LAPORAN PRAKTIKUM
BIOKIMIA
ACARA V
PENGUJIAN VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
DNA
Disusun oleh :
Nama : Rr.Wulan Setyadewi
Nim : 06/194952/PN/10699
Gol : A2
Hari/tgl : Selasa /30 September 2007
Asisten : Ajeng Dara Pramita
LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
ACARA V
VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
(DNA)
I. DASAR TEORI
DNA merupakan gen itu sendiri, karena DNA merupakan pembawa sifat-sifat genetik yang khas dalam kromosom. DNA terdapat pada mitokondria, plastid, dan sentriol. Sedangkan rumus dari DNA adalah (Handayanto, 2000):
1. Merupakan susunan kimia makromolekul yang kompleks.
2. Molekulnya merupakan suatu rantai yang amat panjang.
3. Substansi dasarnya terdiri atas gula, fosfat + basa.
- Gugusan gula (pentosa yang disebut deoksiribosa).
- Asam Fosfat
- Basa Nitrogen (terikat pada setiap molekul gula).
Asam Deoksiribonukleat merupakan senyawa kimia yang paling penting pada makhluk hidup yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus memiliki DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalm kromoso. Molekul DNA juga ditemukan didalam mitokondria, plastida, dan sentriol. Pada paramecium, tetrahymena, amoeba proteus, amphibia, dan paku-pakuan molekul ADN terdapat dalam dasar sitoplasma. (Suryo, 1998).
Kebanyakan DNA sel hewan ditemukan dalam inti, sedangkan kebanyakan RNA berada di sitoplasma. DNA inti adalah unsur pokok utama dari kromosom-kromosom dan terdapat dalam bentuk heliks ganda tipis dengan lebar hanya 2 mm. Heliks ganda terlipat dan berkompleks dengan protein membentuk untai kromosom dengan garis menengah kurang lebih 100 sampai 200 mm. Masing-masing kromosom mengandung duplet DNA tunggal. Kromosom mempunyai bermacam- macam ukuran, terkecil kromosom manusia mengandung kurang lebih 4,6.10 pasangan basa DNA dan yang terbesar adalah 2,4.10 pasangan basa. Hal ini dapat dilihat pada bakteri E. koli yang mempunyai 4,5.10 pasangan base ( Montgomery R, et al.,1983).
Watson dan Crick mengambil kesimpulan bahwa DNA berbentuk double helix yang terdiri dari 2 pita spiral yang saling berpilin. Di bagian luar terdapat deretan gula phospat (yang membentuk tulang punggung dari double helix). Di bagian dalam dari double helix terdapat basa purine dan pirimidin (Suryo, 1998).
DNA mempunyai struktur yang disebut struktur heliks ganda. Ciri-ciri penting dari struktur heliks ganda
DNA terdiri dari 2 rantai polinukleotida yang melingkar menurut satu sumbu heliks.
1. Kedua helix bersifat putar kanan dan arahnya berlawanan menurut ujung-ujung 3’ dan 5’nya.
2. Basa purinnya.
Baik DNA maupun RNA, keduanya mengandung basa purin adenine(A) dan guanin (G). DNA mengandung pirimidin timin (T) dan sitosin (S), sedangkan RNA mengandung sitosin (S) dan Urasil (U). DNA berdasarkan letaknya terbagi menjadi 2 yaitu DNA yang berada didalam kromosom (kromosom DNA) dan DNA yang berada di luar kromosom (ekstrakromosomal DNA). DNA yang berada di luar kromosom disebut DNA plasmid ini memiliki struktur linear maupun sirkuler. DNA mampu bermigrasi menuju kutub positif karena molekul DNA memiliki muatan / panjang yang konstan, disebabkan oleh muatan negatif pada muatan fosfat. Karena sifatnya tersebut, DNA dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya dengan menggunakan metode elektroforesis. Faktor- faktor yang mempengaruhi laju DNA pada proses elektroforesis adalah ukuran pori gel agarosa, dan panjang DNA, konformasi DNA, dan volkase yang digunakan. Molekul DNA dapat dilihat dan ditentukan struktur molekul serta ukurannya dengan menggunakan tambahan metode elektroforesis, cahaya UV, dan pengecatan DNA dengan ethidium bromide. Ethidium bromida merupakan senyawa penginteraksi yang bila dikenai cahaya UV akan memendarkan cahaya oranye (Nur dan Adijuwanda, 1989)
Elektroforesis adalah perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Kegunaan elektroforesis antara lain menentukan berat molekul ( estimasi) dan mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan untuk memisahkan species molekul yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif yang selanjutnya masing-masing species yang dianalisis menetapkan titik isoelektrik protein. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya pemisahan molekul yang optimum tergantung pada jenis molekul yang dipisahkan, serta buffer yang digunakan (Nur dan Adijuwanda, 1989).
Struktur berutas rangkap (DNA) dalam larutan dapat dilebur oleh kenaikan suhu atau penurunan konsentrasi garam. Tidak hanya dua kumpulan basa dijauhkan, tetapi basa-basa itu sendiri tidak tertumpuk sementara masih tetap dihubungkan dalam polimer oleh tulang punggung fosfodiester. Bersamaan dengan denaturasi molekul DNA ini adalah kenaikan daya serap optik basa purin dan pirimidin, peristiwa ini disebut tuperkromisitas dari denaturasi. Karena penumpukan molekul berutas rangkap DNA menunjukkan sifat suatu serabut dan dalam larutan merupakan suatu zat kental yang kehilangan viskositasnya pada denaturasi (Kimball, 1996).
II. TUJUAN
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA.
2. Membedakan konformasi DNA dan ukurannya.
III. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
a. Alat :
• Tangki elektroforesis * White tip
• UV transluminator * cetakan + sisiran agarose
• Eppendorf * Parafilm
• Mikropipet (0,5µ-10µ) * Sarung tangan
b. Bahan :
• Aquades * Loading sample
• TAE * Ethidium bromida
*0,8% gel agarosa
B. CARA KERJA
1. Diencerkan buffer 10 X TAE menjadi buffer 1X TAE
2. Dilarutkan agarosa dalam buffer 1 X TAE ( 0,8 gr agarosa dalam 100 ml TAE) kemudian dipanaskan dengan micromave oven atau pemanas lainnya, dan pastikan semua agarosa larut .
3. Ditambahkan ethidium bromide pada larutan agarosa, dengan konsentrasi 0,5µg/ml.
4. Cetak gel agarosa dengan menggunakan cetakan khusus yang telah dipasangi sisir (comb) untuk membuat sumuran (well), kemudian biarkan terjadi polimerisasi (gel memadat).
5. Setelah gel memadat, masukkan gel ke dalam tanki elektroforesis, kemudian tuangkan buffer 1X TAE hingga gel terendam, lalu lepaskan sisir.
6. Masukkan 8µl sampel DNA yang telah dicampur loading buffer ke dalam sumuran gel.
7. Hubungkan tanki elektroforesis dengan sumber tegangan DC (awas jangan sampai terbalik dalam memasang kutub +/-)
8. Dibiarkan hingga DNA bermigrasi. Setelah jarak migrasi dianggap cukup. Matikan sumber tegangan dan selanjutnya amati pola migrasi DNA dengan menggunakan UV transiluminator dan tentukan / hitung jarak migrasi.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap DNA dengan menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet dapat digunakan untuk melihat suatu molekul DNA, menentukan ukuran dan kondisi struktur molekulnya. Dari hasil pengamatan didapat dimana letak DNA sejajar ini berarti berat molekul pada DNA sama, semakin kecil berat molekul DNA migrasi paling cepat . Dari gambar garis yang menandakan DNA, garis yang tebal menandakan jumlah DNA lebih banyak, dimana semakin banyak warna orange makin pekat.
Suatu laju migrasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran pori gel agarosa dan panjang DNA, konformasi DNA, dan voltase yang digunakan. Ukuran pori gel agarosa akan mempengaruhi konsentrasi gel agarosa, bila konsentrasinya semakin tinggi, maka ukuran porinya akan semakin kecil sehingga mengakibatkan pori dari gel agarosa akan semakin sulit untuk dilewati karena ukurannya yang semakin sempit dan kecil. Dengan adanya perbedaan konsentrasi gel agarosa tersebut akan menyebabkan perbedaan ukuran pori gel agarosa yang berarti bahwa akan timbul suatu perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA. Perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA tersebut nantinya akan mempengaruhi lambat atau cepatnya DNA dalam bermigrasi. Semakin kecil konsentrasi, maka DNA akan melaju lebih cepat daripada DNA pada gel agarosa yang konsentrasinya lebih besar.
Selain itu, konformasi DNA juga mempengaruhi pola migrasi molekul DNA pada gel agarosa. Umumnya, pola migrasinya adalah supercoil > linear > open circular. DNA yang terbentuk supercoil akan lebih mudah untuk melaju cepat daripada dua bentuk lainnya. Hal ini dikarenakan DNA supercoil memiliki bentuk yang berpilin. Bentuk inilah yang memudahkan suatu DNA melaju lebih jauh. Sedangkan DNA dengan bentuk linear lebih lambat dibanding supercoil tetap lebih cepat bila dibandingkan dengan DNA yang circular, ini disebabkan bentuk linier ini sangat mudah menyesuaikan diri dengan jalan yang dilewatinya. Ini tentu berbeda dengan bentuk DNA open circular yang harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memasuki / menyesuaikan dengan bentuk sumurannya.
Voltase mempengaruhi laju migrasi DNA. Semakin besar voltase yang digunakan, maka akan semakin cepat DNA yang melaju, dan semakin lama pula penggunaanya semakin cepat pula laju DNA-nya.
Jarak migrasi yang berbeda, selain dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor-faktor migrasi diatas, dapat pula dipengaruhi oleh ukuran plasmid yang digunakan. Ukuran dari plasmid yang belum dipotong lebih besar daripada plasmid yang telah dipotong. Hal ini menyebabkan plasmid DNA yang telah terpotong akan melaju lebih cepat daripada plasmid yang belum terpotong. Cepat dan lambatnya laju migrasi inilah yang akan membuat jarak migrasi yang sangat berbeda-beda.
V. KESIMPULAN
1. Untuk melihat suatu molekul DNA menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet.
2. Faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA adalah ukuran pori gel agarosa, konformasi DNA, panjang DNA, dan voltase yang digunakan.
3. Ukuran dan konformasi DNA menunjukkan ekspresivitas yang berbeda- beda.
4. pola migrasi molekul DNA pada gel azarosa adalah supercoil > linear > open circular
VI. DAFTAR PUSTAKA
Handayanto, R. 2000. Biologi. Erlangga : Jakarta.
Kimball, A.W. 1996. Biology. Erlangga : Jakarta.
Montgomery, R. Dryer, R.L, Conway, T.W dan Spektor, A.A. 1983.
Biochemistry. Mosby Company. St Louis.
Nur, M.A dan Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. IPB,
Bogor.
Suryo. 1998. Genetika. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Yogyakarta, 30 September 2007
Asisten Praktikan
Ajeng Dara Pramita Rr.Wulan Setyadewi
Tuesday, November 15, 2011
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA ACARA V
LAPORAN PRAKTIKUM
BIOKIMIA
ACARA V
PENGUJIAN VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
DNA
Disusun oleh :
Nama : Rr.Wulan Setyadewi
Nim : 06/194952/PN/10699
Gol : A2
Hari/tgl : Selasa /30 September 2007
Asisten : Ajeng Dara Pramita
LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
ACARA V
VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
(DNA)
I. DASAR TEORI
DNA merupakan gen itu sendiri, karena DNA merupakan pembawa sifat-sifat genetik yang khas dalam kromosom. DNA terdapat pada mitokondria, plastid, dan sentriol. Sedangkan rumus dari DNA adalah (Handayanto, 2000):
1. Merupakan susunan kimia makromolekul yang kompleks.
2. Molekulnya merupakan suatu rantai yang amat panjang.
3. Substansi dasarnya terdiri atas gula, fosfat + basa.
- Gugusan gula (pentosa yang disebut deoksiribosa).
- Asam Fosfat
- Basa Nitrogen (terikat pada setiap molekul gula).
Asam Deoksiribonukleat merupakan senyawa kimia yang paling penting pada makhluk hidup yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus memiliki DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalm kromoso. Molekul DNA juga ditemukan didalam mitokondria, plastida, dan sentriol. Pada paramecium, tetrahymena, amoeba proteus, amphibia, dan paku-pakuan molekul ADN terdapat dalam dasar sitoplasma. (Suryo, 1998).
Kebanyakan DNA sel hewan ditemukan dalam inti, sedangkan kebanyakan RNA berada di sitoplasma. DNA inti adalah unsur pokok utama dari kromosom-kromosom dan terdapat dalam bentuk heliks ganda tipis dengan lebar hanya 2 mm. Heliks ganda terlipat dan berkompleks dengan protein membentuk untai kromosom dengan garis menengah kurang lebih 100 sampai 200 mm. Masing-masing kromosom mengandung duplet DNA tunggal. Kromosom mempunyai bermacam- macam ukuran, terkecil kromosom manusia mengandung kurang lebih 4,6.10 pasangan basa DNA dan yang terbesar adalah 2,4.10 pasangan basa. Hal ini dapat dilihat pada bakteri E. koli yang mempunyai 4,5.10 pasangan base ( Montgomery R, et al.,1983).
Watson dan Crick mengambil kesimpulan bahwa DNA berbentuk double helix yang terdiri dari 2 pita spiral yang saling berpilin. Di bagian luar terdapat deretan gula phospat (yang membentuk tulang punggung dari double helix). Di bagian dalam dari double helix terdapat basa purine dan pirimidin (Suryo, 1998).
DNA mempunyai struktur yang disebut struktur heliks ganda. Ciri-ciri penting dari struktur heliks ganda
DNA terdiri dari 2 rantai polinukleotida yang melingkar menurut satu sumbu heliks.
1. Kedua helix bersifat putar kanan dan arahnya berlawanan menurut ujung-ujung 3’ dan 5’nya.
2. Basa purinnya.
Baik DNA maupun RNA, keduanya mengandung basa purin adenine(A) dan guanin (G). DNA mengandung pirimidin timin (T) dan sitosin (S), sedangkan RNA mengandung sitosin (S) dan Urasil (U). DNA berdasarkan letaknya terbagi menjadi 2 yaitu DNA yang berada didalam kromosom (kromosom DNA) dan DNA yang berada di luar kromosom (ekstrakromosomal DNA). DNA yang berada di luar kromosom disebut DNA plasmid ini memiliki struktur linear maupun sirkuler. DNA mampu bermigrasi menuju kutub positif karena molekul DNA memiliki muatan / panjang yang konstan, disebabkan oleh muatan negatif pada muatan fosfat. Karena sifatnya tersebut, DNA dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya dengan menggunakan metode elektroforesis. Faktor- faktor yang mempengaruhi laju DNA pada proses elektroforesis adalah ukuran pori gel agarosa, dan panjang DNA, konformasi DNA, dan volkase yang digunakan. Molekul DNA dapat dilihat dan ditentukan struktur molekul serta ukurannya dengan menggunakan tambahan metode elektroforesis, cahaya UV, dan pengecatan DNA dengan ethidium bromide. Ethidium bromida merupakan senyawa penginteraksi yang bila dikenai cahaya UV akan memendarkan cahaya oranye (Nur dan Adijuwanda, 1989)
Elektroforesis adalah perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Kegunaan elektroforesis antara lain menentukan berat molekul ( estimasi) dan mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan untuk memisahkan species molekul yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif yang selanjutnya masing-masing species yang dianalisis menetapkan titik isoelektrik protein. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya pemisahan molekul yang optimum tergantung pada jenis molekul yang dipisahkan, serta buffer yang digunakan (Nur dan Adijuwanda, 1989).
Struktur berutas rangkap (DNA) dalam larutan dapat dilebur oleh kenaikan suhu atau penurunan konsentrasi garam. Tidak hanya dua kumpulan basa dijauhkan, tetapi basa-basa itu sendiri tidak tertumpuk sementara masih tetap dihubungkan dalam polimer oleh tulang punggung fosfodiester. Bersamaan dengan denaturasi molekul DNA ini adalah kenaikan daya serap optik basa purin dan pirimidin, peristiwa ini disebut tuperkromisitas dari denaturasi. Karena penumpukan molekul berutas rangkap DNA menunjukkan sifat suatu serabut dan dalam larutan merupakan suatu zat kental yang kehilangan viskositasnya pada denaturasi (Kimball, 1996).
II. TUJUAN
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA.
2. Membedakan konformasi DNA dan ukurannya.
III. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
a. Alat :
• Tangki elektroforesis * White tip
• UV transluminator * cetakan + sisiran agarose
• Eppendorf * Parafilm
• Mikropipet (0,5µ-10µ) * Sarung tangan
b. Bahan :
• Aquades * Loading sample
• TAE * Ethidium bromida
*0,8% gel agarosa
B. CARA KERJA
1. Diencerkan buffer 10 X TAE menjadi buffer 1X TAE
2. Dilarutkan agarosa dalam buffer 1 X TAE ( 0,8 gr agarosa dalam 100 ml TAE) kemudian dipanaskan dengan micromave oven atau pemanas lainnya, dan pastikan semua agarosa larut .
3. Ditambahkan ethidium bromide pada larutan agarosa, dengan konsentrasi 0,5µg/ml.
4. Cetak gel agarosa dengan menggunakan cetakan khusus yang telah dipasangi sisir (comb) untuk membuat sumuran (well), kemudian biarkan terjadi polimerisasi (gel memadat).
5. Setelah gel memadat, masukkan gel ke dalam tanki elektroforesis, kemudian tuangkan buffer 1X TAE hingga gel terendam, lalu lepaskan sisir.
6. Masukkan 8µl sampel DNA yang telah dicampur loading buffer ke dalam sumuran gel.
7. Hubungkan tanki elektroforesis dengan sumber tegangan DC (awas jangan sampai terbalik dalam memasang kutub +/-)
8. Dibiarkan hingga DNA bermigrasi. Setelah jarak migrasi dianggap cukup. Matikan sumber tegangan dan selanjutnya amati pola migrasi DNA dengan menggunakan UV transiluminator dan tentukan / hitung jarak migrasi.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap DNA dengan menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet dapat digunakan untuk melihat suatu molekul DNA, menentukan ukuran dan kondisi struktur molekulnya. Dari hasil pengamatan didapat dimana letak DNA sejajar ini berarti berat molekul pada DNA sama, semakin kecil berat molekul DNA migrasi paling cepat . Dari gambar garis yang menandakan DNA, garis yang tebal menandakan jumlah DNA lebih banyak, dimana semakin banyak warna orange makin pekat.
Suatu laju migrasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran pori gel agarosa dan panjang DNA, konformasi DNA, dan voltase yang digunakan. Ukuran pori gel agarosa akan mempengaruhi konsentrasi gel agarosa, bila konsentrasinya semakin tinggi, maka ukuran porinya akan semakin kecil sehingga mengakibatkan pori dari gel agarosa akan semakin sulit untuk dilewati karena ukurannya yang semakin sempit dan kecil. Dengan adanya perbedaan konsentrasi gel agarosa tersebut akan menyebabkan perbedaan ukuran pori gel agarosa yang berarti bahwa akan timbul suatu perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA. Perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA tersebut nantinya akan mempengaruhi lambat atau cepatnya DNA dalam bermigrasi. Semakin kecil konsentrasi, maka DNA akan melaju lebih cepat daripada DNA pada gel agarosa yang konsentrasinya lebih besar.
