Akan diadakannya MALAM KEAKRABAN (MAKRAB) dan SEMINAR Himpunan Mahasiswa Lampung (HIPMALA) Yogyakarta 2014
Dihadiri
1. Muhammad Ridho Ficardo, M.Si (Gubernur Lampung)
2. Prof. DR. H. Ir. Inu Kencana Syafeiie, M.Si
3. DR. H. Deddy Minarwan, S.STTP, M.Si
4. DR. Rina Martiara, M.Hum
+ Penampilan Tim Seni Budaya HIPMALA dan Seluruh IKPM se-Komisariat Lampung
Tokoh Pertanian asal Desa Onoharjo, Lampung Tengah, Lampung
Nama: Ir. Surono Danu
Tempat, tanggal lahir: Cirebon, 11 September 1951
Istri: Rohmiati
Tempat, tanggal lahir: Sukoharjo, Solo, 23 Februari 1961
Karya Beliau
Menjadi penangkar padi adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan
ketekunan ekstra. Surono Danu membuktikan hal itu. Dia sudah bangun
sejak pukul 02.00 untuk mengawasi bulir padi dan membuka serbuk sarinya.
Menjelang pukul 04.00, serbuk sari yang sudah terbuka itu kemudian
dikawinkan. Alat pembuka serbuk sari hanyalah pinset. "Hanya itu alat
yang saya gunakan," kata Surono. Ini adalah proses yang terbilang rumit
karena padi tidak boleh rusak. Kemudian sisa dari bulir padi yang tidak
dikawinkan, harus dibuang.
Lalu, padi yang sudah dikawinkan itu ditutup plastik, dan diberi lubang
untuk sirkulasi udara. Nah, pukul 06.30 adalah saat tanaman padi kawin.
"Saya harus bangun lebih pagi agar tidak keduluan proses perkawinan padi
secara alami," kata ayah lima anak ini.
Setiap saat, Surono harus terus memantau setiap bulir padi yang telah
dikawinkan untuk melihat tingkat keberhasilan proses perkawinan.
Banyaknya bulir padi yang dikawinkan bergantung pada kecepatan sang
penangkar. Dalam sehari bisa 10--20 bulir padi yang dikawinkan. Namun,
kata Surono, dalam 10 ribu bulir yang berhasil paling hanya satu.
Langkah selanjutnya, padi hasil perkawinan itu diuji coba terus-menerus
sehingga menghasilkan galur padi yang diinginkan. Jangan membayangkan
Surono bekerja dalam sebuah laboratorium dengan fasilitas lengkap. Dia
bahkan mengaku tidak punya lahan secuil pun untuk uji coba.
Menurut cerita Surono, semua uji coba padi dilakukan dalam pot di
halaman rumahnya di Bandar Lampung, dan alat yang digunakan hanya
pinset. Tidak heran bila usaha menghasilkan galur unggul lokal dari
Sertani 1 hingga Sertani 16 memakan waktu sampai 22 tahun.
Pengalaman Beliau
Usaha gigihnya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Dari
ketekunan itu, lahirnya benih unggul lokal Lampung yang kini dikenal
dengan benih padi unggul Sertani 1 yang kini makin populer di kalangan
petani.
Karena prestasinya itu juga, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri
menyempatkan diri berkunjung ke gubuk Surono Danu di Desa Onoharjo,
Lampung Tengah, pada 2 Februari 2008.
Sehari sebelum peristiwa bersejarah bagi Surono itu, Lampung Post
bertandang ke rumah "sang peneliti". "Inilah istana seribu jendela,
tempat berteduh kami. Setiap lubang di dinding geribik ini adalah
jendela. Kalau hujan, air hujan pun ikut berteduh ha...ha...ha," kata
Surono.
Surono menjejakkan kaki pertama kali di Lampung tahun 1982 di Desa
Bungkuk, Jabung, Lampung Timur. Saat itu ia meneliti dan mengenalkan
beberapa tanaman kepada petani. Ia membuat pola pengembangan tanaman
nilam dan vanili. "Tujuan saya menambah komoditas di Lampung yang
otomatis akan menambah income petani."
Tahun 1984, ia melanjutkan penelitian dan pengenalan bercocok tanam yang
baik ke umbulan Way Pengubuan, persisnya Kampung Terbanggibesar. Ia
membawa benih nilam dan melakukan hal serupa kepada petani di sana.
Namun, bibit nilam disimpan di Talang Jago, Bukit Kemuning. Ia juga
mengenalkan benih jagung hibrida C-1, sekaligus mengajari petani cara
bercocok tanam yang baik.
Rupanya Surono kurang puas dengan hasil yang diperoleh petani di
Terbanggibesar. Ia pun "bertualang" lagi ke daerah lain di Bumi Ruwa
Jurai. Seperti Kalinda, Kotaagung, dan daerah lain sembari meneliti
benih padi unggul.
