya. Rata-rata suhu tanah tertinggi pada jeluk 0 cm yaitu sebesar 27.5°C, diikuti rata-rata suhu tanah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 27°C dan suhu tanah yang terendah pada jeluk 40 cm yaitu sebesar 26°C. Dari data ini dapat kita lihat pula bahwa pada daerah tidak berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0 cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat time lag (selang waktu).









16. Grafik kecepatan angin vs waktu

Pada grafik kecepatan angin pada strata berkanopi dengan strata tidak berkanopi dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi karena pada daerah ini memiliki suhu yang rendah dan memiliki tekanan yang lebih tinggi. dan angin memiliki pergerakan dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Saat di daerah yang berkanopi pergerakan angin terhalang oleh pepohonan dan kecepatannya akan berkurang saat memasuki daerah tidak berkanopi.












17. Grafik intensitas penyinaran vs waktu

Dari grafik intensitas penyinaran pada daerah berkanopi dan daerah tidak berkanopi dapat diamati bahwa intensitas penyinaran pada daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini disebabkan karena daerah tidak berkanopi menerima energi atau cahaya matahari secara langsung (energi lebih besar). Sedangkan pada daerah berkanopi akan menerima cahaya matahari dengan intensitas yang lebih kecil karena adanya penghalang yang berupa kanopi-kanopi pepohonan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas matahari terbesar terdapat pada daerah yang tidak berkanopi.












 VI. KESIMPULAN

      Dari pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
  1. Suhu udara didaerah berkanopi rata-rata lebih rendah dibanding daerah tidak berkanopi selama pengamatan.
  2. Suhu udara pada daerah berkanopi, aras 150 cm> 75 cm> 25 cm.
  3. Suhu udara pada daerah tidak berkanopi, 25 cm > 75 cm> 150 cm.
  4. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi pada waktu pengamatan rata-rata lebih tinggi daripada strata tidak berkanopi.
  5. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi, 25 cm>150 cm> 75 cm.
  6. Kelembaban nisbi udara pada strata tidak berkanopi, 25 cm> 75 cm> 150cm.
  7. Pada daerah berkanopi suhu tanah relatif stabil kecuali pada jeluk 20 cm.
  8. Pada daerah tidak berkanopi suhu tanah, jeluk 0 cm> 20 cm> 40 cm.
  9. Kecepatan angin pada strata berkanopi > tidak berkanopi.
  10. Intensitas penyinaran pada strata berkanopi < strata tidak berkanopi.






                                                                           














DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A.G. 2003. Alam Sekitar dan Pembangunan. (http://portal.kukum.edu.my). Diakses pada 9 Maret 2006.

Bey, A dan Las, I. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. JurnalKapita Selekta dalam Agrometeorologi. I (1). halaman : 21-27.

Landsberg, H.E. 1981. General Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.

Larcher, W.     1975.   Phsyological Plant Ecology. Carl Ritter &Co. Heldelberg.

Sanderson, M. 1990. UNESCO Source Book in Climatology for Hydrologists and Water Resource Enginers. UNESCO.

Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung

Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.
            Yogyakarta.



No comments:

 


Loading...


Please Wait...