Selain itu, konformasi DNA juga mempengaruhi pola migrasi molekul DNA pada gel agarosa. Umumnya, pola migrasinya adalah supercoil > linear > open circular. DNA yang terbentuk supercoil akan lebih mudah untuk melaju cepat daripada dua bentuk lainnya. Hal ini dikarenakan DNA supercoil memiliki bentuk yang berpilin. Bentuk inilah yang memudahkan suatu DNA melaju lebih jauh. Sedangkan DNA dengan bentuk linear lebih lambat dibanding supercoil tetap lebih cepat bila dibandingkan dengan DNA yang circular, ini disebabkan bentuk linier ini sangat mudah menyesuaikan diri dengan jalan yang dilewatinya. Ini tentu berbeda dengan bentuk DNA open circular yang harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memasuki / menyesuaikan dengan bentuk sumurannya.
Voltase mempengaruhi laju migrasi DNA. Semakin besar voltase yang digunakan, maka akan semakin cepat DNA yang melaju, dan semakin lama pula penggunaanya semakin cepat pula laju DNA-nya.
Jarak migrasi yang berbeda, selain dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor-faktor migrasi diatas, dapat pula dipengaruhi oleh ukuran plasmid yang digunakan. Ukuran dari plasmid yang belum dipotong lebih besar daripada plasmid yang telah dipotong. Hal ini menyebabkan plasmid DNA yang telah terpotong akan melaju lebih cepat daripada plasmid yang belum terpotong. Cepat dan lambatnya laju migrasi inilah yang akan membuat jarak migrasi yang sangat berbeda-beda.
V. KESIMPULAN
1. Untuk melihat suatu molekul DNA menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet.
2. Faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA adalah ukuran pori gel agarosa, konformasi DNA, panjang DNA, dan voltase yang digunakan.
3. Ukuran dan konformasi DNA menunjukkan ekspresivitas yang berbeda- beda.
4. pola migrasi molekul DNA pada gel azarosa adalah supercoil > linear > open circular
VI. DAFTAR PUSTAKA
Handayanto, R. 2000. Biologi. Erlangga : Jakarta.
Kimball, A.W. 1996. Biology. Erlangga : Jakarta.
Montgomery, R. Dryer, R.L, Conway, T.W dan Spektor, A.A. 1983.
Biochemistry. Mosby Company. St Louis.
Nur, M.A dan Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. IPB,
Bogor.
Suryo. 1998. Genetika. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Yogyakarta, 30 September 2007
Asisten Praktikan
Ajeng Dara Pramita Rr.Wulan Setyadewi
BIOKIMIA
ACARA V
PENGUJIAN VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
DNA
Disusun oleh :
Nama : Rr.Wulan Setyadewi
Nim : 06/194952/PN/10699
Gol : A2
Hari/tgl : Selasa /30 September 2007
Asisten : Ajeng Dara Pramita
LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
ACARA V
VISUALISASI ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT
(DNA)
I. DASAR TEORI
DNA merupakan gen itu sendiri, karena DNA merupakan pembawa sifat-sifat genetik yang khas dalam kromosom. DNA terdapat pada mitokondria, plastid, dan sentriol. Sedangkan rumus dari DNA adalah (Handayanto, 2000):
1. Merupakan susunan kimia makromolekul yang kompleks.
2. Molekulnya merupakan suatu rantai yang amat panjang.
3. Substansi dasarnya terdiri atas gula, fosfat + basa.
- Gugusan gula (pentosa yang disebut deoksiribosa).
- Asam Fosfat
- Basa Nitrogen (terikat pada setiap molekul gula).
Asam Deoksiribonukleat merupakan senyawa kimia yang paling penting pada makhluk hidup yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus memiliki DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalm kromoso. Molekul DNA juga ditemukan didalam mitokondria, plastida, dan sentriol. Pada paramecium, tetrahymena, amoeba proteus, amphibia, dan paku-pakuan molekul ADN terdapat dalam dasar sitoplasma. (Suryo, 1998).
Kebanyakan DNA sel hewan ditemukan dalam inti, sedangkan kebanyakan RNA berada di sitoplasma. DNA inti adalah unsur pokok utama dari kromosom-kromosom dan terdapat dalam bentuk heliks ganda tipis dengan lebar hanya 2 mm. Heliks ganda terlipat dan berkompleks dengan protein membentuk untai kromosom dengan garis menengah kurang lebih 100 sampai 200 mm. Masing-masing kromosom mengandung duplet DNA tunggal. Kromosom mempunyai bermacam- macam ukuran, terkecil kromosom manusia mengandung kurang lebih 4,6.10 pasangan basa DNA dan yang terbesar adalah 2,4.10 pasangan basa. Hal ini dapat dilihat pada bakteri E. koli yang mempunyai 4,5.10 pasangan base ( Montgomery R, et al.,1983).
Watson dan Crick mengambil kesimpulan bahwa DNA berbentuk double helix yang terdiri dari 2 pita spiral yang saling berpilin. Di bagian luar terdapat deretan gula phospat (yang membentuk tulang punggung dari double helix). Di bagian dalam dari double helix terdapat basa purine dan pirimidin (Suryo, 1998).
DNA mempunyai struktur yang disebut struktur heliks ganda. Ciri-ciri penting dari struktur heliks ganda
DNA terdiri dari 2 rantai polinukleotida yang melingkar menurut satu sumbu heliks.
1. Kedua helix bersifat putar kanan dan arahnya berlawanan menurut ujung-ujung 3’ dan 5’nya.
2. Basa purinnya.
Baik DNA maupun RNA, keduanya mengandung basa purin adenine(A) dan guanin (G). DNA mengandung pirimidin timin (T) dan sitosin (S), sedangkan RNA mengandung sitosin (S) dan Urasil (U). DNA berdasarkan letaknya terbagi menjadi 2 yaitu DNA yang berada didalam kromosom (kromosom DNA) dan DNA yang berada di luar kromosom (ekstrakromosomal DNA). DNA yang berada di luar kromosom disebut DNA plasmid ini memiliki struktur linear maupun sirkuler. DNA mampu bermigrasi menuju kutub positif karena molekul DNA memiliki muatan / panjang yang konstan, disebabkan oleh muatan negatif pada muatan fosfat. Karena sifatnya tersebut, DNA dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya dengan menggunakan metode elektroforesis. Faktor- faktor yang mempengaruhi laju DNA pada proses elektroforesis adalah ukuran pori gel agarosa, dan panjang DNA, konformasi DNA, dan volkase yang digunakan. Molekul DNA dapat dilihat dan ditentukan struktur molekul serta ukurannya dengan menggunakan tambahan metode elektroforesis, cahaya UV, dan pengecatan DNA dengan ethidium bromide. Ethidium bromida merupakan senyawa penginteraksi yang bila dikenai cahaya UV akan memendarkan cahaya oranye (Nur dan Adijuwanda, 1989)
Elektroforesis adalah perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Kegunaan elektroforesis antara lain menentukan berat molekul ( estimasi) dan mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan untuk memisahkan species molekul yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif yang selanjutnya masing-masing species yang dianalisis menetapkan titik isoelektrik protein. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya pemisahan molekul yang optimum tergantung pada jenis molekul yang dipisahkan, serta buffer yang digunakan (Nur dan Adijuwanda, 1989).
Struktur berutas rangkap (DNA) dalam larutan dapat dilebur oleh kenaikan suhu atau penurunan konsentrasi garam. Tidak hanya dua kumpulan basa dijauhkan, tetapi basa-basa itu sendiri tidak tertumpuk sementara masih tetap dihubungkan dalam polimer oleh tulang punggung fosfodiester. Bersamaan dengan denaturasi molekul DNA ini adalah kenaikan daya serap optik basa purin dan pirimidin, peristiwa ini disebut tuperkromisitas dari denaturasi. Karena penumpukan molekul berutas rangkap DNA menunjukkan sifat suatu serabut dan dalam larutan merupakan suatu zat kental yang kehilangan viskositasnya pada denaturasi (Kimball, 1996).
II. TUJUAN
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA.
2. Membedakan konformasi DNA dan ukurannya.
III. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
a. Alat :
• Tangki elektroforesis * White tip
• UV transluminator * cetakan + sisiran agarose
• Eppendorf * Parafilm
• Mikropipet (0,5µ-10µ) * Sarung tangan
b. Bahan :
• Aquades * Loading sample
• TAE * Ethidium bromida
*0,8% gel agarosa
B. CARA KERJA
1. Diencerkan buffer 10 X TAE menjadi buffer 1X TAE
2. Dilarutkan agarosa dalam buffer 1 X TAE ( 0,8 gr agarosa dalam 100 ml TAE) kemudian dipanaskan dengan micromave oven atau pemanas lainnya, dan pastikan semua agarosa larut .
3. Ditambahkan ethidium bromide pada larutan agarosa, dengan konsentrasi 0,5µg/ml.
4. Cetak gel agarosa dengan menggunakan cetakan khusus yang telah dipasangi sisir (comb) untuk membuat sumuran (well), kemudian biarkan terjadi polimerisasi (gel memadat).
5. Setelah gel memadat, masukkan gel ke dalam tanki elektroforesis, kemudian tuangkan buffer 1X TAE hingga gel terendam, lalu lepaskan sisir.
6. Masukkan 8µl sampel DNA yang telah dicampur loading buffer ke dalam sumuran gel.
7. Hubungkan tanki elektroforesis dengan sumber tegangan DC (awas jangan sampai terbalik dalam memasang kutub +/-)
8. Dibiarkan hingga DNA bermigrasi. Setelah jarak migrasi dianggap cukup. Matikan sumber tegangan dan selanjutnya amati pola migrasi DNA dengan menggunakan UV transiluminator dan tentukan / hitung jarak migrasi.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap DNA dengan menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet dapat digunakan untuk melihat suatu molekul DNA, menentukan ukuran dan kondisi struktur molekulnya. Dari hasil pengamatan didapat dimana letak DNA sejajar ini berarti berat molekul pada DNA sama, semakin kecil berat molekul DNA migrasi paling cepat . Dari gambar garis yang menandakan DNA, garis yang tebal menandakan jumlah DNA lebih banyak, dimana semakin banyak warna orange makin pekat.
Suatu laju migrasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran pori gel agarosa dan panjang DNA, konformasi DNA, dan voltase yang digunakan. Ukuran pori gel agarosa akan mempengaruhi konsentrasi gel agarosa, bila konsentrasinya semakin tinggi, maka ukuran porinya akan semakin kecil sehingga mengakibatkan pori dari gel agarosa akan semakin sulit untuk dilewati karena ukurannya yang semakin sempit dan kecil. Dengan adanya perbedaan konsentrasi gel agarosa tersebut akan menyebabkan perbedaan ukuran pori gel agarosa yang berarti bahwa akan timbul suatu perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA. Perbedaan ukuran jalan migrasi bagi DNA tersebut nantinya akan mempengaruhi lambat atau cepatnya DNA dalam bermigrasi. Semakin kecil konsentrasi, maka DNA akan melaju lebih cepat daripada DNA pada gel agarosa yang konsentrasinya lebih besar.
Selain itu, konformasi DNA juga mempengaruhi pola migrasi molekul DNA pada gel agarosa. Umumnya, pola migrasinya adalah supercoil > linear > open circular. DNA yang terbentuk supercoil akan lebih mudah untuk melaju cepat daripada dua bentuk lainnya. Hal ini dikarenakan DNA supercoil memiliki bentuk yang berpilin. Bentuk inilah yang memudahkan suatu DNA melaju lebih jauh. Sedangkan DNA dengan bentuk linear lebih lambat dibanding supercoil tetap lebih cepat bila dibandingkan dengan DNA yang circular, ini disebabkan bentuk linier ini sangat mudah menyesuaikan diri dengan jalan yang dilewatinya. Ini tentu berbeda dengan bentuk DNA open circular yang harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memasuki / menyesuaikan dengan bentuk sumurannya.
Voltase mempengaruhi laju migrasi DNA. Semakin besar voltase yang digunakan, maka akan semakin cepat DNA yang melaju, dan semakin lama pula penggunaanya semakin cepat pula laju DNA-nya.
Jarak migrasi yang berbeda, selain dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor-faktor migrasi diatas, dapat pula dipengaruhi oleh ukuran plasmid yang digunakan. Ukuran dari plasmid yang belum dipotong lebih besar daripada plasmid yang telah dipotong. Hal ini menyebabkan plasmid DNA yang telah terpotong akan melaju lebih cepat daripada plasmid yang belum terpotong. Cepat dan lambatnya laju migrasi inilah yang akan membuat jarak migrasi yang sangat berbeda-beda.
V. KESIMPULAN
1. Untuk melihat suatu molekul DNA menggunakan metode elektroforesis dan pengecatan dengan ethidium bromide dari cahaya ultraviolet.
2. Faktor yang mempengaruhi laju migrasi DNA adalah ukuran pori gel agarosa, konformasi DNA, panjang DNA, dan voltase yang digunakan.
3. Ukuran dan konformasi DNA menunjukkan ekspresivitas yang berbeda- beda.
4. pola migrasi molekul DNA pada gel azarosa adalah supercoil > linear > open circular
VI. DAFTAR PUSTAKA
Handayanto, R. 2000. Biologi. Erlangga : Jakarta.
Kimball, A.W. 1996. Biology. Erlangga : Jakarta.
Montgomery, R. Dryer, R.L, Conway, T.W dan Spektor, A.A. 1983.
Biochemistry. Mosby Company. St Louis.
Nur, M.A dan Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. IPB,
Bogor.
Suryo. 1998. Genetika. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Yogyakarta, 30 September 2007
Asisten Praktikan
Ajeng Dara Pramita Rr.Wulan Setyadewi
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA ACARA IV
LAPORAN PRAKTIKUM
BIOKIMIA
ACARA IV
PENGUJIAN AKTIVASI ENZIM
Disusun oleh :
Nama : Rr.Wulan Setyadewi
Nim : 06/194952/PN/10699
Gol : A2
Hari/tgl : Selasa / 23 Oktober 2007
Asisten : Jessica devianti
LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
PENGUJIAN AKTIVITAS ENZIM
I. DASAR TEORI
Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim memiliki tenaga katalitik yang luar biasa (Lehninger, 1982). Kerja enzim sebagaimana halnya dengan katalisator dalam kimia anorganik ialah mempercepat suatu reaksi dengan tiada turut mengalami perubahan sendiri (Dwijoseputro, 1992).
Pengaruh suhu terhadap enzim. Karena struktur protein menentukan aktivitas enzim, maka jika struktur ini terganggu aktivitas akan berubah. Proses denaturasi protein juga berlaku untuk protein-protein enzim dan bahan yang mendenaturasi adalah sama. Misalnya enzim sering memperlihatkan kerapuhan akibat suhu. Jika dipanaskan sehingga kurang lebih di atas 500C. Kebanyakan, tetapi tidak semua enzim akan terdenaturasi. Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversible karena gaya-gaya ikatan lemah yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal komponen atau atom-atomnya, suatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi. Pada kondisi yang tidak menyebabkan denaturasi, kebanyakan enzim menunjukkan adanya suhu optimum dengan keadaan lainnya sama untuk mencapai aktivitas optimal (Montgomery et al.,1983).
Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan pH optimum enzim tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya dengan pH yang mungkin sedikit berada di atas atau dibawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim di dalam sel mengkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan (Fessenden dan Fessenden, 1989).
Jumlah enzim di dalam larutan atau ekstrak jaringan tertentu dapat diuji secara kuantitatif dalam hal pengaruh katalitik yang dihasilkannya. Untuk tujuan ini, kita perlu mengetahui persamaan keseluruhan reaksi yang dikatalisasi; suatu prosedur analitik untuk menentukan menghilangnya substrat atau munculnya produk reaksi;apakah enzim memerlukan kofaktor seperti ion logam atau koenzim; ketergantungan aktivitas enzim kepada konsentrasi substrat, yaitu Km bagi substrat, pH optimum, dan daerah suhu yang membiarkan enzim dalam keadaan stabil dan memiliki aktivitas tinggi. Biasanya enzim diuji pada pH optimum, dan daerah suhu yang membiarkan enzim dalam keadaan stabil dan memiliki aktivitas tinggi. Biasanya enzim diuji pada pH optimum pada suhu yang mudah dipergunakan, biasanya dalam kisaran 25-380C, dan dengan konsentrasi substrat yang mendekati jenuh. Pada keadaan ini kecepatan reaksi awal biasanya sebanding dengan konsentrasi enzim, sedikitnya pada kisaran konsentrasi enzim tertentu (Lehninger, 1982).
Diduga suatu enzim meyesuaikan diri disekitar substrat (molekul yang akan dikerjakan) untuk membentuk suatu kompleks enzim substrat. Ikatan-ikatan substrat dapat menjadi tegang oleh gaya tarik antara substrat dam enzime. Ikatan tegang memiliki energi tinggi dan lebih mudah terpatahkan, oleh karena itu ,reaksi yang diinginkan berlangsung lebih mudah dan menghasilkan suatu kompleks enzime-produk (Fessenden dan Fessenden, 1989).
Amilase adalah enzim hidrolitik yang menghidrolisis polimer glukose yang mengandung ikatan α(14). Amilum dan glikogen adalah polimer khas semacam ini. Polimer glukose yang mengandung ikatan β(14) glikosidik seperti sellulose adalah bukan substrat amilase tidak memenuhi persyaratan stereospesifik dari amilase. Produk pencernaan amilase dari dan glikogen bervariasi menurut sifat ekstrak substrat namun pembentukan beberapa gula pereduksi merupakan kegiatan khas amilase. Amilase ludah mengandung ikatan β(14) glikosidik (Soedarmo, 1989).