Selama bertualang, Surono mengaku lebih banyak berjalan kaki atau dengan
sepeda tuanya. Maklum, kondisi ekonominya jauh dari cukup. "Jangankan
beli kendaraan, untuk ongkos saja tidak punya," kata dia.
Selama bertahun-tahun ia menjelajahi daerah-daerah pertanian di Lampung.
Hasilnya, Surono mengoleksi 181 jenis benih padi. Benih-benih itu dia
teliti dan kemudian menetapkan tiga jenis benih padi unggulan. Ketiga
jenis benih padi itu pun ia uji dan teliti.
Untuk benih jantan, Surono memilih padi asal Terbanggibesar yang diberi
nama Dayang Rindu. Sedangkan benih betina dipilih dua jenis padi, yakni
asal Kampung Gunungbatin, Terusannunyai, yang dinamainya "Si rendah
sekam kuning" dan "Si rendah sekam putih".
Sejak 1985, Surono praktis memusatkan penelitiannya pada ketiga jenis
padi itu. Dari hasil persilangan benih itu, 10 tahun kemudian ia
menemukan benih padi yang berusia 150 hari. Dan, tujuh tahun
kemudian--dengan rumus ciptaan dan pengetahuan yang dimilikinya--Surono
akhirnya menemukan benih padi berusia 135 hari.
Meski hasilnya cukup spektakuler, Surono belum puas juga. Ia masih terus
meneliti dan tahun 1997 ditemukanlah benih padi berusia 105 hari. Benih
padi itu pun ia beri nama Sertani 1.
Menurut Surono, satu hektare tanaman padi ini, dengan perlakuan yang
baik, mampu memproduksi gabah maksimal 14 ton. "Benih ini tidak memiliki
perawatan khusus bahkan tidak membutuhkan suplai air yang memadai,"
kata Surono Danu.
"Justru dengan pasokan air yang lebih banyak, produksi menjadi tidak
maksimal," kata Surono. Benih ini juga mampu hidup di berbagai kondisi
tanah apa pun seperti perladangan, gaga rancah, sawah, dan salinitas
atau lahan yang kurang bagus untuk produksi.
Dari segi pemupukan, benih Sertani 1 ini hanya membutuhkan paling banyak
lima kuintal per hektare dan tahan terhadap hama apa pun seperti hama
tikus.
Bila batang tanaman padi ini digigit tikus, batangnya mampu menutup luka
akibat gigitan hama hanya dalam waktu 24 jam dan tetap bisa tumbuh
dengan baik. Benih Sertani 1 memiliki antibodi sendiri sehingga lebih
tahan terhadap serangan penyakit.
Sembari mengembangkan benih Sertani 1 dan mengenalkannya pada petani,
Surono terus meneliti. Dua tahun kemudian (1999), dia berhasil menemukan
benih padi dengan usia panen 95 hari. "Benih padi itu akan kita beri
nama EMESPE-1 singkatan dari Mari Sejahterakan Petani," ujar pria yang
sangat tertekan semasa rezim Orde Baru itu.
Menurut Surono, padi EMESPE ini sudah ditanam di seluruh Indonesia. Ini
memang jadi keinginannya agar padi hasil penelitiannya bertahun-tahun
itu bisa meningkatkan kesejahteraan para petani karena hasil panenannya
bisa dua kali lebih banyak ketimbang jenis padi lokal lain.
"Dahulu, Mahapatih Gajah Mada pernah bersumpah tidak akan makan buah
palapa kalau belum bisa menaklukkan dan menyatukan wilayah Nusantara.
Saya pun tidak makan nasi hasil penemuan saya ini sebelum tertanam di
seluruh Indonesia. Nah, karena sekarang sudah tertanam di seluruh
Indonesia, saya pun sudah merasakan nasi dari padi EMESPE," jelas
Surono.
Selama 20-an tahun meneliti, Surono tidak pernah menerima dan meminta
imbalan dari siapa pun. Semua yang dia lakukan semata-mata didorong
keinginannya menyejahterakan orang banyak, terutama petani.
Hal yang membuat Surono tidak pernah surut untuk meneliti adalah
sikapnya yang kritis dan selalu bersemangat. "Saya tidak punya apa-apa
kecuali sikap kritis dan spirit. Seperti virus, inilah yang saya
sebarkan kepada masyarakat. Jika kebaikan dan pengetahuan kita sebarkan
seperti virus, masyarakat akan kuat," ujarnya.
Dalam keseharian, Surono selain dikenal ramah dan tegas, juga terbuka
pada siapa pun. Selain tekun meneliti tanaman, ia juga memiliki
kemampuan meracik obat-obatan herba. Sudah banyak orang sakit yang
disembuhkan oleh racikan obatnya.
Benih unggul temuan Surono kini menjadi perbincangan. Bukan hanya di
Lampung, juga seantero Indonesia. Meski demikian, kehidupan ekonomi
Surono belum beranjak naik. Ia tetap saja seorang petani desa yang hidup
penuh kesederhanaan. "Ibarat lukisan, saya ini lukisan abstrak, tidak
jelas tapi mempunyai arti," ujar Surono.