II. TUJUAN
1. Mengetahui kecepatan reaksi enzim nitrat reduktase pada tanaman budidaya dan tanaman non budidaya
2. Mengetahui titik akromatik enzim amilase dari kecambah jagung dan kecambah kacang hijau.
3. Mengetahui pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas enzim.
III. METODOLOGI
1. Alat:
a. tabung reaksi
b. gelas ukur
c. penangas air
d. pipet tetes
e. waterbath
f. lumpang porselin
g. cutter
h. kertas saring
i. kompor kaki tiga
j. vorteks
k. test plate
l. pipet ukur
m. beker glass
n. botol film
2. Bahan:
a. daun kacang tanah
b. daun cabai
c. daun bambu
d. 5 m NaNO3
e. 0,5 m NaNO3
f. 0,1m buffer fosfat
g. 0,1 m buffer pH 6,7
h. 0,5 % pati
i. 1N HCl
j. 1% NaCl
k. 0,1N tar iodine
l. Air ludah
m. α- naphtylamin
n. lar asam sulfanilat
o. aliquat
p. aquadest
q. kecambah kacang ijo
r. kecambah jagung
3. Cara Kerja
a. Aktivitas nitrat reduktor
b. Uji aktivitas amilase
larutan Tab uji K1 K2
0,5%pati
0,1 buffer
1% NaCl 5
2
1 5
2
1 5
2
1
Tab uji +1ml fil B
K1 +1ml fil A
K2 + 1mi aquadest
c. Uji temperatur trhadap aktivitas amilase
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
a. Aktivitas Nitrat Reduktase
Sampel Intensitas Warna Pink
Daun cabe ++
Daun kacang hijau +++
Daun bambu +
Ket = +++ = mengandung nitrit (NO2-)
Semakin pink = kandungan nitrit semakin tinggi
+ = kandungan nitrit rendah
b. Penentuan titik Akhromik
Pengamatan Tbg Uji (Kacang) Tbg Uji (Jagung) Kontrol I Kacang Kontrol I Jagung Kontrol II Kacang Kontrol II Jagung
1 + + +++ +++ ++ ++
2 +++ +++ ++ +++ + +
3 +++ + +++ ++ ++ -
4 + ++ + ++ + +
5 + + + + + -
6 ++ ++ + + + +
Ket = +++ warna biru masih tampak jelas, endapan banyak
++ warna biru agak jelas, endapan sedang
+ warna biru kurang jelas, endapan sedikit (hampir hilang)
- tidak ada warna biru dan endapan tidak tampak
Titik Akhromik diperoleh setelah 12 X Ulangan tiap 5 menit
Diperoleh titik akhromik = 12 X 5 menit
= 60 menit
c. Pengaruh temperatur terhadap Aktivitas Amilase
Bahan Suhu Kamar 500C 1000C HCl
Jagung Kuning
+++ Kuning pucat ++ Ungu tua
- Kuning pucat
+
Kacang hijau Kuning +++ Kuning ++ Kuning kecoklatan - Kuning +
Air Liur Kuning +++ Kuning ++ Kuning kecoklatan - Kuning +
Ket = + rendah ++ agak tinggi +++ tinggi
PEMBAHASAN
1. Pengujian Aktivitas Nitrat Reduktase
Pengujian Aktivitas Nitrat Reduktase dilakukan untuk mengetahui aktivitas enzim Nitrat reduktase dalam mereduksi NO3- menjadi NO2- pada sampel : daun cabe, daun kacang hijau, daun bambu. Pada pengujian ini dipakai larutan buffer fosfat (pH 7,5) untuk membersihkan daun dari kotoran yang menempel pada daun atau mensterilkannya. Selain itu dipakai juga NaNO3 5 M sebagai penyedia ion nitrat yang nantinya akan diubah menjadi ion nitrit (NO2-).
Reaksinya dapat ditulis :
Reaksi bersifat positif jika terbentuk warna pink atau merah muda pada akhir reaksi. Pada hasil pengamatan daun cabai menunjukkan warna pink yang lebih jelas, hal ini menunjukkan aktivitas nitrat reduktase pada cabai sangat tinggi. Aktivitas nitrat reduktase dipengaruhi oleh kandungan nitrat dalam tanaman yang mungkin berasal dari pemupukan atau proses fotosintesis. Sehingga jika diperhatikan daun cabai bereaksi positif mungkin karena sering dipupuk sehingga kandungan nitratnya lebih tinggi dibanding kacang hijau dan bambu. Karena tanaman bambu biasanya hanya dibiarkan saja tanpa pemupukan, tetapi tetap masih dapat hidup. Begitu pula dengan kacang hijau yang hanya dipupuk namun tidak seefektif tanaman cabai.
2. Penentuan titik akhromik
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kerja enzim amilase. Enzim amilase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis polisakarida pati menjadi disakarida maltosa yaitu dengan memotong ikatan 1,4 glikosidik pada unit D-glukosa. Sebelum melakukan penentuan titik akhromik lebih dahulu dibuat filtrat yang berasal dari 20 kecambah jagung dan kacang hijau yang dihaluskan. Filtrat yang didapat dari hasil saringan tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu filtrat A yang dipanaskan pada air mendidih dan filtrat B yang dipanaskan pada suhu 370C ( Waterbath). Titik akhromatik merupakan suatu titik saat campuran reaksi tidak dapat membentuk warna dengan larutan iodine. Pada hasil pengamatan, hingga pengamatan ke-6 belum tercapai titik akhromatik sehingga sampai 12 X pengamatan baru diperoleh titik akhromatik. Pengamatan yang dilakukan berulang kali ini untuk mencapai titik akhromatik yang belum terlihat pada awal-awal pengamatan hal ini dikarenakan mungkin karena sampel ataupun larutan yang dipakai sudah terkontaminasi atau sudah rusak. Jadi dalam pengujian ini selama 12X 5 menit yaitu 60 menit baru diperoleh titik akhromatik. Dari hasil pengamatan terlihat pada Kontrol II Jagung menunjukkan hasil – maksudnya tidak ada warna biru dan tidak ada endapan lagi, sehingga tercapailah titik akhromatik setelah 12 X ulangan.
3. Pengujian pengaruh pH dan suhu terhadap amilase
Pengujian ini dilakukan untuk menguji ketahanan enzim pada berbagai keadaan yaitu pada suhu kamar, suhu 500C, suhu 1000C dan penambahan HCl. Larutan HCl sebagai asam kuat yang memiliki pH<7. Dari hasil pengamatan tidak ada perubahan antara sampel jagung, kacang hijau, dan air liur pada berbagai keadaan, namun ada perbedaan pada saat perlakuan pada keadaan yang berbeda. Pada suhu 500C aktivitas amilase sangat tinggi karena warna biru berkurang dan terbentuk warna coklat yang lebih terang. Sedangkan pada suhu kamar, enzim bekerja cepat namun warna kurang optimal. Pada penambahan HCl, enzim bekerja cepat namun warna coklat yang terjadi kurang terang. Pada suhu 1000C enzim tidak bekerja karena sifat enzim dapat rusak bila dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi (titik didih). Sehingga dapat disimpulkan enzim amilase dapat bekerja secara optimal pada suhu 500C dan akan rusak pada suhu tinggi (1000C). Begitu pula dengan pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan terdenaturasi. Enzim merupakan protein yang bekerja sesuai dengan keadaan suhu, konsentrasi dan pH. Semakin tinggi atau rendah faktor tersebut enzim akan rusak.
V. KESIMPULAN
1. Pada percobaan nitrat reduktase, menunjukkan bahwa cabai merah memiliki aktivitas enzim nitrat reduktase yang lebih tinggi daripada daun kacang hijau dan daun bambu.
2. Ekstrak kecambah jagung dapat mencapai titik akhromik yang cukup cepat jika dibandingkan dengan ekstrak kecambah kacang hijau. Titik akhromik tidak tercapai jika enzim telah rusak misalnya suhu yang ekstrem atau tidak adanya enzim.
3. Enzim amilase akan bekerja secara optimal pada suhu tidak terlalu tinggi yaitu 500C.
4. Rusaknya enzim dapat diakibatkan oleh suhu yang terlalu ekstrem (tinggi) dan perubahan pH (Enzim dapat bekerja optimal pada suhu kamar dan 500).
VI. DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro, D.Prof. Dr.1992. Pengantar Fisiologi tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S.1989. Kimi Organik. Erlangga. Jakarta.
Lehninger, A.L.1982. Principles of Biochemistry (alih bahasa Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta,
Montgomery, R. R.L Cornay T.W, Spector, A.A. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Soedarmo, D. 1989. Biokimia Umum. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yogyakarta, 23 Oktober 2007
BIOKIMIA
ACARA IV
PENGUJIAN AKTIVASI ENZIM
Disusun oleh :
Nama : Rr.Wulan Setyadewi
Nim : 06/194952/PN/10699
Gol : A2
Hari/tgl : Selasa / 23 Oktober 2007
Asisten : Jessica devianti
LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
PENGUJIAN AKTIVITAS ENZIM
I. DASAR TEORI
Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim memiliki tenaga katalitik yang luar biasa (Lehninger, 1982). Kerja enzim sebagaimana halnya dengan katalisator dalam kimia anorganik ialah mempercepat suatu reaksi dengan tiada turut mengalami perubahan sendiri (Dwijoseputro, 1992).
Pengaruh suhu terhadap enzim. Karena struktur protein menentukan aktivitas enzim, maka jika struktur ini terganggu aktivitas akan berubah. Proses denaturasi protein juga berlaku untuk protein-protein enzim dan bahan yang mendenaturasi adalah sama. Misalnya enzim sering memperlihatkan kerapuhan akibat suhu. Jika dipanaskan sehingga kurang lebih di atas 500C. Kebanyakan, tetapi tidak semua enzim akan terdenaturasi. Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversible karena gaya-gaya ikatan lemah yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal komponen atau atom-atomnya, suatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi. Pada kondisi yang tidak menyebabkan denaturasi, kebanyakan enzim menunjukkan adanya suhu optimum dengan keadaan lainnya sama untuk mencapai aktivitas optimal (Montgomery et al.,1983).
Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan pH optimum enzim tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya dengan pH yang mungkin sedikit berada di atas atau dibawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim di dalam sel mengkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan (Fessenden dan Fessenden, 1989).
Jumlah enzim di dalam larutan atau ekstrak jaringan tertentu dapat diuji secara kuantitatif dalam hal pengaruh katalitik yang dihasilkannya. Untuk tujuan ini, kita perlu mengetahui persamaan keseluruhan reaksi yang dikatalisasi; suatu prosedur analitik untuk menentukan menghilangnya substrat atau munculnya produk reaksi;apakah enzim memerlukan kofaktor seperti ion logam atau koenzim; ketergantungan aktivitas enzim kepada konsentrasi substrat, yaitu Km bagi substrat, pH optimum, dan daerah suhu yang membiarkan enzim dalam keadaan stabil dan memiliki aktivitas tinggi. Biasanya enzim diuji pada pH optimum, dan daerah suhu yang membiarkan enzim dalam keadaan stabil dan memiliki aktivitas tinggi. Biasanya enzim diuji pada pH optimum pada suhu yang mudah dipergunakan, biasanya dalam kisaran 25-380C, dan dengan konsentrasi substrat yang mendekati jenuh. Pada keadaan ini kecepatan reaksi awal biasanya sebanding dengan konsentrasi enzim, sedikitnya pada kisaran konsentrasi enzim tertentu (Lehninger, 1982).
Diduga suatu enzim meyesuaikan diri disekitar substrat (molekul yang akan dikerjakan) untuk membentuk suatu kompleks enzim substrat. Ikatan-ikatan substrat dapat menjadi tegang oleh gaya tarik antara substrat dam enzime. Ikatan tegang memiliki energi tinggi dan lebih mudah terpatahkan, oleh karena itu ,reaksi yang diinginkan berlangsung lebih mudah dan menghasilkan suatu kompleks enzime-produk (Fessenden dan Fessenden, 1989).
Amilase adalah enzim hidrolitik yang menghidrolisis polimer glukose yang mengandung ikatan α(14). Amilum dan glikogen adalah polimer khas semacam ini. Polimer glukose yang mengandung ikatan β(14) glikosidik seperti sellulose adalah bukan substrat amilase tidak memenuhi persyaratan stereospesifik dari amilase. Produk pencernaan amilase dari dan glikogen bervariasi menurut sifat ekstrak substrat namun pembentukan beberapa gula pereduksi merupakan kegiatan khas amilase. Amilase ludah mengandung ikatan β(14) glikosidik (Soedarmo, 1989).
II. TUJUAN
1. Mengetahui kecepatan reaksi enzim nitrat reduktase pada tanaman budidaya dan tanaman non budidaya
2. Mengetahui titik akromatik enzim amilase dari kecambah jagung dan kecambah kacang hijau.
3. Mengetahui pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas enzim.
III. METODOLOGI
1. Alat:
a. tabung reaksi
b. gelas ukur
c. penangas air
d. pipet tetes
e. waterbath
f. lumpang porselin
g. cutter
h. kertas saring
i. kompor kaki tiga
j. vorteks
k. test plate
l. pipet ukur
m. beker glass
n. botol film
2. Bahan:
a. daun kacang tanah
b. daun cabai
c. daun bambu
d. 5 m NaNO3
e. 0,5 m NaNO3
f. 0,1m buffer fosfat
g. 0,1 m buffer pH 6,7
h. 0,5 % pati
i. 1N HCl
j. 1% NaCl
k. 0,1N tar iodine
l. Air ludah
m. α- naphtylamin
n. lar asam sulfanilat
o. aliquat
p. aquadest
q. kecambah kacang ijo
r. kecambah jagung
3. Cara Kerja
a. Aktivitas nitrat reduktor
b. Uji aktivitas amilase
larutan Tab uji K1 K2
0,5%pati
0,1 buffer
1% NaCl 5
2
1 5
2
1 5
2
1
Tab uji +1ml fil B
K1 +1ml fil A
K2 + 1mi aquadest
c. Uji temperatur trhadap aktivitas amilase
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
a. Aktivitas Nitrat Reduktase
Sampel Intensitas Warna Pink
Daun cabe ++
Daun kacang hijau +++
Daun bambu +
Ket = +++ = mengandung nitrit (NO2-)
Semakin pink = kandungan nitrit semakin tinggi
+ = kandungan nitrit rendah
b. Penentuan titik Akhromik
Pengamatan Tbg Uji (Kacang) Tbg Uji (Jagung) Kontrol I Kacang Kontrol I Jagung Kontrol II Kacang Kontrol II Jagung
1 + + +++ +++ ++ ++
2 +++ +++ ++ +++ + +
3 +++ + +++ ++ ++ -
4 + ++ + ++ + +
5 + + + + + -
6 ++ ++ + + + +
Ket = +++ warna biru masih tampak jelas, endapan banyak
++ warna biru agak jelas, endapan sedang
+ warna biru kurang jelas, endapan sedikit (hampir hilang)
- tidak ada warna biru dan endapan tidak tampak
Titik Akhromik diperoleh setelah 12 X Ulangan tiap 5 menit
Diperoleh titik akhromik = 12 X 5 menit
= 60 menit
c. Pengaruh temperatur terhadap Aktivitas Amilase
Bahan Suhu Kamar 500C 1000C HCl
Jagung Kuning
+++ Kuning pucat ++ Ungu tua
- Kuning pucat
+
Kacang hijau Kuning +++ Kuning ++ Kuning kecoklatan - Kuning +
Air Liur Kuning +++ Kuning ++ Kuning kecoklatan - Kuning +
Ket = + rendah ++ agak tinggi +++ tinggi
PEMBAHASAN
1. Pengujian Aktivitas Nitrat Reduktase
Pengujian Aktivitas Nitrat Reduktase dilakukan untuk mengetahui aktivitas enzim Nitrat reduktase dalam mereduksi NO3- menjadi NO2- pada sampel : daun cabe, daun kacang hijau, daun bambu. Pada pengujian ini dipakai larutan buffer fosfat (pH 7,5) untuk membersihkan daun dari kotoran yang menempel pada daun atau mensterilkannya. Selain itu dipakai juga NaNO3 5 M sebagai penyedia ion nitrat yang nantinya akan diubah menjadi ion nitrit (NO2-).
Reaksinya dapat ditulis :
Reaksi bersifat positif jika terbentuk warna pink atau merah muda pada akhir reaksi. Pada hasil pengamatan daun cabai menunjukkan warna pink yang lebih jelas, hal ini menunjukkan aktivitas nitrat reduktase pada cabai sangat tinggi. Aktivitas nitrat reduktase dipengaruhi oleh kandungan nitrat dalam tanaman yang mungkin berasal dari pemupukan atau proses fotosintesis. Sehingga jika diperhatikan daun cabai bereaksi positif mungkin karena sering dipupuk sehingga kandungan nitratnya lebih tinggi dibanding kacang hijau dan bambu. Karena tanaman bambu biasanya hanya dibiarkan saja tanpa pemupukan, tetapi tetap masih dapat hidup. Begitu pula dengan kacang hijau yang hanya dipupuk namun tidak seefektif tanaman cabai.
2. Penentuan titik akhromik
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kerja enzim amilase. Enzim amilase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis polisakarida pati menjadi disakarida maltosa yaitu dengan memotong ikatan 1,4 glikosidik pada unit D-glukosa. Sebelum melakukan penentuan titik akhromik lebih dahulu dibuat filtrat yang berasal dari 20 kecambah jagung dan kacang hijau yang dihaluskan. Filtrat yang didapat dari hasil saringan tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu filtrat A yang dipanaskan pada air mendidih dan filtrat B yang dipanaskan pada suhu 370C ( Waterbath). Titik akhromatik merupakan suatu titik saat campuran reaksi tidak dapat membentuk warna dengan larutan iodine. Pada hasil pengamatan, hingga pengamatan ke-6 belum tercapai titik akhromatik sehingga sampai 12 X pengamatan baru diperoleh titik akhromatik. Pengamatan yang dilakukan berulang kali ini untuk mencapai titik akhromatik yang belum terlihat pada awal-awal pengamatan hal ini dikarenakan mungkin karena sampel ataupun larutan yang dipakai sudah terkontaminasi atau sudah rusak. Jadi dalam pengujian ini selama 12X 5 menit yaitu 60 menit baru diperoleh titik akhromatik. Dari hasil pengamatan terlihat pada Kontrol II Jagung menunjukkan hasil – maksudnya tidak ada warna biru dan tidak ada endapan lagi, sehingga tercapailah titik akhromatik setelah 12 X ulangan.
3. Pengujian pengaruh pH dan suhu terhadap amilase
Pengujian ini dilakukan untuk menguji ketahanan enzim pada berbagai keadaan yaitu pada suhu kamar, suhu 500C, suhu 1000C dan penambahan HCl. Larutan HCl sebagai asam kuat yang memiliki pH<7. Dari hasil pengamatan tidak ada perubahan antara sampel jagung, kacang hijau, dan air liur pada berbagai keadaan, namun ada perbedaan pada saat perlakuan pada keadaan yang berbeda. Pada suhu 500C aktivitas amilase sangat tinggi karena warna biru berkurang dan terbentuk warna coklat yang lebih terang. Sedangkan pada suhu kamar, enzim bekerja cepat namun warna kurang optimal. Pada penambahan HCl, enzim bekerja cepat namun warna coklat yang terjadi kurang terang. Pada suhu 1000C enzim tidak bekerja karena sifat enzim dapat rusak bila dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi (titik didih). Sehingga dapat disimpulkan enzim amilase dapat bekerja secara optimal pada suhu 500C dan akan rusak pada suhu tinggi (1000C). Begitu pula dengan pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan terdenaturasi. Enzim merupakan protein yang bekerja sesuai dengan keadaan suhu, konsentrasi dan pH. Semakin tinggi atau rendah faktor tersebut enzim akan rusak.
V. KESIMPULAN
1. Pada percobaan nitrat reduktase, menunjukkan bahwa cabai merah memiliki aktivitas enzim nitrat reduktase yang lebih tinggi daripada daun kacang hijau dan daun bambu.
2. Ekstrak kecambah jagung dapat mencapai titik akhromik yang cukup cepat jika dibandingkan dengan ekstrak kecambah kacang hijau. Titik akhromik tidak tercapai jika enzim telah rusak misalnya suhu yang ekstrem atau tidak adanya enzim.
3. Enzim amilase akan bekerja secara optimal pada suhu tidak terlalu tinggi yaitu 500C.
4. Rusaknya enzim dapat diakibatkan oleh suhu yang terlalu ekstrem (tinggi) dan perubahan pH (Enzim dapat bekerja optimal pada suhu kamar dan 500).
VI. DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro, D.Prof. Dr.1992. Pengantar Fisiologi tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S.1989. Kimi Organik. Erlangga. Jakarta.
Lehninger, A.L.1982. Principles of Biochemistry (alih bahasa Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta,
Montgomery, R. R.L Cornay T.W, Spector, A.A. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Soedarmo, D. 1989. Biokimia Umum. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yogyakarta, 23 Oktober 2007
LAPORAN PRAKTIKUM KLIMATOLOGI ACARA 3
ACARA 3
ANALISIS DATA METEOROLOGI
I. TUJUAN
1. Melatih mahasiswa untuk mengolah dan menganalisis data meteorologi pertanian serta menyajikannya dalam data siap pakai.
2. Mempelajari hubungan timbal balik antara anasir-anasir iklim.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Agar maksud data analisis data meteorologi lebih bermanfaat, maka dilakukan pengorganisasian dan analisis data dari seluruh jaringan pengamat cuaca. Misalnya, analisis data berdasarkan time series (pengamatan jangka panjang), penafsiran terhadap suatu parameter yang sukar dilakukan dengan cara didekati dengan parameter yang mempunyai hubungan dan berdasarkan rumus antara parameter tersebut (Wisnusubroto, 1999).
Dengan berdasarkan kepada metode statistika maka terdapat teknik menganalisis data untuk sebuah persoalan yang menyangkut dua peubah atau lebih yang ada atau diduga ada dalam suatu pertautan tertentu yang disebut teknik analisis regresi dan analisis korelasi. Regresi multipel adalah regresi yang melibatkan sebuah peubah tak bebas dan dua atau lebih peubah bebas. Yang kemudian disusun oleh analisis korelasinya dalam bentuk korelasi multipel. Regresi merupakan bentuk hubungan antara peubah respon (Y) dan peubah prediktor (X). Manfaat dari analisa regresi adalah mengetahui peramalan rata-rata peubah respon berdasarkan peubah prediktor, perkiraan rerata untuk peubah respon untuk setiap perubahan satuan prediktor termasuk selang taksiran rata-rata dan individual untuk peubah respon. Selain itu, jika hubungan antar peubah respon dengan peubah prediktor memang ada maka untuk mengetahui ada atau tidaknya kontribusi peubah prediktor terhadap peubah respon terdapat pada bagian korelasi (r), harga r berkisar pada nilai -1 hingga 1. Koefisien korelasi negatif memiliki hubungan dengan koefisien arah negatif. Sedangkan korelasi positif memiliki hubungan dengan koefisien arah positif. Dan jika korelasi mempunyai nilai nol maka koefisien arah nol atau dapat dikatakan jika antara peubah respon dan peubah prediktor tidak memiliki hubungan. (Sudjana, 1991).
Probabilitas dan prakiraan data curah hujan lebih praktis mendapatkan perhatian, karena hal ini dapat mengubah hasil panen tanaman, permintaan evaporasi dan tipe tanah. Pada faktanya periode dengan kalkulasinya dibutuhkan untuk mengubah nilai kritik dari curah hujan dalam suatu periode. Permasalahan yang ada seperti ketidaktepatan dalam perubahan kalkulasi dengan jangka waktu yang pendek dan curah hujan yang rendah (Jackson, 1984).
Jumlah curah hujan tidak menunjukkan informasi yang dibutuhkan untuk mengukur pengikisan dari badai hujan. Kekuatan yang digunakan di permukaan tanah dengan setiap tetesan air hujan dapat diperlihatkan dengan kekuatan yang meliputi badai hujan. Untuk menghitung nilai ini, informasi yang harus tersedia adalah besar dan lamanya hujan badai, ukuran dan kecepatan pada tiap tetesan hujan dan penyaluran ukuran tiap tetes (Linder,1981).
Cara memprediksi kemungkinan curah hujan yaitu dengan melakukan banyak penyelidikan mengenai distribusi curah hujan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sosrodarsono, 1978):
1. Cara distribusi normal
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan atau menghitung distribusi normal yang didapat dengan merubah variabel distribusi asimetris (X) ke dalam logaritma atau ke dalam akar pangkat n.
2. Cara kurva asimetris
Cara ini adalah cara yang langsung menggunakan kurva asimetris kemungkinan kerapatan. Cara-cara yang digunakan adalah jenis distribusi eksponensial dan distribusi harga ekstrim.
3. Cara yang manggunakan kombinasi cara 1 dan cara 2
Sedangkan Linder (1981), mengungkapkan bahwa dalam daerah musim hujan, hujan harian biasanya jatuh selama satu badai, kemudian hal ini dapat dianggap bahwa curah hujan bulanan dibagi dengan jumlah hujan harian tiap bulan menghasilkan pengukuran yang layak dari rata-rata jumlah hujan yang turun selama satu badai pada bagian bulan tersebut.
III. METODOLOGI
Pada percobaan analisis data meteorologi yang dilaksanakan pada hari Selasa, 14 Maret 2006 dan dilakukan di laboratorium agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Bahan praktikum ini meliputi data bulanan selama satu tahun dari stasiun meteorologi yang terdiri atas data curah hujan (CH), kelembaban nisbi (RH), evaporasi (EV), termometer bola basah (TBB), termometer bola kering (TBK), panjang penyinaran (PP), dan intensitas penyinaran (IP), bahan ini digunakan untuk analisis, penyajian dan interpretasi data. Sedangkan untuk analisis korelasi dan analisis regresi digunakan data temperatur (T), kelembaban nisbi (RH), evaporasi (EV), termometer bola basah (TBB), termometer bola kering (TBK), panjang penyinaran (PP), dan intensitas penyinaran (IP) bulanan selama satu tahun yang diperoleh dari analisis data yang diperoleh.
Dalam menyajikan dan mengintepretasi data meteorologi pertanian memerlukan pembagian kerja yaitu dengan membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok menurut stasiun meteorologi sebagai sumber data. Kemudian masing-masing kelompok saling menukarkan data yang telah diperoleh.
Untuk menghitung banyaknya curah hujan yang pertama kali dilakukan adalah menghitung jumlah curah hujan perdasarian, tinggi curah hujan bulanan, dan curah hujan tahunan. Kemudian dihitung jumlah hari hujan selama setahun., bulan-bulan basah, dan bulan-bulan kering menurut Mohr.
Untuk mengolah data suhu udara (TBB dan TBK) dihitung rata-rata suhu harian, yang mengukurnya digunakan cara dua kali suhu udara pada pukul 07.00 ditambah suhu udara pada pukul 13.00 dan ditambah lagi dengan suhu udara pada pukul 18.00 kemudian data tersebut dibagi empat. Untuk menghitung suhu bulanan dilakukan dengan cara membagi jumlah suhu harian selama satu bulan dengan jumlah hari dalam satu bulan tersebut. Sedangkan untuk menghitung suhu tahunan dilakukan dengan cara membagi jumlah suhu bulanan selama satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun (12 bulan). Atau dapat digunakan rumus Braak yaitu T tahunan = 26,3-0,6h; suhu maksimum = 31,3-0,62h; dan suhu minimum = 22,8-0,53h. Dan yang terakhir dibuat grafik suhu bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung kelembaban relatif udara dapat dilakukan dengan rumus perhitungan suhu harian dan suhu tahunan., dengan dasar selisih TBB dan TBK pada pukul 07.00, 13.00, dan 18.00. kemudian dibuat grafik ayunan RH (kelembaban relatif udara) bulanan selama satu tahun dan yang terakhir diberikan pembahasan mengenai pola ayunan T dan RH bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung panjang penyinaran (PP), intensitas penyinaran (IP), dan evaporasi (EV) mula-mula dihitung rerata panjang penyinaran, intensitas penyinaran dan evaporasi bulanan selama satu tahun. Kemudian dibuat grafik rerata panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan evaporasi bulanan selama satu tahun. Dan yang terakhir adalah pembahasan mengenai pola ayunan panjang penyinaran (PP), intensitas penyinaran (IP), dan evaporasi (EV) selama satu tahun.
Untuk analisis regresi dan analisis korelasi, dilakukan penghitungan nilai regresi dan korelasi dengan bantuan data harian selama setahun diantara dua anasir iklim. Analisis dilakukan dengan menggunakan kalkulator sehingga diperoleh persamaan regresi y = a + bx dan koefisien korelasi (r). Dan yang terakhir dilakukan adalah dibuat grafik persamaan regresi dari hubungan antara anasir iklim tersebut serta dibandingkan dengan keeratan masing-masing hubungan.
IV. HASIL PENGAMATAN
1. Menghitung rata-rata suhu TBB dan TBK digunakan rumus
T = 2 (T 07.00) + (T 13.00) + (T 18.00)
4
Contoh perhitungan rata-rata suhu TBB dan TBK pada bulan Januari
• Rata-rata suhu TBK pada bulan Januari
T = 2(24,38) + 30,26 + 25,88
4
= 104,9
4
= 26.225
• Rata-rata suhu TBB pada bulan Januari
T = 2(23,48) + 26,87 + 24,42
4
= 98,25
4
= 24,56
Bulan Suhu (TBK) (°C) Suhu (TBB) (°C)
Pk.07 Pk.13 Pk.18 Rata-rata Pk.07 Pk.13 Pk18 Rata-rata
JAN 24.38 30.26 25.88 26.23 23.48 26.87 24.42 24.56
FEB 24.06 30.52 25.69 26.08 23.17 27.02 24.37 24.43
MAR 24.33 31.08 26.08 26.45 23.41 27.14 24.82 24.70
APR 24.45 30.79 26.15 26.46 23.59 27.22 24.94 24.84
MEI 24.54 31.64 26.62 26.84 23.25 27.65 25.12 24.82
JUN 23.21 30.93 26.05 25.85 22.22 26.96 24.43 23.96
JUL 22.6 30.91 26.8 25.73 21.66 26.8 24.84 23.74
AGUST 26.61 31.03 26.21 27.62 21.75 26.75 224.38 23.66
SEPT 24.91 31.56 27.04 27.11 23.75 27.33 25.15 24.9
OKT 25.02 30.99 26.32 26.84 23.85 27.19 24.86 24.94
NOP 24.9 30.19 25.80 26.45 23.82 27.01 24.61 24.82
DES 25.31 30.85 30.89 28.09 23.97 27.28 24.98 25.05
2. Menghitung kelembaban atas dasar selisih TBK- TBB dengan rumus interpolasi
X1- X2 = Y1-Y2
X1 –X Y1 –Y
• Contoh perhitungan RH pukul 07.00 pada bulan Januari
X = TBK –TBB
= 24,38 – 23,48
=0,9
• Interpolasi : X1- X2 = Y1-Y2
X1 –X Y1 –Y
1,0 – 0,8 = 92 - 90
1,0 -0,9 92 –Y
92 – Y = 2
2
= 91 %
Bulan KELEMBABAN (%)
Pk 07.00 Pk 13.00 Pk 18.00 Rata-rata
Januari 91 72.95 85.6 85.14
Februari 90.9 71.5 88.2 85.38
Maret 84 65.7 87.6 80.33
April 90.6 71.85 87.1 85.22
Mei 87.9 68.95 86 82.89
Juni 91 68.85 84.1 83.92
Juli 86 67.1 83.6 80.68
Agustus 58.6 65.4 82.3 66.23
September 87 65.3 82.9 80.55
Oktober 89.7 68 85.6 83.25
November 88.94 74.9 89.95 85.68
Desember 85.4 71.85 55.55 74.55
Contoh perhitungan RH rata-rata untuk bulan Januari
• T = 2 (T 07.00) + (T 13.00) + (T 18.00)
4
= 2 (91 %) + (72,95 %) + (85,67 %)
4
= 340,55
4
= 85,1375
Tabel Data Klimatologi Bulanan pada Stasiun UGM Bulak Sumur Tahun 2000
Bulan T (°C) RH (%) PP (%) EV (mm) CH (mm) KA (km/jam)
Januari 26.23 85.14 28.6 68.8 315.7 1.6
Februari 26.08 85.38 23.3 57.8 406.3 1.8
Maret 26.46 80.33 27.7 73.9 183.9 2.9
April 26.46 85.22 35.6 63.4 236.0 1.7
Mei 26.46 82.89 43.2 103.4 54.0 2.1
Juni 25.85 83.92 37.4 85.5 68.8 1.8
Juli 25.73 80.68 51.8 109.4 2.0 2.5
Agustus 27.62 66.23 58.3 121.0 47.0 2.6
September 27.1 80.55 46.9 126.1 1.3 3
Oktober 26.84 83.25 28.4 78.8 137.7 2.3
November 26.45 85.68 12.9 61.2 259.0 1.9
Desember 28.09 74.55 44 111.3 229.6 2.4
3. Mencari persamaan regresi dengan menggunakan kalkulator
Rumus umum regresi fungsi linear sederhana adalah :
Y = a + bx
X = peubah bebas a = intercept
Y = peubah tak bebas b = gradien garis regresi
Variabel a b r Persamaan regresi
PP vs T 26.05 0.021 0.388 y = 26.05 + 0.02x
PP vs RH 92.59 -0.283 -0.317 y = 92.59 - 0.283x
PP vs EV 26.99 1.6814 0.887 y = 26.99 + 1.6814x
T vs EV -424.96 19.226 0.549 y = -424 + 19.226x
T vs RH 224.758 -5.354 -0.725 y = 224.758 – 5.354x
RH vs EV 363.318 -3.351 -0.702 y = 363.318 – 3.351x
RH vs CH -619.795 9.525 0.375 y = -619.795 + 9.525x
KA vs EV -20.734 50.95 0.875 y = -20.734 + 50.95x
KA vs RH 96.874 -6.919 -0.568 y = 96.784 – 6.919x
KA vs CH 622.88 -215.3 -0.695 y = 622.88 – 215.3
4. Menentukan koefisien regresi korelasi r yang mendekati R ≈ +1, R ≈ 0, R ≈ -1
Dari tabel di atas dapat ditentukan nilai r beserta persamaan regresinya
• R ≈ +1 adalah variabel PP vs T dengan persamaan regresi
y = 26,05 + 0,02x
• R ≈ 0 adalah variabel RH vs CH dengan persamaan regresi
y = -619,79 + 9,5248x
• R ≈ -1 adalah variabel T vs RH dengan persamaan regresi
y = 224,76 - 5,354x
V. PEMBAHASAN
a. Suhu Udara
Adanya kenaikan dan penurunan suhu disebabkan adanya pengaruh radiasi matahari, sehingga energi dari panas bumi dapat dikembalikan lagi ke atmosfer sebagai gelombang pendek. Terjadinya perubahan suhu dari bulan ke bulan selama satu tahun juga dapat disebabkan oleh pengaruh intensitas penyinaran radiasi matahari atau terjadinya insolation (incoming solar radiation). semakin tinggi intensitas matahari yang diikuti oleh curah hujan yang cukup tinggi akan menyebabkan suhu menjadi semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Radiasi tinggi berarti suhu akan semakin tinggi, hal ini mengingat besarnya sinar matahari yang sampai ke bumi mengakibatkan meningkatnya panas bumi. Pada grafik suhu vs bulan dapat dilihat fluktuasi temperatur bulanannya cukup kecil (pada daerah sekitar khatulistiwa fluktuasi cukup kecil). Namun pada bulan Juli ke Agustus serta November menuju Desember terjadi kenaikan suhu yang cukup tinggi di bandingkan bulan-bulan lainnya.
b. Kelembaban Udara
Pada grafik dapat dilihat bila kelembaban pada bulan Januari hingga bulan Juli Relatif tetap dan bila terjadi penurunan sangat kecil. Hal ini terjadi karena banyaknya uap air yang terkandung dalam udara di suatu daerah relatif tetap. Namun pada bulan Juli hingga bulan Agustus terjadi penurunan walaupun hanya berkisar 10 %. Dan pada bulan Agustus hingga bulan september terjadi kenaikan yang relatif rendah. Kenaikan dan penurunan kelembaban udara di Indonesia relatif rendah karena Indonesia merupakan daerah di khatulistiwa yang memiliki iklim tropis basah. Sehingga terdapat pemanasan yang hampir sama di setiap bulannya dan selalu menerima hujan di setiap tahun.
c. Panjang Penyinaran.
Dari grafik di atas dapat dilihat bila panjang penyinaran tertinggi terjadi pada bulan Agustus, sedangkan panjang penyinaran terkecil terjadi pada bulan November yang kemudian diikuti oleh kenaikan yang cukup tinggi di bulan Desember. Panjang penyinaran yang lama mempengaruhi kelembaban udara. Panjang penyinaran disebabkan oleh keadaan musim yang berubah (pancaroba) dari musim panas ke musim hujan dan dipengaruhi oleh letak lintang. Selain itu panjang penyinaran juga dapat disebabkan oleh intensitas radiasi matahari. intensitas sinar matahari yang tinggi akan menyebabkan tingginya panjang penyinaran.
d. Evaporasi
Pada grafik di atas memberi gambaran dari hasil pengamatan bahwa tingkat evaporasi pada bulan Januari hingga Desember selalu bervariasi. Titik terendah tingkat evaporasi terjadi pada bulan Februari, sedangkan evaporasi tertinggi terjadi pada bulan September. Tingkat evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain curah hujan, kecepatan angin, temperatur, kelembaban relatif, jumlah vegetasi pada daerah tersebut dan lain-lain. Misalnya, jika curah hujan tinggi maka kelembaban relatif juga akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan menurunnya evaporasi.
e. Curah Hujan
Berdasarkan grafik di atas, curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Februari, sedangkan curah hujan yang terendah terjadi pada bulan September. Pada grafik curah hujan menunjukkan kondisi curah hujan yang tidak teratur dari bulan ke bulan selama satu tahun. Di Indonesia sendiri hanya terdapat dua musim yaitu, musim hujan dan musiam kemarau hal ini tentu saja mempengaruhi banyak curah hujan. Musim hujan terjadi antara bulan November hingga bulan Februari, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga bulan Oktober yang menyebabkan curah hujan relatif sangat rendah. Musim hujan tertinggi berpeluang untuk terjadi pada bulan Februari, sedangkan peluang untuk musim hujan terkecil adalah bulan September. Ketinggian curah hujan perbulan bergantung pada nilai curah hujannya.
f. Kecepatan Angin
Kecepatan angin yang terendah terjadi pada bulan Januari, sedangkan kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan September. Pada grafik terlihat bahwa kecepatan angin terlihat berfluktuasi setiap bulannya. Perbedaan kecepatan angin diakibatkan oleh pengaruh rotasi bumi terhadap matahari. Dimana rotasi bumi akan menyebabkan terjadinya pergantian siang dan malam. Perubahan pasang surut air laut. Semakin cepat arah angin yang bergerak menuju utara atau arah selatan khatulistiwa akan sangat mempengaruhi kecepatan angin di setiap bulan pada daerah pengamatan.
Analisis korelasi dan regresi
a. Grafik r ≈ +1
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = 25,863+0,0213x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ +1, yang berarti hubungan positif sempurna, kenaikan peubah bebas (x) diikuti oleh kenaikan tak bebasnya (y). Hal ini dapat dilihat dari data hasil perhitungan dan grafik ayunannya, setiap kenaikan suhu (T) maka akan diikuti kenaikan panjang penyinaran (PP) pula. Dari grafik data tersebut diketahui bahwa daerah panjang penyinarannya lama akan menyebabkan radiasi matahari yang sampai ke bumi akan lebih tinggi sehingga kondisi udara dan suhu bumi relatif panas.
b. Grafik r ≈ -1
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = 224,41-5,3433x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ -1, yang artinyamempunyai hubungan negatif sempurna (sangat erat). Kenaikan peubah bebas (x) diikuti oleh penurunan tak bebasnya (y). Koefisien regresi yang dicapai oleh variabel RH vs T mempunyai peubah bebas yaitu kelembaban dan peubah tak bebas T (°C). Pada umumnya dari data pengamatan terlihat bahwa setiap nilai T (°C) akan turun. Contohnya pada bulan Agustus sampai November, pada bulan tersebut jika kelembaban naik maka nilai suhu udara akan turun, menyebabkan udara menjadi lembab sehingga kelembabannya naik (intensitas penyinaran matahari berkurang).
c. Grafik r ≈ 0
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = -619,79 + 9,5248x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ 0. Antara variabel RH vs CH hampir tidak memiliki hubungan sama sekali dari setiap titik-titiknya. Jika dilihat grafik tersebut, masing-masing ayunan saling tidak menentu antara turun dan naiknya sehingga tidak memengaruhi kualitas dan kuantitas kelembaban.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Anasir-anasir iklim yang dramatis tersebut saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu sama lainnya.
2. Untuk mengetahui hubungan antar anasir-anasir iklim yang diamati dapat digunakan nilai regresi yang mendekati +1, 0, -1.
3. Analisis data meteorologi sangat baik digunakan intuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan anasir-anasir iklim secara timbal balik.
4. Dari bidang meteorologi, parameter yang biasanya diukur dan diolah datanya adalah suhu udara, kelembaban udara, panjang penyinaran, evaporasi, curah hujan, dan kecepatan angin.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, I.J. 1984. Climate, Water, and Agriculture inTropical. John Willey and Sons. New York.
Linder, Van der. 1981. An Input-Output Analysis with Respect to Water and It’s Load for a Tropical Watershed. The Indonesia Journal of Geography, 11 (42). halaman : 19-39.
Sosrodarsono, Surjono. 1978. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita. Bandung.
Sudjana. 1991. Teknis Analisis Regresi dan Korelasi. Tarsito. Bandung. 40p.
Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya. Yogyakarta.
ANALISIS DATA METEOROLOGI
I. TUJUAN
1. Melatih mahasiswa untuk mengolah dan menganalisis data meteorologi pertanian serta menyajikannya dalam data siap pakai.
2. Mempelajari hubungan timbal balik antara anasir-anasir iklim.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Agar maksud data analisis data meteorologi lebih bermanfaat, maka dilakukan pengorganisasian dan analisis data dari seluruh jaringan pengamat cuaca. Misalnya, analisis data berdasarkan time series (pengamatan jangka panjang), penafsiran terhadap suatu parameter yang sukar dilakukan dengan cara didekati dengan parameter yang mempunyai hubungan dan berdasarkan rumus antara parameter tersebut (Wisnusubroto, 1999).
Dengan berdasarkan kepada metode statistika maka terdapat teknik menganalisis data untuk sebuah persoalan yang menyangkut dua peubah atau lebih yang ada atau diduga ada dalam suatu pertautan tertentu yang disebut teknik analisis regresi dan analisis korelasi. Regresi multipel adalah regresi yang melibatkan sebuah peubah tak bebas dan dua atau lebih peubah bebas. Yang kemudian disusun oleh analisis korelasinya dalam bentuk korelasi multipel. Regresi merupakan bentuk hubungan antara peubah respon (Y) dan peubah prediktor (X). Manfaat dari analisa regresi adalah mengetahui peramalan rata-rata peubah respon berdasarkan peubah prediktor, perkiraan rerata untuk peubah respon untuk setiap perubahan satuan prediktor termasuk selang taksiran rata-rata dan individual untuk peubah respon. Selain itu, jika hubungan antar peubah respon dengan peubah prediktor memang ada maka untuk mengetahui ada atau tidaknya kontribusi peubah prediktor terhadap peubah respon terdapat pada bagian korelasi (r), harga r berkisar pada nilai -1 hingga 1. Koefisien korelasi negatif memiliki hubungan dengan koefisien arah negatif. Sedangkan korelasi positif memiliki hubungan dengan koefisien arah positif. Dan jika korelasi mempunyai nilai nol maka koefisien arah nol atau dapat dikatakan jika antara peubah respon dan peubah prediktor tidak memiliki hubungan. (Sudjana, 1991).
Probabilitas dan prakiraan data curah hujan lebih praktis mendapatkan perhatian, karena hal ini dapat mengubah hasil panen tanaman, permintaan evaporasi dan tipe tanah. Pada faktanya periode dengan kalkulasinya dibutuhkan untuk mengubah nilai kritik dari curah hujan dalam suatu periode. Permasalahan yang ada seperti ketidaktepatan dalam perubahan kalkulasi dengan jangka waktu yang pendek dan curah hujan yang rendah (Jackson, 1984).
Jumlah curah hujan tidak menunjukkan informasi yang dibutuhkan untuk mengukur pengikisan dari badai hujan. Kekuatan yang digunakan di permukaan tanah dengan setiap tetesan air hujan dapat diperlihatkan dengan kekuatan yang meliputi badai hujan. Untuk menghitung nilai ini, informasi yang harus tersedia adalah besar dan lamanya hujan badai, ukuran dan kecepatan pada tiap tetesan hujan dan penyaluran ukuran tiap tetes (Linder,1981).
Cara memprediksi kemungkinan curah hujan yaitu dengan melakukan banyak penyelidikan mengenai distribusi curah hujan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sosrodarsono, 1978):
1. Cara distribusi normal
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan atau menghitung distribusi normal yang didapat dengan merubah variabel distribusi asimetris (X) ke dalam logaritma atau ke dalam akar pangkat n.
2. Cara kurva asimetris
Cara ini adalah cara yang langsung menggunakan kurva asimetris kemungkinan kerapatan. Cara-cara yang digunakan adalah jenis distribusi eksponensial dan distribusi harga ekstrim.
3. Cara yang manggunakan kombinasi cara 1 dan cara 2
Sedangkan Linder (1981), mengungkapkan bahwa dalam daerah musim hujan, hujan harian biasanya jatuh selama satu badai, kemudian hal ini dapat dianggap bahwa curah hujan bulanan dibagi dengan jumlah hujan harian tiap bulan menghasilkan pengukuran yang layak dari rata-rata jumlah hujan yang turun selama satu badai pada bagian bulan tersebut.
III. METODOLOGI
Pada percobaan analisis data meteorologi yang dilaksanakan pada hari Selasa, 14 Maret 2006 dan dilakukan di laboratorium agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Bahan praktikum ini meliputi data bulanan selama satu tahun dari stasiun meteorologi yang terdiri atas data curah hujan (CH), kelembaban nisbi (RH), evaporasi (EV), termometer bola basah (TBB), termometer bola kering (TBK), panjang penyinaran (PP), dan intensitas penyinaran (IP), bahan ini digunakan untuk analisis, penyajian dan interpretasi data. Sedangkan untuk analisis korelasi dan analisis regresi digunakan data temperatur (T), kelembaban nisbi (RH), evaporasi (EV), termometer bola basah (TBB), termometer bola kering (TBK), panjang penyinaran (PP), dan intensitas penyinaran (IP) bulanan selama satu tahun yang diperoleh dari analisis data yang diperoleh.
Dalam menyajikan dan mengintepretasi data meteorologi pertanian memerlukan pembagian kerja yaitu dengan membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok menurut stasiun meteorologi sebagai sumber data. Kemudian masing-masing kelompok saling menukarkan data yang telah diperoleh.
Untuk menghitung banyaknya curah hujan yang pertama kali dilakukan adalah menghitung jumlah curah hujan perdasarian, tinggi curah hujan bulanan, dan curah hujan tahunan. Kemudian dihitung jumlah hari hujan selama setahun., bulan-bulan basah, dan bulan-bulan kering menurut Mohr.
Untuk mengolah data suhu udara (TBB dan TBK) dihitung rata-rata suhu harian, yang mengukurnya digunakan cara dua kali suhu udara pada pukul 07.00 ditambah suhu udara pada pukul 13.00 dan ditambah lagi dengan suhu udara pada pukul 18.00 kemudian data tersebut dibagi empat. Untuk menghitung suhu bulanan dilakukan dengan cara membagi jumlah suhu harian selama satu bulan dengan jumlah hari dalam satu bulan tersebut. Sedangkan untuk menghitung suhu tahunan dilakukan dengan cara membagi jumlah suhu bulanan selama satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun (12 bulan). Atau dapat digunakan rumus Braak yaitu T tahunan = 26,3-0,6h; suhu maksimum = 31,3-0,62h; dan suhu minimum = 22,8-0,53h. Dan yang terakhir dibuat grafik suhu bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung kelembaban relatif udara dapat dilakukan dengan rumus perhitungan suhu harian dan suhu tahunan., dengan dasar selisih TBB dan TBK pada pukul 07.00, 13.00, dan 18.00. kemudian dibuat grafik ayunan RH (kelembaban relatif udara) bulanan selama satu tahun dan yang terakhir diberikan pembahasan mengenai pola ayunan T dan RH bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung panjang penyinaran (PP), intensitas penyinaran (IP), dan evaporasi (EV) mula-mula dihitung rerata panjang penyinaran, intensitas penyinaran dan evaporasi bulanan selama satu tahun. Kemudian dibuat grafik rerata panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan evaporasi bulanan selama satu tahun. Dan yang terakhir adalah pembahasan mengenai pola ayunan panjang penyinaran (PP), intensitas penyinaran (IP), dan evaporasi (EV) selama satu tahun.
Untuk analisis regresi dan analisis korelasi, dilakukan penghitungan nilai regresi dan korelasi dengan bantuan data harian selama setahun diantara dua anasir iklim. Analisis dilakukan dengan menggunakan kalkulator sehingga diperoleh persamaan regresi y = a + bx dan koefisien korelasi (r). Dan yang terakhir dilakukan adalah dibuat grafik persamaan regresi dari hubungan antara anasir iklim tersebut serta dibandingkan dengan keeratan masing-masing hubungan.
IV. HASIL PENGAMATAN
1. Menghitung rata-rata suhu TBB dan TBK digunakan rumus
T = 2 (T 07.00) + (T 13.00) + (T 18.00)
4
Contoh perhitungan rata-rata suhu TBB dan TBK pada bulan Januari
• Rata-rata suhu TBK pada bulan Januari
T = 2(24,38) + 30,26 + 25,88
4
= 104,9
4
= 26.225
• Rata-rata suhu TBB pada bulan Januari
T = 2(23,48) + 26,87 + 24,42
4
= 98,25
4
= 24,56
Bulan Suhu (TBK) (°C) Suhu (TBB) (°C)
Pk.07 Pk.13 Pk.18 Rata-rata Pk.07 Pk.13 Pk18 Rata-rata
JAN 24.38 30.26 25.88 26.23 23.48 26.87 24.42 24.56
FEB 24.06 30.52 25.69 26.08 23.17 27.02 24.37 24.43
MAR 24.33 31.08 26.08 26.45 23.41 27.14 24.82 24.70
APR 24.45 30.79 26.15 26.46 23.59 27.22 24.94 24.84
MEI 24.54 31.64 26.62 26.84 23.25 27.65 25.12 24.82
JUN 23.21 30.93 26.05 25.85 22.22 26.96 24.43 23.96
JUL 22.6 30.91 26.8 25.73 21.66 26.8 24.84 23.74
AGUST 26.61 31.03 26.21 27.62 21.75 26.75 224.38 23.66
SEPT 24.91 31.56 27.04 27.11 23.75 27.33 25.15 24.9
OKT 25.02 30.99 26.32 26.84 23.85 27.19 24.86 24.94
NOP 24.9 30.19 25.80 26.45 23.82 27.01 24.61 24.82
DES 25.31 30.85 30.89 28.09 23.97 27.28 24.98 25.05
2. Menghitung kelembaban atas dasar selisih TBK- TBB dengan rumus interpolasi
X1- X2 = Y1-Y2
X1 –X Y1 –Y
• Contoh perhitungan RH pukul 07.00 pada bulan Januari
X = TBK –TBB
= 24,38 – 23,48
=0,9
• Interpolasi : X1- X2 = Y1-Y2
X1 –X Y1 –Y
1,0 – 0,8 = 92 - 90
1,0 -0,9 92 –Y
92 – Y = 2
2
= 91 %
Bulan KELEMBABAN (%)
Pk 07.00 Pk 13.00 Pk 18.00 Rata-rata
Januari 91 72.95 85.6 85.14
Februari 90.9 71.5 88.2 85.38
Maret 84 65.7 87.6 80.33
April 90.6 71.85 87.1 85.22
Mei 87.9 68.95 86 82.89
Juni 91 68.85 84.1 83.92
Juli 86 67.1 83.6 80.68
Agustus 58.6 65.4 82.3 66.23
September 87 65.3 82.9 80.55
Oktober 89.7 68 85.6 83.25
November 88.94 74.9 89.95 85.68
Desember 85.4 71.85 55.55 74.55
Contoh perhitungan RH rata-rata untuk bulan Januari
• T = 2 (T 07.00) + (T 13.00) + (T 18.00)
4
= 2 (91 %) + (72,95 %) + (85,67 %)
4
= 340,55
4
= 85,1375
Tabel Data Klimatologi Bulanan pada Stasiun UGM Bulak Sumur Tahun 2000
Bulan T (°C) RH (%) PP (%) EV (mm) CH (mm) KA (km/jam)
Januari 26.23 85.14 28.6 68.8 315.7 1.6
Februari 26.08 85.38 23.3 57.8 406.3 1.8
Maret 26.46 80.33 27.7 73.9 183.9 2.9
April 26.46 85.22 35.6 63.4 236.0 1.7
Mei 26.46 82.89 43.2 103.4 54.0 2.1
Juni 25.85 83.92 37.4 85.5 68.8 1.8
Juli 25.73 80.68 51.8 109.4 2.0 2.5
Agustus 27.62 66.23 58.3 121.0 47.0 2.6
September 27.1 80.55 46.9 126.1 1.3 3
Oktober 26.84 83.25 28.4 78.8 137.7 2.3
November 26.45 85.68 12.9 61.2 259.0 1.9
Desember 28.09 74.55 44 111.3 229.6 2.4
3. Mencari persamaan regresi dengan menggunakan kalkulator
Rumus umum regresi fungsi linear sederhana adalah :
Y = a + bx
X = peubah bebas a = intercept
Y = peubah tak bebas b = gradien garis regresi
Variabel a b r Persamaan regresi
PP vs T 26.05 0.021 0.388 y = 26.05 + 0.02x
PP vs RH 92.59 -0.283 -0.317 y = 92.59 - 0.283x
PP vs EV 26.99 1.6814 0.887 y = 26.99 + 1.6814x
T vs EV -424.96 19.226 0.549 y = -424 + 19.226x
T vs RH 224.758 -5.354 -0.725 y = 224.758 – 5.354x
RH vs EV 363.318 -3.351 -0.702 y = 363.318 – 3.351x
RH vs CH -619.795 9.525 0.375 y = -619.795 + 9.525x
KA vs EV -20.734 50.95 0.875 y = -20.734 + 50.95x
KA vs RH 96.874 -6.919 -0.568 y = 96.784 – 6.919x
KA vs CH 622.88 -215.3 -0.695 y = 622.88 – 215.3
4. Menentukan koefisien regresi korelasi r yang mendekati R ≈ +1, R ≈ 0, R ≈ -1
Dari tabel di atas dapat ditentukan nilai r beserta persamaan regresinya
• R ≈ +1 adalah variabel PP vs T dengan persamaan regresi
y = 26,05 + 0,02x
• R ≈ 0 adalah variabel RH vs CH dengan persamaan regresi
y = -619,79 + 9,5248x
• R ≈ -1 adalah variabel T vs RH dengan persamaan regresi
y = 224,76 - 5,354x
V. PEMBAHASAN
a. Suhu Udara
Adanya kenaikan dan penurunan suhu disebabkan adanya pengaruh radiasi matahari, sehingga energi dari panas bumi dapat dikembalikan lagi ke atmosfer sebagai gelombang pendek. Terjadinya perubahan suhu dari bulan ke bulan selama satu tahun juga dapat disebabkan oleh pengaruh intensitas penyinaran radiasi matahari atau terjadinya insolation (incoming solar radiation). semakin tinggi intensitas matahari yang diikuti oleh curah hujan yang cukup tinggi akan menyebabkan suhu menjadi semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Radiasi tinggi berarti suhu akan semakin tinggi, hal ini mengingat besarnya sinar matahari yang sampai ke bumi mengakibatkan meningkatnya panas bumi. Pada grafik suhu vs bulan dapat dilihat fluktuasi temperatur bulanannya cukup kecil (pada daerah sekitar khatulistiwa fluktuasi cukup kecil). Namun pada bulan Juli ke Agustus serta November menuju Desember terjadi kenaikan suhu yang cukup tinggi di bandingkan bulan-bulan lainnya.
b. Kelembaban Udara
Pada grafik dapat dilihat bila kelembaban pada bulan Januari hingga bulan Juli Relatif tetap dan bila terjadi penurunan sangat kecil. Hal ini terjadi karena banyaknya uap air yang terkandung dalam udara di suatu daerah relatif tetap. Namun pada bulan Juli hingga bulan Agustus terjadi penurunan walaupun hanya berkisar 10 %. Dan pada bulan Agustus hingga bulan september terjadi kenaikan yang relatif rendah. Kenaikan dan penurunan kelembaban udara di Indonesia relatif rendah karena Indonesia merupakan daerah di khatulistiwa yang memiliki iklim tropis basah. Sehingga terdapat pemanasan yang hampir sama di setiap bulannya dan selalu menerima hujan di setiap tahun.
c. Panjang Penyinaran.
Dari grafik di atas dapat dilihat bila panjang penyinaran tertinggi terjadi pada bulan Agustus, sedangkan panjang penyinaran terkecil terjadi pada bulan November yang kemudian diikuti oleh kenaikan yang cukup tinggi di bulan Desember. Panjang penyinaran yang lama mempengaruhi kelembaban udara. Panjang penyinaran disebabkan oleh keadaan musim yang berubah (pancaroba) dari musim panas ke musim hujan dan dipengaruhi oleh letak lintang. Selain itu panjang penyinaran juga dapat disebabkan oleh intensitas radiasi matahari. intensitas sinar matahari yang tinggi akan menyebabkan tingginya panjang penyinaran.
d. Evaporasi
Pada grafik di atas memberi gambaran dari hasil pengamatan bahwa tingkat evaporasi pada bulan Januari hingga Desember selalu bervariasi. Titik terendah tingkat evaporasi terjadi pada bulan Februari, sedangkan evaporasi tertinggi terjadi pada bulan September. Tingkat evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain curah hujan, kecepatan angin, temperatur, kelembaban relatif, jumlah vegetasi pada daerah tersebut dan lain-lain. Misalnya, jika curah hujan tinggi maka kelembaban relatif juga akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan menurunnya evaporasi.
e. Curah Hujan
Berdasarkan grafik di atas, curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Februari, sedangkan curah hujan yang terendah terjadi pada bulan September. Pada grafik curah hujan menunjukkan kondisi curah hujan yang tidak teratur dari bulan ke bulan selama satu tahun. Di Indonesia sendiri hanya terdapat dua musim yaitu, musim hujan dan musiam kemarau hal ini tentu saja mempengaruhi banyak curah hujan. Musim hujan terjadi antara bulan November hingga bulan Februari, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga bulan Oktober yang menyebabkan curah hujan relatif sangat rendah. Musim hujan tertinggi berpeluang untuk terjadi pada bulan Februari, sedangkan peluang untuk musim hujan terkecil adalah bulan September. Ketinggian curah hujan perbulan bergantung pada nilai curah hujannya.
f. Kecepatan Angin
Kecepatan angin yang terendah terjadi pada bulan Januari, sedangkan kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan September. Pada grafik terlihat bahwa kecepatan angin terlihat berfluktuasi setiap bulannya. Perbedaan kecepatan angin diakibatkan oleh pengaruh rotasi bumi terhadap matahari. Dimana rotasi bumi akan menyebabkan terjadinya pergantian siang dan malam. Perubahan pasang surut air laut. Semakin cepat arah angin yang bergerak menuju utara atau arah selatan khatulistiwa akan sangat mempengaruhi kecepatan angin di setiap bulan pada daerah pengamatan.
Analisis korelasi dan regresi
a. Grafik r ≈ +1
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = 25,863+0,0213x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ +1, yang berarti hubungan positif sempurna, kenaikan peubah bebas (x) diikuti oleh kenaikan tak bebasnya (y). Hal ini dapat dilihat dari data hasil perhitungan dan grafik ayunannya, setiap kenaikan suhu (T) maka akan diikuti kenaikan panjang penyinaran (PP) pula. Dari grafik data tersebut diketahui bahwa daerah panjang penyinarannya lama akan menyebabkan radiasi matahari yang sampai ke bumi akan lebih tinggi sehingga kondisi udara dan suhu bumi relatif panas.
b. Grafik r ≈ -1
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = 224,41-5,3433x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ -1, yang artinyamempunyai hubungan negatif sempurna (sangat erat). Kenaikan peubah bebas (x) diikuti oleh penurunan tak bebasnya (y). Koefisien regresi yang dicapai oleh variabel RH vs T mempunyai peubah bebas yaitu kelembaban dan peubah tak bebas T (°C). Pada umumnya dari data pengamatan terlihat bahwa setiap nilai T (°C) akan turun. Contohnya pada bulan Agustus sampai November, pada bulan tersebut jika kelembaban naik maka nilai suhu udara akan turun, menyebabkan udara menjadi lembab sehingga kelembabannya naik (intensitas penyinaran matahari berkurang).
c. Grafik r ≈ 0
Grafik ini mempunyai persamaan regresi y = -619,79 + 9,5248x dengan koefisien regresi korelasi r ≈ 0. Antara variabel RH vs CH hampir tidak memiliki hubungan sama sekali dari setiap titik-titiknya. Jika dilihat grafik tersebut, masing-masing ayunan saling tidak menentu antara turun dan naiknya sehingga tidak memengaruhi kualitas dan kuantitas kelembaban.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Anasir-anasir iklim yang dramatis tersebut saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu sama lainnya.
2. Untuk mengetahui hubungan antar anasir-anasir iklim yang diamati dapat digunakan nilai regresi yang mendekati +1, 0, -1.
3. Analisis data meteorologi sangat baik digunakan intuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan anasir-anasir iklim secara timbal balik.
4. Dari bidang meteorologi, parameter yang biasanya diukur dan diolah datanya adalah suhu udara, kelembaban udara, panjang penyinaran, evaporasi, curah hujan, dan kecepatan angin.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, I.J. 1984. Climate, Water, and Agriculture inTropical. John Willey and Sons. New York.
Linder, Van der. 1981. An Input-Output Analysis with Respect to Water and It’s Load for a Tropical Watershed. The Indonesia Journal of Geography, 11 (42). halaman : 19-39.
Sosrodarsono, Surjono. 1978. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita. Bandung.
Sudjana. 1991. Teknis Analisis Regresi dan Korelasi. Tarsito. Bandung. 40p.
Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya. Yogyakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM KLIMATOLOGI ACARA 2
ACARA 2
PENGAMATAN CUACA MIKRO
I. TUJUAN
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir cuaca mikro.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro.
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mikro klimatologi ialah ilmu yang mempelajari tentang iklim mikro atau iklim yang terdapat di dalam daerah yang cukup kecil. salah satu peredaran antara mikrometeorologi dan mikroklimatologi ialah mikrometeorologi memerlukan dasar matematika dan dasar fisika yang kompleks sehingga dapat mempelajari proses fisis atmosfer, lagipula mikrometeorologi tidak terbatas pada atmosfer dekat permukaan bumi, tetapi mungkin dapat mempelajari mikrofisika dari awan. Sedangkan mikroklimatologi tidak ditunjukkan kepada ahli meteorologi saja, tetapi juga untuk melayani ahli lain yang berminat untuk mempelajari hubungan antara kehidupan dengan iklim mikro tanpa mempunyai dasar matematika dan fisika yang kokoh. Perbedan antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau, kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa, hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
Berdasarkan faktor pengendali sifat, luasan atau wilayah identifikasi dan dampaknya terhadap kegiatan manusia, studi klimatologi dapat dibedakan atas tiga sifat umumnya yaitu (Bey dan Las, 1991):
1. Iklim global/cuaca sinoptik (global climate/ sinoptic weather) yaitu keadaan fisika dan dinamika atmosfer bagian atas hingga lapisan troposfer antara belahan bumi (kawasan yang sangat luas). Iklim/cuaca ini dikendalikan oleh pusat-pusat tekanan rendah dinamakan massa udara dalam besar dan peredaran arus dari satu samudera ke samudera yang lain.
2. Iklim meso/ makro (scren climate) yaitu keadaan atmosfer lapisan agak dekat permukaan pada suatu lokasi (tapak) dengan luasan tertentu yang bisa dipantau melalui stasiun klimatologi/ meteorologi di lapangan atau dekat permukaan tanah (10m). keadaan fisika atmosfer pada strata ini telah banyak dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan bumi, gejala golak-galik (turbulensi) udara adalah dominan.
3. Iklim mikro (micro climate) menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m). Dalam skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar / di bawah tajuk tanaman dalam kandang terakhir
Iklim menunjukkan keadaan semula jadi yang berakitan dengan atmosfer di setiap kawasan yang berkait rapat dengan cuaca seperti suhu, kelembaban, taburan hujan, arah dan kelajuan angin. Iklim mikro pula menunjukkan kepada kedaan iklim bagi suatu kawasan kecil atau iklim tempatan, misalnya iklim Malaysia adalah salah satu dari keadaan iklim mikro yang menjadi pecahan kepada iklim dunia (Ahmad, 2003).
Iklim mikro memang sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan budidaya tanaman. Salah satu caranya adalah dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat dilaksanakan sampai batas tertentu. Walaupun begitu ada beberapa subtitusi unsur iklim partial yang belum dapat dilalaikan. Hal tersebut mungkin dilaksanakan dengan biaya yang cukup tinggi, tidak adanya unsur pengganti atau karena adanya unsur yang berlebihan. Misalnya radiasi matahari yang terlalu terik, suhu yang terlalu rendah, atau hujan yang terlalu banyak dan merata. Dalam keadaan yang semacam itu yang realistik dan relatif akan lebih mudah adalah modifikasi cuaca atau iklim yang semula tidak sesuai menjadi sesuai dengan tanaman tertentu. Misalnya dengan membuat naungan yang baik, naungan fisik maupun naungan biologis untuk radiasi matahari yang terlalu tinggi, membangun green house untuk suhu yang terlalu rendah atau hujan yang terlalu banyak, meratakan angin dan lain-lain (Wisnubroto, 2000).
Modifikasi iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman hortikultura merupakan suatu usaha yang telah banyak dilakukan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman (Noorhadi dan Sudadi, 2003).
Penyebaran berbagai jenis tumbuhan akan dibatasi oleh kondisi iklim dan tanah serta daya adaptasi dari masing-masing spesies tumbuhan tersebut. Sesungguhnya hubungan antara vegetasi dan iklim merupakan hubungan saling pengaruh. Selain iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, keberadaan vegetasi juga dapat mempengaruhi iklim di sekitarnya. Semakin besar total biomassa vegetasi yang terlibat dan semakin nyata pengaruhnya terhadap iklim wilayah tersebut. Peran vegetasi mirip bentang dan air. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mengandung banyak air dan tumbuhan menyumbang banyak uap air ke atmosfer melalui proses transpirasi (Lakitan, 1994).
Anasir iklim mikro yang mempengaruhi pertumbuhan, antara lain:
1. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Anemometer. Kecepatan angin dapat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Besar kecilnya gradien barometrik.
Gradien Barometrik, yaitu angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara melalui dua garis isobar pada garis lurus, dihitung untuk tiap-tiap 111 km (jarak 111 km di equator 1 ( atau 1/360 x 40.000 km = 111 km). Menurut hukum Stevenson bahwa kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometriknya. Semakin besar gradien barometriknya, semakin besar pula kecepatannya.
b. Relief Permukaan Bumi.
Angin bertiup kencang pada daerah yang reliefnya rata dan tidak ada rintangan. Sebaliknya bila bertiup pada daerah yang reliefnya besar dan rintangannya banyak, maka angin akan berkurang kecepatannya.
c. Ada Tidaknya Tanaman.
Banyaknya pohon-pohonan akan menghambat kecepatan angin dan sebaliknya, bila pohon-pohonannya jarang maka sedikit sekali memberi hambatan pada kecepatan angin
d. Tinggi Tempat dari Permukaan Tanah.
Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi akan mendapatkan hambatan karena bergesekan dengan muka bumi, sedangkan angin yang bertiup jauh di atas permukaan bumi bebas dari hambatan.
2. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Termometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sudut datang sinar matahari, yaitu sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dengan arah datangnya sinar matahari. Makin kecil sudut datang sinar matahari, semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi dibandingkan sudut yang datangnya tegak lurus.
b. Lama waktu penyinaran matahari, makin lama matahari bersinar, semakin banyak panas yang diterima bumi.
c. Keadaan muka bumi (daratan dan lautan), daratan cepat menerima panas dan cepat pula melepaskannya, sedangkan sifat lautan kebalikan dari sifat daratan.
d. Banyak sedikitnya awan, ketebalan awan mempengaruhi panas yang diterima bumi. Makin banyak atau makin tebal awan, semakin sedikit panas yang diterima.
3. Kelembaban Udara.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau hygrometer.
Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi:
1. Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu kelembaban yang menunjukkan berapa gram berat uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (1 m³) udara.
2. Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu bilangan yang menunjukkan berapa persen perbandingan antara jumlah uap air yang terkandung dalam udara dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut.
4. Radiasi Matahari
Matahari adalah sumber energi pada peristiwa yang terjadi dalam atmosfer yang dianggap penting bagi sumber kehidupan. Energi matahari merupakan penyebab utama dari perubahan dan pergerakan dalam atmosfer sehingga dapat dianggap sebagai pengendali iklim dan cuaca yang besar. Dari matahari dipancarkan sinar yang pada umumnya mempunyai gelombang pendek, sedangkan dari bumi dipancarkan sinar dengan gelombang panjang. Bagian radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi disebut insolasi.
III. METODOLOGI
Pada percobaan pengamatan iklim mikro yang dilaksanakan pada hari Selasa 6 Maret 2006 dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa kanopi. Daerah yang berkanopi di dalammya meliputi vegetasi : pohon jati, sengon, bambu, pinus, lamtoro, dan rumput. Sedangkan pada daerah yang tanpa kanopi di dalamnya hanya terdapat vegetasi rumput saja. Pengamatan ini dilakukan di lembah UGM dimulai pukul 14.00.
Alat-alat yang digunakan adalah termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, foot candles untuk mengukur intensitas cahaya, biram enemometer untuk mengukur kecepatan angin, stick termometer untuk mengukur suhu tanah, serta statif untuk menggantung termometer dan termohigrograf yang dipasang pada ketinggian 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukan tanah.
Dua tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca makro kali ini. Kemudian statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan termometer serta termohigrograf pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 6 kali pengamatan.
Stick termometer ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm dari permukan tanah. Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10 menit sekali 10 menit pertama dilakukan pada jeluk 0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 20 cm, setelah sepuluh menit dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Kemudian stick termometer dimasukkan lagi pada jeluk 40 cm, setelah sepuluh menit dicatat hasil pengamatannya pada tebel pengamatan. Pengamatan dengan stick anemometer dilakukan bersamaan dengan alat lainnya sebanyak 3 kali pengamatan.
Pada waktu yang bersamaan biram anemometer disiapakan lima menit sebelum waktu ditentukan. Setelah memasuki waktu yang ditentukan yaitu bersama-sama dengan waktu yang lainnya dimulai, biram anemometer diangkat ke atas agar tidak terhalang dengan penghalang. Setiap lima menit hasil pengamatan dicatat dan lima menit kemudian alat tersebut diistirahatkan. Pengamatan dilakukan hingga menghasilkan enam data.
Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan foot candles. Alat ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca. Begitu seterusnya. Sensor cahaya berada di atas foot candles jika sudah tidak digunakan maka ditutup kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran intensitas cahaya.
VI. HASIL PENGAMATAN
PARAMETER YANG DIAMATI NO TITIK WAKTU PENGAMATAN ARAS/ JELUK PENGAMATAN STRATA
KANOPI TAK BERKANOPI
SUHU UDARA
1.
10 menit 25 cm 28 32
75 cm 29.2 33
150 cm 29.6 30.5
2.
20 menit 25 cm 27 31
75 cm 29 32.5
150 cm 29.3 29.5
3.
30 menit 25 cm 29.27 30
75 cm 28.3 31.5
150 cm 29 29
4.
40 menit 25 cm 27 30.5
75 cm 28.5 30.5
150 cm 29 29
5.
50 menit 25 cm 27 29.5
75 cm 29.2 30.5
150 cm 29 29.5
6.
60 menit 25 cm 26.5 29
75 cm 29 30
150 cm 28.8 29.5
KELEMBABAN NISBI UDARA
1.
10 menit 25 cm 50 65
75 cm 40 48
150 cm 54 32
2.
20 menit 25 cm 41 60
75 cm 51 50
150 cm 56 38
3.
30 menit 25 cm 58 68
75 cm 41 54
150 cm 53 46
4.
40 menit 25 cm 58 70
75 cm 41.5 57
150 cm 53 50
5.
50 menit 25 cm 58 70.5
75 cm 42 58
150 cm 53 52
6.
60 menit 25 cm 58 72
75 cm 42 58
150 cm 54 53
SUHU TANAH
1.
10 menit 0 cm 26 30
20 cm 26 28
40 cm 26 26
2.
20 menit 0 cm 26 28
20 cm 26 26.5
40 cm 25.9 26
3.
30 menit 0 cm 25.5 28
20 cm 26 28
40 cm 25.5 27
4.
40 menit 0 cm 25.5 27
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26
5.
50 menit 0 cm 25.5 26.5
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26
6.
60 menit 0 cm 25 26
20 cm 25.5 27
40 cm 25 26
KECEPATAN ANGIN 1. 5 menit 200 327
2. 10 menit 177 175
3. 15 menit 366 225
4. 20 menit 369 120
5. 25 menit 232 160
6. 30 menit 315 230
INTENSITAS PENYINARAN 1. 10 menit 20 52
2. 20 menit 15 38
3. 30 menit 15 40
V. PEMBAHASAN
1. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm
Dari hasil pengamatan didapat grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm. Jika dilihat grafik berkanopi terlihat di bagian bawah dan grafik daerah berkanopi berada di atas dan terdapat perbedaan rata-rata suhu yang terpaut jauh. Hal ini dipengaruhi oleh suhu tanah sebab jarak antara termometer dengan tanah hanya sedikit. Pada daerah tidak berkanopi intensitas cahaya matahari yang menuju tanah semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu pada tanah, sedangkan daerah yang berkanopi intensitas cahaya terhalang oleh pohon-pohon berkanopi yang menyebabkan suhu tanah di daerah ini lebih rendah. Pada saat pengukuran di daerah berkanopi, keadaan tanah relatif lembek dan tidak terlalu kering (sedikit lembab). Hal ini juga mengakibatkan suhu tanah relatif lebih dingin. Dan pada daerah tidak berkanopi, di dalam tanah terjadi penguapan yang menyebabkan tanah menjadi relatif kering. Hal ini pula yang menyebabkan suhu udara pada aras 25 cm di daerah tidak berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang berkanopi. Jadi yang berperan dalam grafik ini adalah intensitas radiasi matahari dan suhu tanah.
2. Grafik suhu udara vs waktu aras 75 cm
Pada aras 75 cm, pengaruh panas dari tanah relatif lebih sedikit daripada aras 25 cm, terlihat sedikit penurunan suhu pada daerah tidak berkanopi. Pada daerah berkanopi yang terjadi adalah turunnya suhu meskipun penurunannya tidak begitu drastis. Penurunan suhu pada derah berkanopi lebih disebabkan oleh banyaknya intensitas radiasi matahari yang menuju daerah tersebut. Sedangkan yang terjadi pada daerah tidak berkanopi adalah sebaliknya yaitu, terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasimatahari maksimum. Pada daerah berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari angin yang bergerak dari daerah berkanopi.
3. grafik suhu udara vs waktu aras 150 cm
Pada grafik aras 150 cm, terlihat saat menit ke-30 dan menit ke-40 pada kedua grafik (berkanopi dan tidak berkanopi) menunjukkan suhu yang sama, hal ini dapat terlihat dari grafik yang saling berhimpitan. Ini menunjukkan bahwa pada aras 150 cm, pengaruh suhu tanah dapat dikatakan hampir tidak ada dan permukaan udara pada aras ini lebih merata jika dibandingkan dengan aras 25 cm dan aras 75 cm. Ini dikarenakan pada aras 150 cm yang lebih tinggi daripada aras 25 cm dan aras 75 cm, kecepatan angin lebih tinggi. Seperti pada aras 75 cm, grafik di daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi karena pengaruh intensitas radiasi matahari relatif lebih kecil, praktis pengaruh suhu akan lebih ke arah radiasi langsung (daerah tidak berkanopi).
4. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah berkanopi
Dari pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa suhu tertinggi diperoleh pada aras 150 cm. Hal ini dikarenakan oleh adanya faktor altitude dan pengaruh radiasi sinar matahari. Karena di daerah yang berkanopi intensitas penyinaran matahari tidak terlalu banyak sehingga suhu udara relatif rendah dan sedikit lebih stabil. Sedangkan adanya ketidakstabilan suhu pada data yang diperoleh disebabkan karena adanya pengaruh angin. Selain itu pada aras 150 cm grafik terlihat lebih stabil, hal ini dipengaruhi oleh pengaruh permukaan udara yang lebih merata jika dibandingkan pada aras 25 cm dan aras 75 cm.
5. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Dari percobaan pengamatan suhu udara pada strata tidak berkanopi dengan perbedaan tiga aras diperoleh data bahwa dari ketiga ketinggian tersebut suhu udara ketiganya mengalami penurunan pada menit ke-10 hingga menit ke-20. Dari data yang diperoleh pada grafik setelah pengamatan, terlihat bahwa suhu tertinggi terdapat pada aras 75 cm. Hal ini disebabkan oleh radiasi penyinaran, karena pengamatan ini dilakukan pada daerah yang tidak berkanopi sehingga intensitas penyinaran lebih banyak diterima tetapi pada 10 menit pertama suhu cenderung turun karena disaat pengamatan cuaca sedikit berawan sehingga radiasi matahari tidak mencapai titik maksimum. Pada aras 75 cm lebih banyak terkena matahari sehingga suhu lebih tinggi daripada aras 150 cm (pada aras ini terdapat penurunan suhu karena permukaan udara yang merata). Selain itu pada aras 150 cm lebih tinggi yang memungkinkan terlindungi oleh kanopi pepohonan sebaliknya pada aras 25 cm juga terlalu rendah sehingga tidak mendapatkan intensitas radiasi matahari secara maksimum.
6. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 25 cm
Dari grafik dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi pada 10 menit pertama kelembaban nisbinya turun lalu naik kemudian konstan sampai pada akhir pengamatan. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi pada 10 menit pertama mengalami penurunan sedangkan pada menit-menit berikutnya cenderung mengalami kenaikan sampai pada akhir pengamatan. Pada daerah berkanopi memiliki memiliki suhu yang lebih rendah dan stabil dibandingkan pada daerah tidak berkanopi. Menurut teori seharusnya suhu yang lebih rendah memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Namun yang terjadi pada hasil pengamatan adalah daerah yang tidak berkanopi memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Pada daerah yang berkanopi keadaan udara lebih kering (adanya angin) sehingga kelembaban nisbi udara cenderung kecil. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi cuaca sedikit mendung sehingga sinar matahari terhalang oleh awan sehingga menyebabkan udara lebih rendah.
7. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 75 cm
Grafik di atas menunjukkan perbedaan kelembaban nisbi yang mencolok antara daerah berkanopi dengan daerah yang tidak berkanopi. Pada menit ke-20 terlihat lonjakkan kelembaban nisbi udara dari 40% menjadi 50%pada 10 menit pertama. Sama seperti yang tejadi pada pengukuran kelembaban nisbi pada aras 25cm, grafik yang diperoleh tidak sesuai dengan teori. Seharusnya bila pada pengukuran suhu pada aras 75cm diketahui bahwa suhu pada daerah yang berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tanpa kanopi maka seharusnya kelembaban nisbi di daerah berkanopi lebih tinggi daripada daerah tanpa kanopi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Kesalahan yang terjadi kemungkinan juga karena pengukuran kelembaban nisbi pada daerah tanpa kanopi, para praktikan bergerombol menelilingi alat dan mereka menggunakan payung sehingga radiasi sinar matahari tidak langsung mengenai alat maka menyebabkan kesalahan pengukuran.
8. grafik kelembaban nisbi udara aras 150 cm
Kelembaban nisbi pada aras 150 cm antara daerah berkanopi dan tak berkanopi pada awalnya terdapat perbedaan yang besar tetapi setelah itu pada akhir pengamatan terjadi persamaan kelembaban, terlihat pada grafik yang berhimpit. Pada daerah yang tak berkanopi cenderung naik cenderung makin naik, hal ini dikarenakan radiasi matahari pada daerah ini secara langsung dan mengakibatkan suhu cenderung naik. Selain itu dapat dilihat bahwa kelembaban nisbi pada daerah yang berkanopi lebih tinggi dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu. Kelembaban nisbi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan suhu udara. Pada daerah yang berkanopi memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini menyebabkan kelembaban nisbi udara pada daerah yang berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi. Kelembaban nisbi akan naik dengan menurunnya suhu udara.
9. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah berkanopi
Pada grafik di atas terlihat peristiwa yang sangat mencolok terutama pada aras 25 dan aras 75. Garis kuning yang menggambarkan grafik pada aras 150cm, arah grafik cenderung stabil dari menit ke sepuluh sampai ke menit 60 yaitu sekitar 50%. Ini disebabkan karena pada aras ini suhu yang mempengaruhi uap air cederung stabil. Pada grafik terlihat jelas bahwa aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi. Alasannya, jika dihubungkan dengan grafik suhu vs waktu pada daerah berkanopi, pada grafik terlihat bahwa pada aras 25 memiliki rata-rata suhu yang paling rendah sehingga evaporasinya pun paling rendah, dengan begitu akan diperoleh kelembaban nisbi yang paling tinggi.
10. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Pada daerah tak berkanopi, terlihat pada grafik kelembaban nisbi udara terjadi kenaikan dari menit ke menit dari pengamatan pertama hingga terakhir. Hal ini terjadi pada aras 75 cm dan 150 cm. pengaruh radiasi matahari yang cenderung naik menyebabkan suhu dan tekanan udara juga naik, maka akan mempengaruhui kelembaban nisbi udara. Namun pada aras 25 cm terjadi penurunanan kelembaban nisbi udara pada menit ke 20. Hal ini dapat terjadi karena sinar matahari bersinar maksimal. Sedangkan pada menit-menit berikutnya kelembaban nisbi keseluruhan cenderung naik yang disebabkan sinar matahari bersinar tidak maksimal (cuaca sedikit mendung). Kelembaban nisbi yang paling rendah adalah pada aras 150 cm karena pengaruh sinar matahari yang semakin ke atas semakin panas yang menyebabkan kelembaban nisbi cenderung turun (rendah).
11. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 0 cm
Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm perbedaan suhu tertinggi antara daerah berkanopi dan tidak berkanopi sebesar 4°C. Dimana suhu tertinggi pada daerah tidak berkanopi yaitu 30°C. Daerah berkanopi mula-mula memiliki suhu konstan kemudian mengalami penurunan secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak langsung, sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif tinggi dan tidak konstan. Hal ini dikarenakan radiasi matahari diterima secara langsung. Pada daerah berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi. Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah.
12. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 20 cm
Pada grafik suhu tanah jeluk 20 cm, perbedaan suhu tertinggi antara daerah yang berkanopi dengan tidak berkanopi adalah 25° C dan yang terendah adalah sebesar 0.5°C. dimana suhu yang tertinggi terdapat pada daerah yang tidak berkanopi. Di daerah ini mula-mula suhu turun kemudian naik turun kembali dan akhirnya mejadi stabil (selalu berfluktuasi) hingga akhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena cuaca selalu berubah-ubah dari mendung kembali menjadi cerah kemudian menjadi mendung kembali (cuaca tidak menentu). Sementara di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.
13. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 40 cm
Grafik suhu tanah vs waktu pada jeluk 40 cm menunjukkan suhu tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih rendah dan lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah berkanopi adalah 25,5°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah 26°C, keduanya tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Keadaan suhu tanah pada jeluk 40 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah daerah yang berkanopi.
14. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi
Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm menunjukkan pada jeluk 20 cm memiliki suhu tanah rata-rata 25.75°C lebih tinggi daripada jeluk 0 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.5°C dan jeluk 40 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.4°C. grafik tersebut memiliki fluktuasi yang sedikit tidak stabil. Hal ini karena penggunaan stick termometer yang ditancapkan pada tanah yang berbeda untuk mendapatkan kedalamam 20 cm atau 40 cm. Karena adanya perbedaan struktur pembangun tanah (ada yang gembur/ mudah untuk ditancapkan dan ada tanah yang padat) menyebabkan data suhu tanah dengan tempat yang lain berbeda sehingga menyebabkan fluktuasi yang tidak stabil.
15. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah yang tidak berkanopi dapat kita perhatikan bahwa rasio suhu tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm tidak begitu jauh perbedaannya. Rata-rata suhu tanah tertinggi pada jeluk 0 cm yaitu sebesar 27.5°C, diikuti rata-rata suhu tanah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 27°C dan suhu tanah yang terendah pada jeluk 40 cm yaitu sebesar 26°C. Dari data ini dapat kita lihat pula bahwa pada daerah tidak berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0 cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat time lag (selang waktu).
16. Grafik kecepatan angin vs waktu
Pada grafik kecepatan angin pada strata berkanopi dengan strata tidak berkanopi dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi karena pada daerah ini memiliki suhu yang rendah dan memiliki tekanan yang lebih tinggi. dan angin memiliki pergerakan dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Saat di daerah yang berkanopi pergerakan angin terhalang oleh pepohonan dan kecepatannya akan berkurang saat memasuki daerah tidak berkanopi.
17. Grafik intensitas penyinaran vs waktu
Dari grafik intensitas penyinaran pada daerah berkanopi dan daerah tidak berkanopi dapat diamati bahwa intensitas penyinaran pada daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini disebabkan karena daerah tidak berkanopi menerima energi atau cahaya matahari secara langsung (energi lebih besar). Sedangkan pada daerah berkanopi akan menerima cahaya matahari dengan intensitas yang lebih kecil karena adanya penghalang yang berupa kanopi-kanopi pepohonan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas matahari terbesar terdapat pada daerah yang tidak berkanopi.
VI. KESIMPULAN
Dari pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Suhu udara didaerah berkanopi rata-rata lebih rendah dibanding daerah tidak berkanopi selama pengamatan.
2. Suhu udara pada daerah berkanopi, aras 150 cm> 75 cm> 25 cm.
3. Suhu udara pada daerah tidak berkanopi, 25 cm > 75 cm> 150 cm.
4. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi pada waktu pengamatan rata-rata lebih tinggi daripada strata tidak berkanopi.
5. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi, 25 cm>150 cm> 75 cm.
6. Kelembaban nisbi udara pada strata tidak berkanopi, 25 cm> 75 cm> 150cm.
7. Pada daerah berkanopi suhu tanah relatif stabil kecuali pada jeluk 20 cm.
8. Pada daerah tidak berkanopi suhu tanah, jeluk 0 cm> 20 cm> 40 cm.
9. Kecepatan angin pada strata berkanopi > tidak berkanopi.
10. Intensitas penyinaran pada strata berkanopi < strata tidak berkanopi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A.G. 2003. Alam Sekitar dan Pembangunan. (http://portal.kukum.edu.my). Diakses pada 9 Maret 2006.
Bey, A dan Las, I. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. JurnalKapita Selekta dalam Agrometeorologi. I (1). halaman : 21-27.
Landsberg, H.E. 1981. General Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.
Larcher, W. 1975. Phsyological Plant Ecology. Carl Ritter &Co. Heldelberg.
Sanderson, M. 1990. UNESCO Source Book in Climatology for Hydrologists and Water Resource Enginers. UNESCO.
Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung
Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.
Yogyakarta.
PENGAMATAN CUACA MIKRO
I. TUJUAN
1. Mengenal cara-cara mengukur anasir cuaca mikro.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro.
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mikro klimatologi ialah ilmu yang mempelajari tentang iklim mikro atau iklim yang terdapat di dalam daerah yang cukup kecil. salah satu peredaran antara mikrometeorologi dan mikroklimatologi ialah mikrometeorologi memerlukan dasar matematika dan dasar fisika yang kompleks sehingga dapat mempelajari proses fisis atmosfer, lagipula mikrometeorologi tidak terbatas pada atmosfer dekat permukaan bumi, tetapi mungkin dapat mempelajari mikrofisika dari awan. Sedangkan mikroklimatologi tidak ditunjukkan kepada ahli meteorologi saja, tetapi juga untuk melayani ahli lain yang berminat untuk mempelajari hubungan antara kehidupan dengan iklim mikro tanpa mempunyai dasar matematika dan fisika yang kokoh. Perbedan antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau, kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa, hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
Berdasarkan faktor pengendali sifat, luasan atau wilayah identifikasi dan dampaknya terhadap kegiatan manusia, studi klimatologi dapat dibedakan atas tiga sifat umumnya yaitu (Bey dan Las, 1991):
1. Iklim global/cuaca sinoptik (global climate/ sinoptic weather) yaitu keadaan fisika dan dinamika atmosfer bagian atas hingga lapisan troposfer antara belahan bumi (kawasan yang sangat luas). Iklim/cuaca ini dikendalikan oleh pusat-pusat tekanan rendah dinamakan massa udara dalam besar dan peredaran arus dari satu samudera ke samudera yang lain.
2. Iklim meso/ makro (scren climate) yaitu keadaan atmosfer lapisan agak dekat permukaan pada suatu lokasi (tapak) dengan luasan tertentu yang bisa dipantau melalui stasiun klimatologi/ meteorologi di lapangan atau dekat permukaan tanah (10m). keadaan fisika atmosfer pada strata ini telah banyak dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan bumi, gejala golak-galik (turbulensi) udara adalah dominan.
3. Iklim mikro (micro climate) menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m). Dalam skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar / di bawah tajuk tanaman dalam kandang terakhir
Iklim menunjukkan keadaan semula jadi yang berakitan dengan atmosfer di setiap kawasan yang berkait rapat dengan cuaca seperti suhu, kelembaban, taburan hujan, arah dan kelajuan angin. Iklim mikro pula menunjukkan kepada kedaan iklim bagi suatu kawasan kecil atau iklim tempatan, misalnya iklim Malaysia adalah salah satu dari keadaan iklim mikro yang menjadi pecahan kepada iklim dunia (Ahmad, 2003).
Iklim mikro memang sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan budidaya tanaman. Salah satu caranya adalah dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat dilaksanakan sampai batas tertentu. Walaupun begitu ada beberapa subtitusi unsur iklim partial yang belum dapat dilalaikan. Hal tersebut mungkin dilaksanakan dengan biaya yang cukup tinggi, tidak adanya unsur pengganti atau karena adanya unsur yang berlebihan. Misalnya radiasi matahari yang terlalu terik, suhu yang terlalu rendah, atau hujan yang terlalu banyak dan merata. Dalam keadaan yang semacam itu yang realistik dan relatif akan lebih mudah adalah modifikasi cuaca atau iklim yang semula tidak sesuai menjadi sesuai dengan tanaman tertentu. Misalnya dengan membuat naungan yang baik, naungan fisik maupun naungan biologis untuk radiasi matahari yang terlalu tinggi, membangun green house untuk suhu yang terlalu rendah atau hujan yang terlalu banyak, meratakan angin dan lain-lain (Wisnubroto, 2000).
Modifikasi iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman hortikultura merupakan suatu usaha yang telah banyak dilakukan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman (Noorhadi dan Sudadi, 2003).
Penyebaran berbagai jenis tumbuhan akan dibatasi oleh kondisi iklim dan tanah serta daya adaptasi dari masing-masing spesies tumbuhan tersebut. Sesungguhnya hubungan antara vegetasi dan iklim merupakan hubungan saling pengaruh. Selain iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, keberadaan vegetasi juga dapat mempengaruhi iklim di sekitarnya. Semakin besar total biomassa vegetasi yang terlibat dan semakin nyata pengaruhnya terhadap iklim wilayah tersebut. Peran vegetasi mirip bentang dan air. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mengandung banyak air dan tumbuhan menyumbang banyak uap air ke atmosfer melalui proses transpirasi (Lakitan, 1994).
Anasir iklim mikro yang mempengaruhi pertumbuhan, antara lain:
1. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Anemometer. Kecepatan angin dapat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Besar kecilnya gradien barometrik.
Gradien Barometrik, yaitu angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara melalui dua garis isobar pada garis lurus, dihitung untuk tiap-tiap 111 km (jarak 111 km di equator 1 ( atau 1/360 x 40.000 km = 111 km). Menurut hukum Stevenson bahwa kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometriknya. Semakin besar gradien barometriknya, semakin besar pula kecepatannya.
b. Relief Permukaan Bumi.
Angin bertiup kencang pada daerah yang reliefnya rata dan tidak ada rintangan. Sebaliknya bila bertiup pada daerah yang reliefnya besar dan rintangannya banyak, maka angin akan berkurang kecepatannya.
c. Ada Tidaknya Tanaman.
Banyaknya pohon-pohonan akan menghambat kecepatan angin dan sebaliknya, bila pohon-pohonannya jarang maka sedikit sekali memberi hambatan pada kecepatan angin
d. Tinggi Tempat dari Permukaan Tanah.
Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi akan mendapatkan hambatan karena bergesekan dengan muka bumi, sedangkan angin yang bertiup jauh di atas permukaan bumi bebas dari hambatan.
2. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Termometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sudut datang sinar matahari, yaitu sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dengan arah datangnya sinar matahari. Makin kecil sudut datang sinar matahari, semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi dibandingkan sudut yang datangnya tegak lurus.
b. Lama waktu penyinaran matahari, makin lama matahari bersinar, semakin banyak panas yang diterima bumi.
c. Keadaan muka bumi (daratan dan lautan), daratan cepat menerima panas dan cepat pula melepaskannya, sedangkan sifat lautan kebalikan dari sifat daratan.
d. Banyak sedikitnya awan, ketebalan awan mempengaruhi panas yang diterima bumi. Makin banyak atau makin tebal awan, semakin sedikit panas yang diterima.
3. Kelembaban Udara.
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau hygrometer.
Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi:
1. Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu kelembaban yang menunjukkan berapa gram berat uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (1 m³) udara.
2. Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu bilangan yang menunjukkan berapa persen perbandingan antara jumlah uap air yang terkandung dalam udara dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut.
4. Radiasi Matahari
Matahari adalah sumber energi pada peristiwa yang terjadi dalam atmosfer yang dianggap penting bagi sumber kehidupan. Energi matahari merupakan penyebab utama dari perubahan dan pergerakan dalam atmosfer sehingga dapat dianggap sebagai pengendali iklim dan cuaca yang besar. Dari matahari dipancarkan sinar yang pada umumnya mempunyai gelombang pendek, sedangkan dari bumi dipancarkan sinar dengan gelombang panjang. Bagian radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi disebut insolasi.
III. METODOLOGI
Pada percobaan pengamatan iklim mikro yang dilaksanakan pada hari Selasa 6 Maret 2006 dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa kanopi. Daerah yang berkanopi di dalammya meliputi vegetasi : pohon jati, sengon, bambu, pinus, lamtoro, dan rumput. Sedangkan pada daerah yang tanpa kanopi di dalamnya hanya terdapat vegetasi rumput saja. Pengamatan ini dilakukan di lembah UGM dimulai pukul 14.00.
Alat-alat yang digunakan adalah termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, foot candles untuk mengukur intensitas cahaya, biram enemometer untuk mengukur kecepatan angin, stick termometer untuk mengukur suhu tanah, serta statif untuk menggantung termometer dan termohigrograf yang dipasang pada ketinggian 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukan tanah.
Dua tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca makro kali ini. Kemudian statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan termometer serta termohigrograf pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 6 kali pengamatan.
Stick termometer ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm dari permukan tanah. Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10 menit sekali 10 menit pertama dilakukan pada jeluk 0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 20 cm, setelah sepuluh menit dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Kemudian stick termometer dimasukkan lagi pada jeluk 40 cm, setelah sepuluh menit dicatat hasil pengamatannya pada tebel pengamatan. Pengamatan dengan stick anemometer dilakukan bersamaan dengan alat lainnya sebanyak 3 kali pengamatan.
Pada waktu yang bersamaan biram anemometer disiapakan lima menit sebelum waktu ditentukan. Setelah memasuki waktu yang ditentukan yaitu bersama-sama dengan waktu yang lainnya dimulai, biram anemometer diangkat ke atas agar tidak terhalang dengan penghalang. Setiap lima menit hasil pengamatan dicatat dan lima menit kemudian alat tersebut diistirahatkan. Pengamatan dilakukan hingga menghasilkan enam data.
Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan foot candles. Alat ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca. Begitu seterusnya. Sensor cahaya berada di atas foot candles jika sudah tidak digunakan maka ditutup kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran intensitas cahaya.
VI. HASIL PENGAMATAN
PARAMETER YANG DIAMATI NO TITIK WAKTU PENGAMATAN ARAS/ JELUK PENGAMATAN STRATA
KANOPI TAK BERKANOPI
SUHU UDARA
1.
10 menit 25 cm 28 32
75 cm 29.2 33
150 cm 29.6 30.5
2.
20 menit 25 cm 27 31
75 cm 29 32.5
150 cm 29.3 29.5
3.
30 menit 25 cm 29.27 30
75 cm 28.3 31.5
150 cm 29 29
4.
40 menit 25 cm 27 30.5
75 cm 28.5 30.5
150 cm 29 29
5.
50 menit 25 cm 27 29.5
75 cm 29.2 30.5
150 cm 29 29.5
6.
60 menit 25 cm 26.5 29
75 cm 29 30
150 cm 28.8 29.5
KELEMBABAN NISBI UDARA
1.
10 menit 25 cm 50 65
75 cm 40 48
150 cm 54 32
2.
20 menit 25 cm 41 60
75 cm 51 50
150 cm 56 38
3.
30 menit 25 cm 58 68
75 cm 41 54
150 cm 53 46
4.
40 menit 25 cm 58 70
75 cm 41.5 57
150 cm 53 50
5.
50 menit 25 cm 58 70.5
75 cm 42 58
150 cm 53 52
6.
60 menit 25 cm 58 72
75 cm 42 58
150 cm 54 53
SUHU TANAH
1.
10 menit 0 cm 26 30
20 cm 26 28
40 cm 26 26
2.
20 menit 0 cm 26 28
20 cm 26 26.5
40 cm 25.9 26
3.
30 menit 0 cm 25.5 28
20 cm 26 28
40 cm 25.5 27
4.
40 menit 0 cm 25.5 27
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26
5.
50 menit 0 cm 25.5 26.5
20 cm 25.5 27
40 cm 25.5 26
6.
60 menit 0 cm 25 26
20 cm 25.5 27
40 cm 25 26
KECEPATAN ANGIN 1. 5 menit 200 327
2. 10 menit 177 175
3. 15 menit 366 225
4. 20 menit 369 120
5. 25 menit 232 160
6. 30 menit 315 230
INTENSITAS PENYINARAN 1. 10 menit 20 52
2. 20 menit 15 38
3. 30 menit 15 40
V. PEMBAHASAN
1. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm
Dari hasil pengamatan didapat grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm. Jika dilihat grafik berkanopi terlihat di bagian bawah dan grafik daerah berkanopi berada di atas dan terdapat perbedaan rata-rata suhu yang terpaut jauh. Hal ini dipengaruhi oleh suhu tanah sebab jarak antara termometer dengan tanah hanya sedikit. Pada daerah tidak berkanopi intensitas cahaya matahari yang menuju tanah semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu pada tanah, sedangkan daerah yang berkanopi intensitas cahaya terhalang oleh pohon-pohon berkanopi yang menyebabkan suhu tanah di daerah ini lebih rendah. Pada saat pengukuran di daerah berkanopi, keadaan tanah relatif lembek dan tidak terlalu kering (sedikit lembab). Hal ini juga mengakibatkan suhu tanah relatif lebih dingin. Dan pada daerah tidak berkanopi, di dalam tanah terjadi penguapan yang menyebabkan tanah menjadi relatif kering. Hal ini pula yang menyebabkan suhu udara pada aras 25 cm di daerah tidak berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang berkanopi. Jadi yang berperan dalam grafik ini adalah intensitas radiasi matahari dan suhu tanah.
2. Grafik suhu udara vs waktu aras 75 cm
Pada aras 75 cm, pengaruh panas dari tanah relatif lebih sedikit daripada aras 25 cm, terlihat sedikit penurunan suhu pada daerah tidak berkanopi. Pada daerah berkanopi yang terjadi adalah turunnya suhu meskipun penurunannya tidak begitu drastis. Penurunan suhu pada derah berkanopi lebih disebabkan oleh banyaknya intensitas radiasi matahari yang menuju daerah tersebut. Sedangkan yang terjadi pada daerah tidak berkanopi adalah sebaliknya yaitu, terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasimatahari maksimum. Pada daerah berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari angin yang bergerak dari daerah berkanopi.
3. grafik suhu udara vs waktu aras 150 cm
Pada grafik aras 150 cm, terlihat saat menit ke-30 dan menit ke-40 pada kedua grafik (berkanopi dan tidak berkanopi) menunjukkan suhu yang sama, hal ini dapat terlihat dari grafik yang saling berhimpitan. Ini menunjukkan bahwa pada aras 150 cm, pengaruh suhu tanah dapat dikatakan hampir tidak ada dan permukaan udara pada aras ini lebih merata jika dibandingkan dengan aras 25 cm dan aras 75 cm. Ini dikarenakan pada aras 150 cm yang lebih tinggi daripada aras 25 cm dan aras 75 cm, kecepatan angin lebih tinggi. Seperti pada aras 75 cm, grafik di daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi karena pengaruh intensitas radiasi matahari relatif lebih kecil, praktis pengaruh suhu akan lebih ke arah radiasi langsung (daerah tidak berkanopi).
4. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah berkanopi
Dari pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa suhu tertinggi diperoleh pada aras 150 cm. Hal ini dikarenakan oleh adanya faktor altitude dan pengaruh radiasi sinar matahari. Karena di daerah yang berkanopi intensitas penyinaran matahari tidak terlalu banyak sehingga suhu udara relatif rendah dan sedikit lebih stabil. Sedangkan adanya ketidakstabilan suhu pada data yang diperoleh disebabkan karena adanya pengaruh angin. Selain itu pada aras 150 cm grafik terlihat lebih stabil, hal ini dipengaruhi oleh pengaruh permukaan udara yang lebih merata jika dibandingkan pada aras 25 cm dan aras 75 cm.
5. Grafik suhu udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Dari percobaan pengamatan suhu udara pada strata tidak berkanopi dengan perbedaan tiga aras diperoleh data bahwa dari ketiga ketinggian tersebut suhu udara ketiganya mengalami penurunan pada menit ke-10 hingga menit ke-20. Dari data yang diperoleh pada grafik setelah pengamatan, terlihat bahwa suhu tertinggi terdapat pada aras 75 cm. Hal ini disebabkan oleh radiasi penyinaran, karena pengamatan ini dilakukan pada daerah yang tidak berkanopi sehingga intensitas penyinaran lebih banyak diterima tetapi pada 10 menit pertama suhu cenderung turun karena disaat pengamatan cuaca sedikit berawan sehingga radiasi matahari tidak mencapai titik maksimum. Pada aras 75 cm lebih banyak terkena matahari sehingga suhu lebih tinggi daripada aras 150 cm (pada aras ini terdapat penurunan suhu karena permukaan udara yang merata). Selain itu pada aras 150 cm lebih tinggi yang memungkinkan terlindungi oleh kanopi pepohonan sebaliknya pada aras 25 cm juga terlalu rendah sehingga tidak mendapatkan intensitas radiasi matahari secara maksimum.
6. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 25 cm
Dari grafik dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi pada 10 menit pertama kelembaban nisbinya turun lalu naik kemudian konstan sampai pada akhir pengamatan. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi pada 10 menit pertama mengalami penurunan sedangkan pada menit-menit berikutnya cenderung mengalami kenaikan sampai pada akhir pengamatan. Pada daerah berkanopi memiliki memiliki suhu yang lebih rendah dan stabil dibandingkan pada daerah tidak berkanopi. Menurut teori seharusnya suhu yang lebih rendah memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Namun yang terjadi pada hasil pengamatan adalah daerah yang tidak berkanopi memiliki kelembaban nisbi yang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Pada daerah yang berkanopi keadaan udara lebih kering (adanya angin) sehingga kelembaban nisbi udara cenderung kecil. Sedangkan pada daerah yang tidak berkanopi cuaca sedikit mendung sehingga sinar matahari terhalang oleh awan sehingga menyebabkan udara lebih rendah.
7. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 75 cm
Grafik di atas menunjukkan perbedaan kelembaban nisbi yang mencolok antara daerah berkanopi dengan daerah yang tidak berkanopi. Pada menit ke-20 terlihat lonjakkan kelembaban nisbi udara dari 40% menjadi 50%pada 10 menit pertama. Sama seperti yang tejadi pada pengukuran kelembaban nisbi pada aras 25cm, grafik yang diperoleh tidak sesuai dengan teori. Seharusnya bila pada pengukuran suhu pada aras 75cm diketahui bahwa suhu pada daerah yang berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tanpa kanopi maka seharusnya kelembaban nisbi di daerah berkanopi lebih tinggi daripada daerah tanpa kanopi. Hal ini bisa disebabkan oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi melonjak. Faktor yang dapat mampengaruhi peristiwa tersebut adalah inversi suhu, yang mana sinar matahari dapat meneruskan sinarnya secara langsung ataupun terhalangi oleh awan sehingga menghambat tercapainya sinar matahari. Kesalahan yang terjadi kemungkinan juga karena pengukuran kelembaban nisbi pada daerah tanpa kanopi, para praktikan bergerombol menelilingi alat dan mereka menggunakan payung sehingga radiasi sinar matahari tidak langsung mengenai alat maka menyebabkan kesalahan pengukuran.
8. grafik kelembaban nisbi udara aras 150 cm
Kelembaban nisbi pada aras 150 cm antara daerah berkanopi dan tak berkanopi pada awalnya terdapat perbedaan yang besar tetapi setelah itu pada akhir pengamatan terjadi persamaan kelembaban, terlihat pada grafik yang berhimpit. Pada daerah yang tak berkanopi cenderung naik cenderung makin naik, hal ini dikarenakan radiasi matahari pada daerah ini secara langsung dan mengakibatkan suhu cenderung naik. Selain itu dapat dilihat bahwa kelembaban nisbi pada daerah yang berkanopi lebih tinggi dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu. Kelembaban nisbi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan suhu udara. Pada daerah yang berkanopi memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini menyebabkan kelembaban nisbi udara pada daerah yang berkanopi lebih tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi. Kelembaban nisbi akan naik dengan menurunnya suhu udara.
9. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah berkanopi
Pada grafik di atas terlihat peristiwa yang sangat mencolok terutama pada aras 25 dan aras 75. Garis kuning yang menggambarkan grafik pada aras 150cm, arah grafik cenderung stabil dari menit ke sepuluh sampai ke menit 60 yaitu sekitar 50%. Ini disebabkan karena pada aras ini suhu yang mempengaruhi uap air cederung stabil. Pada grafik terlihat jelas bahwa aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi. Alasannya, jika dihubungkan dengan grafik suhu vs waktu pada daerah berkanopi, pada grafik terlihat bahwa pada aras 25 memiliki rata-rata suhu yang paling rendah sehingga evaporasinya pun paling rendah, dengan begitu akan diperoleh kelembaban nisbi yang paling tinggi.
10. Grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Pada daerah tak berkanopi, terlihat pada grafik kelembaban nisbi udara terjadi kenaikan dari menit ke menit dari pengamatan pertama hingga terakhir. Hal ini terjadi pada aras 75 cm dan 150 cm. pengaruh radiasi matahari yang cenderung naik menyebabkan suhu dan tekanan udara juga naik, maka akan mempengaruhui kelembaban nisbi udara. Namun pada aras 25 cm terjadi penurunanan kelembaban nisbi udara pada menit ke 20. Hal ini dapat terjadi karena sinar matahari bersinar maksimal. Sedangkan pada menit-menit berikutnya kelembaban nisbi keseluruhan cenderung naik yang disebabkan sinar matahari bersinar tidak maksimal (cuaca sedikit mendung). Kelembaban nisbi yang paling rendah adalah pada aras 150 cm karena pengaruh sinar matahari yang semakin ke atas semakin panas yang menyebabkan kelembaban nisbi cenderung turun (rendah).
11. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 0 cm
Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm perbedaan suhu tertinggi antara daerah berkanopi dan tidak berkanopi sebesar 4°C. Dimana suhu tertinggi pada daerah tidak berkanopi yaitu 30°C. Daerah berkanopi mula-mula memiliki suhu konstan kemudian mengalami penurunan secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak langsung, sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif tinggi dan tidak konstan. Hal ini dikarenakan radiasi matahari diterima secara langsung. Pada daerah berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi. Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah.
12. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 20 cm
Pada grafik suhu tanah jeluk 20 cm, perbedaan suhu tertinggi antara daerah yang berkanopi dengan tidak berkanopi adalah 25° C dan yang terendah adalah sebesar 0.5°C. dimana suhu yang tertinggi terdapat pada daerah yang tidak berkanopi. Di daerah ini mula-mula suhu turun kemudian naik turun kembali dan akhirnya mejadi stabil (selalu berfluktuasi) hingga akhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena cuaca selalu berubah-ubah dari mendung kembali menjadi cerah kemudian menjadi mendung kembali (cuaca tidak menentu). Sementara di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.
13. Grafik suhu tanah vs waktu jeluk 40 cm
Grafik suhu tanah vs waktu pada jeluk 40 cm menunjukkan suhu tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih rendah dan lebih stabil daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah berkanopi adalah 25,5°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah 26°C, keduanya tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Keadaan suhu tanah pada jeluk 40 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah daerah yang berkanopi.
14. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi
Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah berkanopi pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm menunjukkan pada jeluk 20 cm memiliki suhu tanah rata-rata 25.75°C lebih tinggi daripada jeluk 0 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.5°C dan jeluk 40 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 25.4°C. grafik tersebut memiliki fluktuasi yang sedikit tidak stabil. Hal ini karena penggunaan stick termometer yang ditancapkan pada tanah yang berbeda untuk mendapatkan kedalamam 20 cm atau 40 cm. Karena adanya perbedaan struktur pembangun tanah (ada yang gembur/ mudah untuk ditancapkan dan ada tanah yang padat) menyebabkan data suhu tanah dengan tempat yang lain berbeda sehingga menyebabkan fluktuasi yang tidak stabil.
15. Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah tidak berkanopi
Grafik suhu tanah vs waktu pada daerah yang tidak berkanopi dapat kita perhatikan bahwa rasio suhu tanah pada jeluk 0 cm, 20 cm, dan 40 cm tidak begitu jauh perbedaannya. Rata-rata suhu tanah tertinggi pada jeluk 0 cm yaitu sebesar 27.5°C, diikuti rata-rata suhu tanah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 27°C dan suhu tanah yang terendah pada jeluk 40 cm yaitu sebesar 26°C. Dari data ini dapat kita lihat pula bahwa pada daerah tidak berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0 cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat time lag (selang waktu).
16. Grafik kecepatan angin vs waktu
Pada grafik kecepatan angin pada strata berkanopi dengan strata tidak berkanopi dapat dilihat bahwa pada daerah berkanopi memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi karena pada daerah ini memiliki suhu yang rendah dan memiliki tekanan yang lebih tinggi. dan angin memiliki pergerakan dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Saat di daerah yang berkanopi pergerakan angin terhalang oleh pepohonan dan kecepatannya akan berkurang saat memasuki daerah tidak berkanopi.
17. Grafik intensitas penyinaran vs waktu
Dari grafik intensitas penyinaran pada daerah berkanopi dan daerah tidak berkanopi dapat diamati bahwa intensitas penyinaran pada daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah yang tidak berkanopi. Hal ini disebabkan karena daerah tidak berkanopi menerima energi atau cahaya matahari secara langsung (energi lebih besar). Sedangkan pada daerah berkanopi akan menerima cahaya matahari dengan intensitas yang lebih kecil karena adanya penghalang yang berupa kanopi-kanopi pepohonan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas matahari terbesar terdapat pada daerah yang tidak berkanopi.
VI. KESIMPULAN
Dari pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Suhu udara didaerah berkanopi rata-rata lebih rendah dibanding daerah tidak berkanopi selama pengamatan.
2. Suhu udara pada daerah berkanopi, aras 150 cm> 75 cm> 25 cm.
3. Suhu udara pada daerah tidak berkanopi, 25 cm > 75 cm> 150 cm.
4. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi pada waktu pengamatan rata-rata lebih tinggi daripada strata tidak berkanopi.
5. Kelembaban nisbi udara pada strata berkanopi, 25 cm>150 cm> 75 cm.
6. Kelembaban nisbi udara pada strata tidak berkanopi, 25 cm> 75 cm> 150cm.
7. Pada daerah berkanopi suhu tanah relatif stabil kecuali pada jeluk 20 cm.
8. Pada daerah tidak berkanopi suhu tanah, jeluk 0 cm> 20 cm> 40 cm.
9. Kecepatan angin pada strata berkanopi > tidak berkanopi.
10. Intensitas penyinaran pada strata berkanopi < strata tidak berkanopi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A.G. 2003. Alam Sekitar dan Pembangunan. (http://portal.kukum.edu.my). Diakses pada 9 Maret 2006.
Bey, A dan Las, I. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. JurnalKapita Selekta dalam Agrometeorologi. I (1). halaman : 21-27.
Landsberg, H.E. 1981. General Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.
Larcher, W. 1975. Phsyological Plant Ecology. Carl Ritter &Co. Heldelberg.
Sanderson, M. 1990. UNESCO Source Book in Climatology for Hydrologists and Water Resource Enginers. UNESCO.
Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung
Wisnusubroto, Sukardi. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.
Yogyakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)